SOLOPOS.COM - Norbertus Kaleka (JIBI/SOLOPOS/ist)

Norbertus Kaleka (JIBI/SOLOPOS/ist)

Persaingan pasar modern di Kota Solo akan semakin ketat bila rencana pembangunan sebuah mal baru di Laweyan benar-benar direalisasikan. Rencana pembangunan mal baru dengan nama Plaza Surakarta tersebut mendapat perlawanan dari Pasamuan Pasar Tradisional Surakarta (Papatsuta).

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Papatsuta menolak rencana pembangunan mal baru itu karena lokasinya sangat dekat dengan Pasar Purwosari, Gerai Buah Purwosari, Pusat Oleh-oleh Jongke, Pasar Tradisional Jongke dan Pasar Sidodadi. Sejauh ini belum mengemuka penolakan atau perlawanan dari kalangan pengelola pusat perbelanjaan modern yang lebih dulu berdiri di Kota Solo.

Pasar modern yang kita kenal berupa pasar swalayan, department store, factory outlet, specialty store, trade centre, mal, supermal dan plaza. Dalam bisnis ritel, pasar modern direprentasikan dalam bentuk gerai minimarket, supermarket dan hypermarket. Kategori pasar modern inilah yang langsung berhadapan dengan pasar tradisional.
Sayangnya, gemerlap pasar modern sering diiringi dengan meredupnya pasar tradisional. Itulah sebabnya, orang sering menyatakan denyut hidup pasar tradisional semakin lemah lantaran kehadiran pasar modern.

Pasar tradisional memang semakin meredup karena omzet bisnisnya terus menurun seiring merosotnya jumlah pelanggan mereka. Dari riset yang dilakukan AC Nielsen (2005), masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional menurun dari 65% pada 1999 menjadi 53% pada 2004. Tren penurunan ini terus terjadi pada pada tahun-tahun belakangan ini.
Akibatnya, perkembangan pasar tradisional mengalami kemandekan (stagnan).

Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menguatkan pendapat tersebut. Menurut APPSI, sekitar 400 los pasar tradisional tutup setiap tahun. Pada 2010 jumlah pedagang pasar tradisional mencapai 12,5 juta orang dan pasar tradisional berjumlah 11.000 unit. Tetapi, sejak 2008 jumlah pedagang dan pasar tradisional tidak bertambah.
Kini, masyarakat semakin banyak yang beralih mengunjungi pasar modern. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori pilihan rasional James C Coleman. Coleman mengatakan tindakan seseorang selalu mengarah pada tujuan. Tujuan selalu diikuti dengan tindakan yang ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi).

Dengan demikian, masyarakat konsumen yang beralih untuk berbelanja di pasar modern ketimbang pasar tradisional selalu mengarah pada tujuan karena adanya plihan rasional di pasar modern, yaitu kenyamanan berbelanja, potongan harga, keleluasan mengamati barang, kelengkapan fasilitas dan lain-lain.

Pasar modern
Pasar modern di Indonesia berkembang cepat pada awal 1990-an ketika Sogo, ritel terbesar Jepang, beroperasi di Jakarta. Kemudian pemerintah mengeluarkan Keppres No 99/1998 yang mencoret bisnis ritel dari daftar negatif investasi bagi penanaman modal asing.

Liberalisasi ini berdampak pada pesatnya perkembangan jaringan pasar modern. Persaingan yang ketat mendorong hadirnya supermarket di kota-kota lebih kecil untuk mendapatkan pelanggan-pelanggan baru. Dalam periode 2004-2008, pertumbuhan gerai hypermarket meningkat 39,8%, minimarket 16,4% dan supermarket 10,9% per tahun.

Pada 2008 jumlah gerai pasar modern di seluruh Indonesia berjumlah 11.866, sebanyak 83% terdapat di Pulau Jawa (Economic Review, 2009). Khusus Jawa Tengah, jumlah gerai pasar modern sebanyak 1.155 yang terdiri dari 979 minimarket, 172 supermarket dan empat hypermarket. Dari tiga jenis gerai tersebut, minimarket meraih omzet rata-rata Rp 10,22 triliun per tahun, supermarket Rp 12,89 triliun per tahun dan hypermarket Rp 16,48 triliun per tahun.

Pada era 1980-an dan awal 1990-an, pasar modern menyasar konsumen kelas menengah atas. Tetapi, menjamurnya gerai pasar modern, terutama minimarket dan supermarket, ke kota-kota kecil hingga kawasan permukiman telah meningkatkan persaingan dan mendorong terjadinya praktik pemangkasan harga yang membuka akses masyarakat kelas menengah bawah untuk berbelanja di gerai-gerai pasar modern.

Dengan demikian, fakta semakin terimpitnya pasar tradisional yang ditunjukkan dengan semakin tergerusnya pangsa omzet ritel pasar tradisional–dan semakin sepinya pasar-pasar tradisional–disebabkan oleh ekspansi luar biasa dari gerai-gerai pasar modern.

Ekspansi gerai-gerai pasar modern tak jarang sering diikuti dengan pelanggaran zona (jarak minimun dengan pasar tradisional), melakukan praktik monopoli pasar dan lain-lain. Regulasi yang ada tak mampu diterapkan secara adil karena sering terjadi kolusi antara pelaku bisnis ritel pasar modern dengan aparat pemerintah.

Kota Solo dengan penduduk lebih dari 500.000 jiwa merupakan pusat regional kawasan Soloraya (Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri). Akses transportasi menuju kota ini sangat memadai, sehingga mobilitas manusia sangat tinggi. Aspek demografis ini–dan peran Solo sebagai pendorong pertumbuhan kawasan–menjadikan kota ini incaran raksasa bisnis ritel.

Sebanyak 42 pasar tradisional di Kota Solo yang dikelola Dinas Pengelola Pasar (DPP) Kota Solo merupakan lembaga ekonomi rakyat sebagai tempat bagi 29.000 pedagang mengais rezeki. Sedangkan pasar modern yang berekspansi ke kota ini hanya dimiliki oleh orang per orang yang bermitra dengan perusahaan multinasional. Pasar modern sungguh bukan representasi ekonomi rakyat karena kadang dengan posisi tawar mereka yang kuat seringkali menekan pemasok kecil dan menengah untuk memberikan diskon.

Mudah untuk disimpulkan bahwa mal baru di Kota Solo sungguh tidak penting bagi perkembangan ekonomi rakyat. Pemkot Solo dalam kebijakan regulasi sebaiknya memiliki pilihan etis untuk “membesarkan yang kecil dan menguatkan yang lemah”, yaitu para pelaku usaha ritel di pasar tradisional.

Norbertus Kaleka, pemerhati ekonomi kerakyatan, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya