SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (14/1/2019). Esai ini karya Suwarmin, jurnalis Harian Solopos. Alamat e-mail penulis adalah suwarmin@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO — Solo sebenarnya tak ada dalam peta pemerintahan Indonesia. Yang ada adalah Surakarta. Kota Surakarta. Kalau toh menyebut Solo sebenarnya lebih tepat ditulis Sala, dengan huruf “a”, dibaca seperti kita membaca kata “cocok” atau “elok’. 

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Orang-orang lama masih fasih menyebut Sala seperti itu. Seperti orang-orang desa di sekitar Solo yang menyebut Sala dengan luwes: piknik nyang Sala. Ya, Sala atau Solo memang pusat kota bagi kawasan di sekitarnya: Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, Sragen, atau Boyolali.

Solo dianggap sebagai kota besar terdekat bagi kawasan Jawa Timur sisi barat seperti Ngawi, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Pacitan. Kawasan ini dalam tinjauan budaya masih masuk kultur Mataraman dengan Solo menjadi pusat bersama Jogja.

Orang-orang zaman dulu menyebut Solo secara khusus, yakni Negari. Merujuk pada pusat pemerintahan. Sejak empat tahun lalu, ketika mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden negeri ini, Solo mau tak mau makin moncer.

Ada kelakar yang menyebut Solo sebagai “ibu kota kedua” Indonesia setelah Jakarta. Wajar karena sang presiden atau keluarganya sering wira-wiri ke Solo, pulang kampung, makan satai di Loji Wetan, jalan-jalan ke mal-mal di Solo, jagong manten ke kolega lama, atau sekadar jalan-jalan di are car free day di Jl. Slamet Riyadi.

Musim berganti, tahun berlalu. Setelah empat tahun berkuasa, kini Jokowi harus berlomba lagi merebut kursi presiden berhadapan dengan lawan yang sama tahun 2014 lalu: Prabowo Subianto.

Pada 2014 Prabowo berpasangan dengan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa. Kini Prabowo menggandeng pengusaha Sandiaga Uno. Jokowi juga berganti partner. Pada 2014 dia berpasangan dengan pengusaha dan politikus senior Jusuf Kalla, kini Jokowi ditemani ulama senior K.H. Ma’ruf Amin.

Dengan pemain utama sama, nuansa dan narasi pemilihan presiden 2019 nyaris sama dengan pada 2014. Setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta yang mengharu biru hingga ke berbagai daerah di negeri ini, polarisasi di tengah masyarakat makin terlihat.

Pada level tertentu, polarisasi itu membelah masyarakat menjadi dua kelompok yang saling berhadapan. Media sosial menjadi lahan subur bagi persebaran ”isme” yang menyertai polarisasi ini.

Media sosial menjadi platform utama penyebaran fitnah, berita palsu atau berita keliru (hoaks) yang sudah kadung menyebar, padahal belum jelas benar kejadiannya. Kubu Prabowo-Sandi belakangan semakin agresif dengan aksi door to door, menemui keluarga, komunitas, baik offline maupun online.

Kubu Jokowi-Ma’ruf Amin mengampanyekan kesuksesan pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini, termasuk pembangunan infrastruktur yang menjadi andalan Jokowi.

Pusat Perjuangan

Dulu Jokowi disebut sebagai “petugas partai”, kini Jokowi incumbent. Dulu Jokowi menyapu bersih semua kabupaten/kota di Jawa Tengah, kini kubu Prabowo memandang Jawa Tengah sebagai pusat perjuangan.

Inilah kisah menariknya. Pekan lalu, seperti dimuat koran ini edisi Sabtu (12/1), hanya berselang sekitar 12 jam, dua pos komando pemenangan calon presiden-calon wakil presiden diresmikan di Kelurahan Sumber, Banjarsari, Solo.

PDIP mendirikan posko pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Kecamatan Banjarsari, Kamis (10/1) malam. Pada Jumat (11/1) pagi, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendirikan posko pemenangan nasional.

Tentu bukan bermaksud mengejar mitos: meneguk air Solo agar dinaungi keberuntungan tahta singgasana kerajaan. Seperti celoteh sebagian orang yang masih percaya mitos wahyu kedhaton atau ketiban pulung.

Kedua posko ini berjarak sekitar 50 meter. Dua posko pemenangan itu letaknya sekitar 700 meter  dari rumah Jokowi. Orang boleh membaca apa yang tersurat dan tersirat dari pendirian dua posko yang saling berdekatan ini.

Faktanya, Solo secara ”tradisional” menjadi basis kemenangan Jokowi pada 2014. Jokowi-JK menguasai semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. Saat itu, suara Jokowi-JK di Solo paling dominan dengan perolehan 84,36% suara.

Di Jawa Tengah, Jokowi-JK meraup 12,95 juta suara, sedangkan Prabowo-Hatta Rajasa mendapatkan 6,48 juta suara. Selisih suara Jokowi dan Prabowo di Jawa Tengah pada 2014 yang mencapai 6,47 juta berkontribusi besar (76,84%) terhadap selisih suara Jokowi dan Prabowo di tingkat nasional yang mencapai 8,42 juta [Solopos, Sabtu (12/1)].

Persentase kemenangan Jokowi pada 2014 di Jawa Tengah terlihat mencolok jika dibandingkan dengan perolehan suara di daerah pemilihan dengan jumlah penduduk besar lainnya seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.

Di Jawa Timur, Jokowi hanya menang 53,17% berbanding 46,83 % suara pemilih Prabowo. Di Jawa Barat, Prabowo menang telak atas Jokowi dengan perolehan suara 59,78% berbanding 40,22 %. Tidak mengherankan kubu Prabowo menempatkan Jawa Tengah sebagai pusat perjuangan.

Bisa jadi kubu Jokowi juga akan melakukan pendekatan berbeda untuk meningkatkan dukungan suara di Jawa Barat. Persaingan sengit juga akan terjadi di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta.

Bukan Adu Program



Semestinya kontestasi politik level tertinggi ini lebih banyak menguji program masing-masing, bukan membahas isu-isu yang tidak mendidik seperti politik identitas atau isu primordial lainnya.

Rupanya adu program bukan tema menarik dalam diskusi politik masyarakat Indonesia zaman now. Seperti industri dan bisnis yang mengalami disrupsi, politik pun mengalami gejala yang sama.

Frans Beker dan Rene Cuperus (2002) menyebut meluasnya konsolidasi demokrasi tidak senantiasa berjalan linier dengan menguatnya peran partai politik sebagai lembaga intermediasi kepentingan rakyat dan pemerintah.

Di sejumlah kasus di berbagai negara, termasuk Indonesia, citra partai politik semakin merosot di mata rakyat. Di Indonesia, banyak politikus dari partai politik yang beragam terlibat korupsi, menilap duit negara.

Partai politik menjadi institusi yang sangat penting dalam kontestasi politik sekaligus termaginalkan. Kita berharap justru karena kini kedua kubu menjadikan Solo sebagai pusat perjuangan, kita berharap tercipta suasana kondusif, saling bertenggang rasa, saling hormat menghormati.

Seperti budaya Solo yang halus dan nguwongke wong liya. Lagi pula, dari dulu paling susah membaca arah politik orang Jawa pada umumnya dan orang Solo pada khususnya. Sering ada candaan nggah nggih ora kepanggih untuk menyebut sifat orang Solo yang pintar berbasa basi.

Memaknai karakter politik orang Solo bolehlah menyimak karakter Bima (Werkudara), Bagong (punakawan), dan Kresna. Werkudara mewakili karakter orang yang tampil apa adanya, cerdas tapi pura-pura bodoh. Bagong mewakili karakter ceplas-ceplos, sembranan, tapi hati dan perasaannya halus. Kresna adalah gabungan dari kebijaksanaan, kecerdasan, dan kelicikan.

Pemilihan presiden 2019 masih lama, masih berbilang bulan. Bagi sebagian orang, ini waktu yang sangat lama dan melelahkan. Ada yang mengaku lelah lelah setiap hari berhadapan dengan ucapan-ucapan tajam di media sosial.

Segalanya masih bisa terjadi. Melihat gelagatnya, hoaks dan intrik dengan segala varian masih mungkin terjadi entah dari sudut negeri yang mana. Segalanya akan memberi efek yang bisa jadi menentukan.

Kita mengambil sikap-sikap positif dari Bima, Bagong, dan Kresna: bertenggang rasa, cerdas, dan bijaksana. Toh, pada akhirnya, kita semua tetap bersaudara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya