SOLOPOS.COM - Suwarmin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pandemi Covid-19 tidak akan selamanya. Pandemi akan berakhir. Entah kapan, tetapi percayalah, dunia tidak lagi sama setelahnya. Delapan bulan berlalu sejak pandemi Covid-19 menghampiri kita.

Artinya kampanye social distancing juga seumur pandemi itu. Kini semakin jelas, ajakan menjaga jarak itu melipatgandakan arti penting alat yang mampu menghubungan semua orang tanpa bersentuhan secara fisik, tanpa berdekatan secara fisik: platform digital.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Dan inilah kisahnya, dua tren yang sedang menggejala di jagat digital belakangan ini. Pertama, distraksi alias ketidakfokusan. Kedua, sosial-komersial alias kebertautan antara platform media sosial dan kepentingan komersial.

Handphone yang sudah sejak bertahun-tahun lalu sangat karib dengan masyarakat Indonesia, kini semakin tak terpisahkan. Para orang tua yang awalnya mencoba menjauhkan perangkat telepon pintar itu dari anak-anak mereka, kini harus menerima keadaan.

Anak harus selalu bersama HP karena sedang sekolah daring. Kita tahu banyak cerita dramatis di seputar pandemi Covid-19 ini. Banyak perusahaan merumahkan karyawan. Banyak kantor meminta pegawai bekerja di rumah.

Banyak toko menutup gerai dagangan. Semua kampus dan sekolah tidak membuka kelas. Hidup harus terus berjalan. Seperti matahari yang terus berputar. Semua aktivitas bisa dilakukan dengan virtual, dilakukan dengan perantara teknologi digital.

Pada September 2020 lalu, Solopos menggelar Solopos Virtual Cycling yang diikuti lebih dari 500 orang. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia. Mereka bisa nggowes atau bersepeda di mana saja.

Mereka cukup melaporkan kegiatan nggowes mereka melalui aplikasi digital. Sangat menarik saat melihat orang-orang dari berbagai kota disatukan oleh jersey yang sama lalu bersepeda nyaris bersama-sama, walaupun di tempat yang berbed-beda. Acara virtual membuat siapa pun, di mana pun, asal tersambung Internet bisa berpartisipasi.

Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan serba digital itu semakin deep in touch di kehidupan manusia. Distorsi alias ketidakberaturan dan distraksi semakin menggejala. Dalam situasi serba tersambung, hyper connected dengan orang lain, baik dalam jaringan kelompok maupun dengan orang-orang baru, orang semakin kesulitan fokus.

Bapak-bapak yang work from home (WFH) tetap sibuk dan pusing memikirkan pekerjaan kantor yang makin pelik karena situasi sulit. Mereka melakukan rapat dari rumah sambil sesekali sang anak datang menyeruak mengajak bermain. Disangka bapaknya libur karena di rumah saja.

Para ibu, tentu saja, lebih dramatis. Mereka harus memasak sambil bolak-balik menghampiri anaknya yang sedang sekolah di rumah. Bayangkan betapa repotnya jika si ibu adalah wanita karier. Sungguh mereka adalah pendekar tanpa tanding.

Sampai-sampai muncul penelitian bahwa kekerasan verbal di rumah tangga meningkat selama masa Covid-19. Bayangkan, betapa sulit memasak sayur lodeh sambal ngajarin anak tentang irisan himpunan, apalagi kalau si bapak juga kumat manjanya, lalu minta dibikinkan minuman jahe merah hangat agar imunitas tubuh meningkat.

Lain cerita bagi mahasiswa. Mereka bisa menikmati kuliah via Zoom sambil menulis pesan di Whatsapp kepada temannya. Mungkin juga mereka sedang membicarakan sang dosen yang sedang mengajar. Begitulah. Tren distraksi tak bisa dicegah selama platform digital digunakan.

Tren berikutnya menjadi kejutan yang tidak terlalu mengejutkan pada era digital yang semakin masif ini. Tren itu adalah social and commercial in one platform, atau sosial-komersial dalam satu platform. Tren itu bisa dimaknai bahwa saat ini brand sama sekali tidak bisa mengabaikan kehadiran di platform media sosial.

Kehadiran di media sosial akan dipandang sebagai kehadiran sosial yang sebenarnya. Saat kita me-reply status Whatsapp seseorang, kita dimaknai sedang menyapa, secara fisik. Tren sosial-komersial itu juga terjadi di mana-mana ketika tiba-tiba saja di tengah suasana pandemi ini, banyak orang menjadi pedagang.

Akun media sosial teman kita tiba-tiba berisi aneka produk yang dijual. Tiba-tiba orang-orang menjual tanaman hias, bibit tanaman, mukena, pashmina, handshock, baju anak, dan lain-lain. Dalam masa ekonomi sulit, handphone di tangan berubah menjadi senjata andalan untuk menjemput rezeki.

Seperti dikutip trendhunter.com, media sosial bergeser menjadi komponen penting dalam keseluruhan pasar iklan digital. Beragam media sosial seperti Facebook, Twitter, Linkedin, Instagram, dan lain-lain kini menjadi ujung tombak pemasaran.

Menemukan Konsumen

Kunci utamanya karena media sosial sanggup menemukan konsumen yang tepat, dengan pesan yang tepat, pada waktu yang tepat. Tak mengherankan jika perusahaan lokal di Wonogiri, Regar Sport Industri Indonesia, meraup banyak pembeli “hanya” dengan memanfaatkan Facebook.

Seperti kata pemiliknya, Jumariyanto, beberapa waktu lalu, usaha jersey itu sempat sengaja di-lock down selama dua pekan lebih sebagai upaya untuk menarik napas dan membaca peluang lebih cermat. Hasilnya, selama kurun waktu dari April 2020hingga Agustus 2020 lalu, omzet tumbuh 150%. Pasar tersebar ke seluruh Indonesia, dari Aceh sampai Papua.

“Karena situasi pandemi, orang semakin mencari cara untuk mencari uang. Menjadi reseller menjadi pilihan banyak orang. Facebook hanyalah alatnya,” kata Jumariyanto.

Strategi penguatan pemasaran digital ditambah dengan pilihan produk yang sedang dicari di pasar juga membuat Candi Elektronik justru tumbuh di tengah situasi pandemi. Kuncinya tidak jauh-jauh dari rumus sosial-komersial. Mereka berjualan lewat Whatsapp dan banyak menyediakan produk hand carry.

“Tren penjualan online selama masa pandemi meningkat 500%. Setelah new normal sedikit turun, tapi sekarang sudah naik lagi, bahkan melebihi masa pandemi. Sudah mulai terbiasa berbelanja online,” tutur Ardian, pemilik Candi Elektronik.

Raksasa tekstil asal Sukoharjo, Sritex, berjaya dengan produk masker yang sekarang menjadi salah satu masker yang menguasai pasar. Menurut Presiden Direktur Sritex Group, Iwan Setiawan Lukminto, saat berbicara di salah satu selasar kompleks pabrik itu di Sukoharjo, masker yang dikeluarkan Sritex menjadi senjata ampuh yang mampu menyelamatkan perusahaan.



Benda kecil ini dipasarkan melalui grup Whatsapp marketing hingga dalam semalam Sritex menerima lebih dari 8.000 permintaan dengan jumlah pesanan 40 juta masker. Tak dimungkiri, kini dunia pemasaran semakin bertumpu pada pendekatan personal.

Masker produksi Sritex yang mudah dikenali itu bahkan dijual oleh teman dari luar kota melalui sambungan Whatsapp kepada saya. Inilah tren sosial-komersial itu, tren ketika sambungan sosial dan komersial saling bertaut. Era digital yang luas tanpa batas justru masih memberi ruang personal bagi penghuninya…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya