SOLOPOS.COM - Mukhlis, Yayasan Pendidikan Jama'atul Ikhwan Solo (Solopos/Istimewa)

Penetapan Gusti Pangeran Harya (G.P.H.) Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, yang baru berusia 25 tahun sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (K.G.P.A.) Aria Mangkunagoro X Sebagai headline pemberitaan Solopos 2 Maret 2022 menambah deretan barisan pemimpin muda di Kota Solo. Secara kebetulan penetapan menjadi Adipati Mangkunegoro ini bersamaaan dengan  momentum setahun lalu tepatnya 26 Februari 2021  dengan dilantiknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo.

Sekadar mengingatkan pula secara bersamaan diikuti dengan ditetapkannya Ustaz  Nur Kholid Syaifullah sebagai pengganti Ustaz Ahmad Sukino sebagai pimpinan Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) menjadi penciri penuh arti.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Momentum   Februari – Maret ini  layak diberlakukan sebagai  hari kepemimpinan pemuda khususnya di Kota Solo, persepsi ini bukanlah tanpa sebab berarti. Pemimpin muda usia ataukah pemimpin matang pengalaman merupakan pengulangan diksi kepemimpinan di negeri ini. Terlepas dari takdir illahi pelantikan kaum muda sebagai pemimpin formal pemerintahan maupun entitas budaya dan agama ini seakan memiliki kesamaan peran pemberdayaan mengingat pembangunan kredibilitas organisasi terkait peran strategis selama ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Munculnya pemimpin muda ini menjadi warna tersendiri mengingat persepsi kepemimpinan di negeri  ini pada umumnya kepemimpinan berada di kalangan kaum matang dengan kecermatan peran serba mantap segala arah. Sekadar membandingkan, pimpinan keagamaan maupun pemerintahan di negeri ini  didominasi pihak dengan kematangan usia tertentu dan teramat sakral untuk dijamah kaum muda belia.

Layaknya sebuah patron sosial kesamaan tuntutan bagi keduanya memiliki kesamaan peran tak terbantahkan. Muda bertenaga minim kendala layak disematkan terhadap keduanya manakala memulai melaksanakan proses kepemimpinan dalam periode mendatang. Pelantikan dan penetapan tersebut memberikan beragam implikasi yang manakala tidak dipersepsikan sejak dini berpotensi melukai banyak insani.

Fenomena ini bukan tanpa alasan berarti mengingat dibalik keduanya  tidak lepas dari nama besar dibalik dua tokoh muda tersebut. Persona Joko Widodo orang tua Gibran pada saat menjadi Wali Kota Solo, pola dakwah berbasis ketegasan MTA oleh ustaz Ahmad Sukino, serta pembangunan jaringan K.G.P.A. Mangkunagoro IX menjadi spirit baru pengelolaan pemerintahan dan sosial budaya hinga saat ini belum bisa disamai oleh penerusnya. Humanisasi peran sebagai style pendahulu sang pemimpin tersebut selayaknya menjadi inspirasi sedemikian lestari dan mewariskan bagi generasi  pengganti.

Menyikapi realitas pemimpin muda ini tidak jarang memunculkan skeptisisme peran tak berkesudahan.  Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, harus melampaui (K.G.P.A.) Aria Mangkunagoro IX, Gibran harus setara Jokowi bahkan melampauinya, Nurcholis wajib  melebihi Sukino karena kelimuan serba lengkap disematkan manakala mempersepsikan konteks kekinian. Tuntutan tersebut seakan menunjukkan betapa kejamnya stigma pada awalan kepempimpinan. Lantas bagaimanakah selayaknya momentum kaum muda memimpin Solo ini dalam pemberdayaan berkelanjutan?

Refreshing Kepemimpinan

Berdamai dengan situasi layak dikedepankan dalam mempersepsikan kesegaran kepemimpinan berbasis kepemudaan ini. Pola kedamaian stuasi ini bukan menjadi pemahfuman dengan segala tingkah pola sang leader tersebut sehingga meniadakan aspek kontrol sosial namun konstruktivitas peranlah yang harus di kedepankan.

Kharisma (K.G.P.A.) Aria Mangkunagoro IX harus dilampaui  Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo secara fisik maupun struktural tidak bisa sama peris tersaji. Kredibilitas Jokowi dengan legasi infrastruktur dan pola sosial baru teramat sukar untuk ditirukan ulang serta tidak dalam tataran bisa disaingi dengan kesamaan tindakan.

Di sisi lain kesuksesan ustaz Sukino melebarkan  jaringan dakwah teramat berbahaya jika generasi penerusnya terbuai dengan kenyamanan tidak menampilkan kebaruan pola dakwah. Infrastuktur dan loyalitas jemaah warisan dua tokoh  tersebut telah menjulang sebagai artefak sosial yang memerlukan konsekuensi bahkan peningkatan untuk kesesuaian generasi kekinian.

Tantangan generasi kekinian inilah yang selayaknya dikedepankan baik pelaku kepemimpinan kaum muda tersebut maupun khalayak yang menjadi jemaah kepemimpinannya. Komunikasi lintas generasi menjadi pekerjaaan utama sebagai salah satu kunci yang harus ditekankan untuk mengembangkan kepemimpinan berkelanjutan.

Pola kesetaraan generasi hingga saat ini belum sepenuhnya dijalankan secara proporsional dengan kecenderungan untuk dilupakan. Ketiadaan pola khas ini tidak jarang berpotensi menumbuhkan konflik dalam institusi.

Publik asyik masuk dengan artefak kepemimpinan pada masa silam sedangkan generasi pengganti  memiliki  niatan teramat kuat untuk melakukan perubahan sementara narasi maupun literasi baru  kepemimpinan tidak kunjung diilaksankan.

Persepsi ini menjadikan kepemimpinan bukanlah kelanjutan kebermaknaan peran namum kompetisi lintas generasi. Peneguhan pola ini teramat mudah untuk ditebak hasil akhirnya. Publik memberhalakan pola kepeminpinan masa lalu sementara kepemimpian pengganti dianggap anak bawang sehingga estafet kepemimpian tidak kunjung terlaksana dan hanya mengungu romantisme masa lalu berulang.

Persepsi di atas tidak kunjung terselesaikan manakala sekedar membandingkan generasi pendahulu dengan generasi penggantinya. Dengan persepsi ini justru dinantikan kolaborasi lintas generasi sehingga amal jariah ini bisa dipetik tanpa putus dan pupus. Orang bisa meniru usahamu tapi tidak bisa meniru rezekimu sebagai patron dalam aktvitas jual beli dapat menjadi inspirasi  dalam menginisiasi kepemimpinan pengganti ini.

Gaya baru kepemimpinan menjadi tuntutan kebaruan pola teramat naif jika dihadapkan apple to apple. Ilustrasinya Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo jika mencontek persis apa yang telah diupayakan ayahanda menumpulkan kebaruan. Gibran menjadi teramat aneh manakala mengedepankan blusukan layaknya sang ayah dalam menyerap aspirasi.

Tuntutan agar ustaz  Nur Kholid Syaifullah dalam menyampaikan kajian tidak segahar ustaz Sukino. Masng-masing memiliki karakteristik tersendiri yang tidak layak untuk dimirip-miripkan walaupun dalam satu genetika yang sama.

Pengembangan kepemimpinan sesuai zaman yang dihadapi pemimpin baru inilah yang harus dikedepankan manakala sang pemimpin melaksanakan tugas kepemimpinannya. Gaya baru Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, Gibran maupun Nur Kholid dalam memimpin justru memberikan warna khas dan menjadikan keunikan tak tergantikan karena hakikatnya tidak ada kesamaan persis dalam satu ciptaan.

Saya sangat menantikan pola kebaruan pengelolaan Mangkunegaran lebih kekinian dari Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, akselerasi kepemimpinan gaya martabak dari mas Gibran dalam melayani masyakat maupun video pendek segar ceramah dari ustaz  Nur Kholid Syaifullah. Hal ini sedemikian indah terasa dibandingkan keduanya berupaya menjadi setara kepemimpian pendahulu mereka.

Edukasi publik pun akan terkonstruksi sedemikian indah terwarna. Di satu sisi publik terdinamisasi dengan beragam pola disisi lain optimalisasi peran kepemimpinan ini akan berjalan proporsional.  Publik  pun selayaknya beradaptasi dengan pola kepemimpinan terbarukan ini. Move on pemimpin masa lalu layak disematkan pada publik agar akselerasi kepemimpinan ini berkelanjutan dan memberikan kemanfaatan berkelanjutan.

Menarik ditunggu terobosan anak-anak muda ini dalam beradaptasi dengan keadaan kekinian dan dapat menjadi platform bagi regenerasi kepemimpian dalam beragam peran yang menuntut konsistensi perjuangan.

Mangkunegaran adalah warisan budaya tak tergantikan. Politik merupakan sebuah kepentingan. Dakwah adalah penyampaian ajakan kebaikan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya