SOLOPOS.COM - Ilustrasi prostitusi. (JIBI/Semarangpos.com/Reuters)

Solopos.com, SOLO -- Terkenal di masa lalu sebagai kota pelesiran esek-esek, Solo era 1970-1980 ibarat surga bagi para lelaki hidung belang berduit. Berbagai jenis layanan seks komersial mulai dari kelas bawah hingga kelas atas, semuanya ada dengan tarif beragam.

Warga Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo, yang juga eks jurnalis, KP Bambang Ary Pradotonagoro, mengungkapkan layanan seks komersial di Solo era 1970-1980 tersedia di dua jenis tempat, terbuka dan tertutup.

Promosi Acara Gathering Perkuat Kolaborasi Bank Sampah Binaan Pegadaian di Kota Padang

Tempat-tempat yang dikategorikan terbuka di antaranya Alun-alun Kidul (Alkid) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Manahan, dan Sriwedari.

Menguak Sisi Lain Solo di Masa Lalu Sebagai Kota Pelesiran Esek-Esek (Bagian I)

Tiga tempat pelesiran esek-esek di Solo itu menjadi primadona pelanggan yang secara ekonomi terbilang kelas bawah atau pas-pasan. Tempat yang juga masuk kategori kelas bawah yaitu Silir di Kelurahan Semanggi, Pasar Kliwon. Tempat ini berada di pinggir Sungai Bengawan Solo.

Sedangkan tempat yang menyediakan layanan seks dengan pelanggan kelas menengah berada di kawasan Kestalan. Bambang Ary menyebut Silir terbilang fenomenal, hampir seperti Sunan Kuning Semarang, Sanggrahan Jogja, atau Dolly Surabaya.

Short Time, Long Time

Namun layanan seks komersial di Silir termasuk kelas bawah. “Lokasinya persis di depan RSUD Bung Karno Semanggi sampai yang sekarang jadi Pasar Klitikan. Jadi ya cukup luas. Di situ dulu kondisinya sepi karena memang daerah pinggiran kota dan dekat dengan Sungai Bengawan Solo. Sekarang sudah ramai,” kata dia kepada Solopos.com, Jumat (10/7/2020).

Solo Kota Pelesiran Esek-Esek (Bagian II): Kisah Bakul Dawet Ayu Plus-Plus Yang Melegenda

Sedangkan lokasi pelesiran esek-esek di Solo dengan pelanggan kelas atas, menurut Bambang, ada di pinggir Jl Slamet Riyadi dan wilayah Mangkubumen. Tarif perempuan pelayan seks komersial kelas atas terbilang mahal, mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta sekali booking.

“Itu kalau saya bilang kelas super high. Tarif segitu pada 1970-an hingga 1980-an sudah sangat tinggi. Jadi Solo dulu lengkap untuk wisata pelesiran malam. Untuk layanan short time Rp1 juta dan Rp2 juta untuk layanan long time,” kata dia.

Sejarawan Solo yang juga dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, mengatakan modus layanan seks komersial selalu berubah-ubah menyesuaikan era atau zaman.

Ini Daftar Warung di Solo & Sekitarnya yang Jual Sego Berkat Wonogiri, Ada Bocoran Harganya

Dulu layanan seperti itu selalu dekat dengan pusat keramaian seperti pusat perdagangan dan simpul transportasi umum. Pernah terjadi juga layanan esek-esek dikemas dalam balutan salon atau tempat pijat khusus untuk laki-laki.

“Tempat esek-esek biasanya di dekat pusat keramaian. Di Solo dulu ada Silir, ada juga prostitusi yang dekat stasiun. Pasti berada di titik-titik keramaian karena banyak orang hilir mudik, bagus untuk bisnis esek-esek,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya