SOLOPOS.COM - Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yuliarto Joko Putranto, berbicara dalam acara di Hotel Lorin D’wangsa, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo, Rabu (4/10/2017). (Iskandar/JIBI/Solopos)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan Solo masih berpotensi banjir bandang.

Solopos.com, SUKOHARJO — Kota Solo masih berpotensi dilanda banjir bandang seperti banjir besar pada 1966. Hal ini tak lepas dari berbagai faktor yang memengaruhi di antaranya letak geografis Kota Solo yang dikepung dataran tinggi.

Promosi Lebaran Zaman Now, Saatnya Bagi-bagi THR Emas dari Pegadaian

“Tahun 1966 Kota Solo pernah dilanda banjir besar. Ini ada kemungkinan bisa terulang lagi meski sekarang ada Waduk Gajah Mungkur,” ujar Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian DAS Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kehutanan, Yuliarto Joko Putranto, ketika ditemui wartawan di sela-sela pertemuan Mitigasi Banjir Bandang di Hotel Lorin D’wangsa, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo, Rabu (4/10/2017).

Karena itulah, KLH dan Kehutanan menggelar pelatihan alih teknologi mengenai banjir bandang yang menjadi momok masyarakat. Hal itu karena berbagai sebab di antaranya perubahan iklim, kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang sudah menurun kualitasnya, dan sebagainya, masih mungkin menyebabkan banjir bandang.

Ekspedisi Mudik 2024

KLH dan Kehutanan mencari cara bagaimana meminimalkan bencana tersebut di antaranya dengan penanganan prabencana pada wilayah-wilayah yang rawan bencana. Dengan demikian pengetahuan atau informasi bisa dibagikan ke masyarakat sejak dini. Selain itu juga diadakan penanganan jangka panjang.

Untuk itu, KLH dan Kehutanan mengadakan pelatihan yang diikuti 29 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTPDAS) di Indonesia. BPTPDAS ini merupakan daerah yang paling sering dilanda banjir bandang.

Ditanya kawasan di Jawa yang berpotensi terjadi banjir bandang, dia menyebut semua kawasan yang topografinya terjal berpotensi banjir bandang. Solo yang berada di cekungan karena dikepung kawasan tinggi seperti Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Merbabu, serta Pegunungan Seribu dinilai termasuk berpotensi terjadi banjir bandang.

Bahkan saat ini daerah yang dulu tidak terjadi banjir sekarang kebanjiran. Dia mengutarakan banjir bandang bisa terjadi di mana saja karena perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan sebagainya.

Ini terjadi sebab kebutuhan pangan meningkat sehingga orang membuka lahan untuk tanaman pangan di tempat yang tidak semestinya. Selain itu faktor tingginya intensitas curah hujan dinilai menjadi salah satu pemicu timbulnya banjir bandang.

Dia mengatakan jika intensitas normal curah hujan berkisar 50 milimeter per hari. Sedangkan kejadian yang menimbulkan banjir bandang di berbagai daerah di antaranya karena curah hujan di tempat itu lebih dari 100 milimeter.

Curah hujan semacam ini bisa dikatakan ekstrem. Jadi DAS yang sehat pun jika ditimpa curah hujan di atas 100 milimeter per hari bisa mengakibatkan banjir.

Guna mengantisipasi bahaya tersebut harus ada tata ruang yang bagus berbasis DAS. Di kawasan itu ada yang diatur sebagai kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pusat pertumbuhan, dan sebagainya.

Untuk menata tata ruang yang baik di satu daerah KLH dan Kehutanan harus bekerja dengan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah setempat. Kualitas tata ruang suatu kawasan ditentukan daerah itu sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya