SOLOPOS.COM - Model Red Batik menyapa para pemudik yang melewati Jl Slamet Riyadi, Gladak, Solo, Jumat (5/8/2013). Aksi tersebut untuk mempromosikan Solo sebagai kota kreatif. (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solo Kota Kreatif terus digaungkan di kalangan masyarakat.

Solopos.com, SOLO — Sejumlah kalangan mencermati pemberian gelar Kota Kreatif bagi Solo selama ini baru direspons sebatas perayaan.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Mereka menanti langkah riil pengembangan cetak biru ekonomi kreatif Kota Bengawan.

Pegiat Forum Kebudayaan Pinilih, Albertus Rusputranto Ponco Anggoro, mengatakan Kota Solo tidak membutuhkan branding “Kota Kreatif” di belakang embel-embel namanya.

“Branding semacam itu hanya untuk yang sedang gelisah mencari identitas. Banyak yang sering ahistoris. Kota ini sejak dulu sudah menjadi salah satu pusat kebudayaan. Persoalan identitas menurut saya tidak perlu koar-koar,” katanya saat ditemui di Kampus ISI Mojosongo, Sabtu (14/11/2015).

Lebih lanjut sosok yang akrab disapa Titus ini mengritisi langkah riil pemerintah untuk menumbuhkan iklim kreatif di Solo. Ia juga tak sependapat jika ke depan warga Solo nantinya hanya digunakan sebagai pemasok sumber daya kreatif.

“Langkah riilnya seperti apa? Bukan cuma branding. Kalau benar mau membuat inkubator kreatif konsepnya juga seperti apa. Jangan sampai warga kota ini hanya dijadikan komoditas untuk industri kreatif. Kita tidak pernah bisa lebih hebat kalau hanya ikut orang lain,” pesan dia.

Pengajar Seni Rupa Murni ISI Solo ini mengatakan pemerintah semestinya jeli mengambil porsi untuk mendorong perkembangan ekonomi kreatif di Kota Bengawan.

Menurutnya, salah satu langkah yang paling logis dengan membangun ruang hidup yang nyaman bagi warganya.

“Iklim kreatif itu otomatis lahir dari rasa nyaman untuk hidup dan berpenghidupan. Sebagai pengelola publik, pemerintah tidak perlu muluk-muluk membuat branding. Cukup sediakan ruang yang nyaman dan memerhatikan wilayahnya. Percuma misalnya banyak acara kesenian besar-besaran tapi ternyata angka kemiskinan naik,” beber dia.

Secara terpisah, budayawan Bambang Irawan, menilai pengembangan industri kreatif di Solo tidak boleh mengabaikan pusat kebudayaan yang ada. Ia juga mendesak pemerintah menyiapkan payung hukum sebelum melangkah membuat pengembangan.

“Solo itu punya dua keraton. Harusnya juga dijadikan pertimbangan pengembangan ekonomi kreatif. Selain itu landasan hukumnya seperti apa. Kalau pengembangan kota pusaka sudah jelas ada dasarnya. Ini harus disiapkan dulu,” katanya.

Bambang sepakat menjadikan ekonomi kreatif ke depan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian Kota Bengawan.

“Di sini sumber dayanya terbatas. Tidak punya daya tarik. Tidak punya lahan pertanian. Magnetnya cuma budaya, sejarah, dan kesenian. Sekarang ini tantangannya bagaimana membuat kreativitas baru yang menarik orang selain budaya, sejarah, dan kesenian,” jelasnya.

Akademisi UNS Solo ini menyarankan arah pengembangan ekonomi kreatif ke depan jangan sampai membuat pelaku industri kreatif kota ini menjadi komoditas nasional.

“Solo selama ini kesannya jadi cuma menyediakan bahan baku. Yang memanfaatkan orang pusat. Barang dari sana dijual di sini pasti laku. Lain ceritanya yang membuat orang sini. Yang menonton biasa saja responsnya. Sudah saatnya konsumen lokal dididik,” ungkap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya