SOLOPOS.COM - Solopos Hari Ini Edisi Jumat (8/10/2021).

Solopos.com, SOLORencana kenaikan PPN menjadi 11% diprediksi bakal memengaruhi konsumsi rumah tangga. Apalagi awal penerapan PPN 11% jatuh pada momen Ramadan dan Idulfitri 2022. Kenaikan itu berpotensi memicu inflasi akibat kenaikan harga dan permintaan.

Koran Harian Solopos Edisi Jumat (8/10/2021) menyajikan headline terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tarif PPN Naik, Raksasa Diampuni

JAKARTA-Pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi UU menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).

Sebaliknya, pengemplang pajak diringankan dan wajib pajak besar bisa mendapat pengampunan.

Baca Juga: PPN Naik, Peritel Minta Pemerintah Pertimbangkan Kondisi Ekonomi

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Muhaimin Iskandar menetapkan RUU HPP menjadi UU dalam Rapat Panpurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022, Kamis (7/10/2021).

Pengesahan itu mendapatkan persetujuan semua fraksi kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly yang mewakili pemerintah dalam rapat tersebut menyatakan pengesahan UU HPP membuat tarif PPN akan naik menjadi 11% pada 2022.

PPN akan kembali naik 12% pada 2025. Penerapan tarif itu, kata dia, telah mempertimbangkan kondisi terkini dan aspirasi dan masyarakat.

Baca Juga: Rencana Kenaikan PPN Dinilai Memberatkan Pelaku Usaha dan Konsumen

“Penerapan multitarif PPN akan menyebabkan cost of compliance dan menimbulkan potensi dispute, maka disepakati sistem PPN tetap menerapkan tarif tunggal,” ujar Yasonna dalam rapat tersebut, Kamis.

Sebelumnya, dalam draf RUU HPP terdapat opsi multitarif PPN di kisaran 5%-15% dan disepakati dalam pembahasan tingkat pertama di Komisi XI DPR.

Namun, kebijakan itu akhirnya berubah dalam keputusan akhir saat rapat paripurna.

Yasonna beralasan tarif PPN saat ini lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia. Dia membandingkan dengan PPN di Filipina sebesar 12%, China 13%, Arab Saudi 15%, Pakistan 17%, dan India 18%. Sementara itu, kata Yasonna, rata rata tarif PPN dunia adalah 15,4%.

Dia menjabarkan bahwa secara umum, UU HPP memuat enam kelompok materi utama yang terdiri dari sembilan bab dan 19 pasal. Undang undang itu akan menjadi omnibus atau mengubah ketentuan perpajakan di sejumlah aturan, seperti UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU PPN.

Baca Juga: Ramai-Ramai Menentang Pengenaan Pajak Sembako dan Kenaikan PPN 12%

Saat PPN akan dinaikkan bertahap, UU ini juga menggambarkan rencana pemerintah memberikan keringanan bagi para pengemplang pajak.

Keringanan bagi pengemplang pajak ini terlihat dari sanksi administrasi atau denda yang menjadi lebih rendah. Yasonna beralasan sanksi ini telah diselaraskan dengan moderasi sanksi administrasi dalam UU Cipta Kerja.

Keninganan pertama adalah diturunkannya sanksi administrasi dari 50% menjadi 30% bagi wajib pajak yang tidak patuh. Ini berlaku bagi pengemplang pajak yang diketahui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan langsung membayar pajaknya.

“Sanksi setelah keberatan diturunkan dari 50% menjadi 30% dari jumlah pajak yang masih harus dibayar,” kata Yasonna.

Keringanan kedua, sanksi administrasi pajak bagi wajib pajak tidak patuh dan tidak langsung membayarkan sehingga dilanjutkan ke tahap pengadilan. Sanksi untuk pengemplang pajak ini diturunkan menjadi 60%.

“Sedangkan sanksi setelah banding di pengadilan pajak [dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung| diturunkan dan 100% menjadi 60% dari jumlah pajak yang masih harus dibayar,” katanya.

Baca Juga: PPN Jadi 11 Persen, Produsen Mamin Bersiap Naikkan Harga

Berdasarkan UU HPP, pemerintah juga tidak akan mempidanakan pengemplang pajak yang tidak taat meski kasusnya sudah sampai di pengadilan. Pengemplang pajak cukup mengganti kerugian negara ditambah sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

“Perubahan UU KUP mengatur tentang penegakan hukum pidana pajak yang mengedepankan ultimum remedium melalui pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk mengganti kerugian pada pendapatan negara ditambah sanksi.”

“Walaupun kasus pidana perpajakan sudah dalam proses penuntutan di sidang pengadilan, dan tidak akan dilakukan penuntutan pidana penjara,” kata Yasonna.

Yasonna berdalih penghapusan sanksi pidana bagi pengemplang pajak dilakukan agar situasi masyarakat dan dunia usaha kondusif.

“Pemerintah dapat memahami usulan fraksi di DPR agar kewenangan penyidik pajak untuk menangkap dan menahan tersangka yang diusulkan oleh pemerintah, tidak perlu dimasukkan dalam RUU ini. Untuk menjaga situasi tetap kondusif di masyarakat dan di dunia usaha,” jelasnya.

Tax Amnesty 

Selain keringanan sanksi bagi pengemplang pajak, RUU HPP juga mengatur penyelenggaraan kembali program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diberi nama Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Tax amnesty jilid II ini menyasar dua kelompok wajib pajak. Pertama, peserta program pengampunan pajak periode 2016-2017. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang memperoleh aset dan belum melaporkannya sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat pemberlakukan kembali tax amnesty akan menurunkan kredibilitas pemerintah. Pasalnya, tax amnesty awalnya direncanakan hanya untuk satu kali. Namun, pemerintah kembali memberlakukannya pada 2022 mendatang.

Baca Juga: UU HPP Disahkan, Segini Tarif Pajak Tax Amnesty Jilid II



Di samping itu, kata dia, pemerintah tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada wajib pajak yang yang tidak mengikuti tax amnesty. Padahal, ada temuan ketidakpatuhan membayar pajak.

Oleh karenanya, menurut Piter pemberlakuan tax amnesty jilid II oleh pemerintah sebenarnya hanya untuk mengakomodasi sebagian pengusaha yang tidak patuh dalam tax amnesty jilid 1.

“Sekarang pemerintah tidak konsisten. Tidak ada tindak lanjut hukuman tersebut (di program tax amnesty jilid 1), mereka justru mendapatkan kesempatan kedua untuk diampuni,” katanya kepada Bisnis, Kamis.

Piter bahkan menilai ketidakkonsistenan pemerintah dalam penerapan tax amnesty berpotensi menurunkan kepatuhan wajib pajak di masa mendatang.

Direktur Eksekutif Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, bahkan menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingkar janji dengan adanya tax amnesty jilid Il ini.

Baca Juga: Wacana Tax Amnesty Untuk Orang Kaya Muncul Lagi, Faisal Basri: Airlangga Dalangnya!

“Sudah pasti [ingkar janji]. [Jokowi] pernah menjanjikan hanya sekali, lalu mengingkari dengan adanya tax amnesty kedua lagi. Ini perlu dingatkan jangan janji-janji saja. Nanti terakhir, lalu ada lagi. Jadi janjinya sudah tidak bisa dipercaya,” kata dia, Kamis.

Dia menilai tax amnesty jilid Il ini tidak pantas karena mengampuni orang kraminal. Menurut Anthony, pengampunan ini juga sebagai bentuk ketidakadilan kepada masyarakat yang juga membayar pajak. “Yang lain bayar pajak, lalu yang ilegal itu diampuni boleh bayar sedikit saja. Mereka melawan hukum lalu diampuni,” jelas dia.

Menurut dia, jika mengetahui ada orang yang menyelewengkan pajak, pemerintah harus menegakkan hukum dan bukan mengampuni. “Kan keenakan mereka, yang tidak taat hukum diampuni, suruh bayar yang nilainya lebih rendah. Harusnya didenda, misalnya tertinggi bayar 30% mereka didenda dua kali lipat jadi 60%,” ujar Anthonv.



Dalam rencana tax amnestyjild Il itu nantinya, wajib pajak bisa menyampaikan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 kepada Dirjen Pajak melalui surat pernyataan.

Baca Juga: Rencana Kenaikan PPN Dinilai Memberatkan Pelaku Usaha dan Konsumen

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey mengharapkan ada penyesuaian dalam aturan teknis PPN dan UU HPP.

Meski kenaikannya 1%, dia mengatakan sentimen yang mengemuka bisa masif mengingat PPN menjangkau berbagai sektor

“Karena itu kami berharap di petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis lewat peraturan menteri atau aturan lainnya bisa tetap mempertimbangkan perkembangan ekonomi. Meski berangsur membaik, pemulihan berjalan tidak serta merta,” kata Rov, Kamus.

Selain itu, dia memperkirakan kenaikan PPN menjadi 11% bakal memengaruhi konsumsi rumah tangga. Apalagi awal penerapan PPN 11% jatuh pada momen Ramadan dan Idulfitri 2022. Kenaikan itu berpotensi memicu inflasi akibat kenaikan harga dan permintaan.

“Karena ekonomi pulih perlahan, terutama di ritel, kami khawatir konsumsi rumah tangga akan tergerus,” imbuhnya.

Baca Juga: Tarif PPN akan Naik 11 Persen, Ekspansi Industri Bisa Terhambat

Sementara di halaman Soloraya, Koran Solopos menyajikan headline terkait wacana pemanfaatan bus Batik Trans Solo (BST) untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran tatap muka.



BST Akan Jadi Bus Sekolah

 SOLO-Wacana pemanfaatan bus Batik Solo Trans (BST) menjadi bus sekolah menyusul pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terus dibahas.

Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Solo sudah menyelesaikan pemetaan sekolah yang dilewati koridor BST.

Sementara itu, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Solo siap mengubah citra atau rebranding sebagian BST menjadi bus sekolah.

Sekretaris Disdik Kota Solo, Dwi Ariyatno, mengaku sudah memberitahukan pihak sekolah terkait rencana tersebut.

Baca Juga: Gandeng BST & Trans Jateng, Boyolali Jajaki Kerja Sama Aglomerasi

“Saya sudah menginformasikan beberapa sekolah yang PTM dan jalurnya bisa diakses. Trayeknya tetap sama, enggak ada perubahan jalur untuk menyesuaikan lokasi sekolah. Langkah ini diambil agar anak yang tak bisa diantar jemput oleh orang tuanya bisa diakomodasi oleh kendaraan umum, baik BST atau angkutan feeder khusus untuk pelajar. Ojek online dan sejenisnya belum diperbolehkan,” kata dia, kepada Espos, Kamis (7/10/2021).

Kepala Dishub Kota Solo, Hari Prihatno, telah menyiapkan skenario rebranding BST dan angkutan feeder. Jumlah kendaraan yang disiapkan menyesuaikan kebutuhan sekolah yang dilewati.

Baca Juga: 15 Unit Armada Angkutan Siap Antar-Jemput Siswa Peserta PTM Solo



“Sebenarnya kalau tidak dibranding pun, BST kan masih gratis untuk umum. Namun, mental siswa dan orang tua siswa tentu berbeda saat kendaraan itu khusus untuk pelajar. Aturan menumpang BST juga sama selama pandemi, yakni sesuai protokol kesehatan,” jelasnya, Selasa (5/10/2021).

Pihaknya masih menghitung kebutuhan bus dan angkutan khusus untuk pelajar tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya