SOLOPOS.COM - Suasana Kota Solo dari Rooftop Solo Grand Mall, Selasa (6/2/2018). Kota Solo mendapat predikat Kota Layak Huni dengan indeks tinggi dari Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Penilaian tersebut dilakukan di 19 provinsi dan 36 kota di Indonesia. (Nicolous Irawan/JIBI/SOLOPOS)

Konsep Solo Kota Kreatif tak boleh korbankan budaya lokal.

Solopos.com, SOLO—Para pelaku industri kreatif memberi masukan atas persiapan Kota Solo masuk ke UNESCO Creative City Network (UCCN) atau Jaringan Kota Kreatif UNESCO. Mereka meminta keseriusan dalam berbagai hal agar konsep itu tidak mentah begitu saja.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Salah satu seniman Solo, Suprapto Suryodarmo, kembali mengingatkan agar konsep kreatif dalam Solo Kota Kreatif tidak mengorbankan budaya lokal. Jika kreatif yang dimaksud terkait erat dengan kapital, Solo bisa saja menjadi semacam Singapura.

“Kalau hanya kota kreatif, Solo harus susul Singapura. Kalau kita masih memakai Solo sebagai Kota Budaya, kita harus jernih. Harus dipahami, apakah lewat seni dan kebudayaan untuk mencari uang? Atau dengan kreatif ide kita mendapat uang?” ujarnya dalam diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Solo di Solo Bistro, Kamis (8/3/2018).

Ia mengumpamkan para seniman yang berkesenian karena kebutuhan pribadi mencapai hasil makrifat lewat dunia kesenian dan kebudayaan. Mereka mendapat rezeki karena diundang menjadi guru atau lainnya.

“Bagi yang berkreatif untuk mencari uang, kalau tidak hati-hati akan mandek di tengah jalan karena ’barang dagangannya’ habis. Lalu dia mencomot kreativitas orang lain,” kata lelaki yang akrab disapa Mbah Prapto tersebut. (baca juga: SOLO KOTA KREATIF : Pasar Kreatif di Kota Bengawan Terus Berbenah)

Jika tak bijak membangun Kota Kreatif, ia khawatir Kota Solo bakal jadi pegawai UNESCO. Ia mendengungkan adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) budaya khususnya berkaitan dengan pemikiran nilai-nilai etnisitas.

Seorang akademisi sekaligus pelaku seni, Joko Suranto, menilai ada beberapa kegiatan yang sudah, sedang, dan akan berlangsung. Pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu memandang perlu inventarisasi potensi kreatif, zona kreatif, program kreatif, sumber daya, dan infrastruktur di Solo. Dengan demikian, database akan tercukupi.

Ia kemudian membandingkan Solo dengan Jogja. Ia menilai Jogja lebih dikenal karena sustainability (keberlanjutan) berjalan. Sedangkan di Solo, aktivitas selalu terkait dengan market (pasar) dan kapital.

“Banyak program gratis, tapi tak datangkan kapital,” kata dia.

Ia juga memberi masukan atas rencana penerbitan dan penyebarluasan buku terkait Solo Kota Kreatif. Jika desiminasi tak jelas, buku juga berpotensi tidak terbaca.

“Harus dirumuskan agar Solo bukan hanya diakui sebagai Kota Kreatif oleh UNESCO. Tapi, orang akan melihat Solo sebagai Kota Kreatif,” tutur lelaki berambut gondrong tersebut.

Seniman tari, Irawati Kusumorasri, menyoroti sulitnya birokrasi di Bekraf. Sebagai pelaku seni kreatif, ia ingin “berlari” dengan menjual potensi yang ada dan maju ke level internasional bersama seni tari, teater, keroncong. Tetapi hal itu belum juga bisa terwujud.

“Satu dua kali harus ada campur tangan Pemerintah Pusat. Tak ada seni pertunjukan langsung berdiri tegak tanpa bantuan,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya