SOLOPOS.COM - Ki Slamet Gundono memperlihatkan Wayang Gembus kreasinya. (JIBI/SOLOPOS/Chrisna Chanis Cara)

Solopos.com, SOLO — Dalang wayang suket Slamet Gundono meninggal dunia Minggu (5/1/2014) pukul 08.30 WIB. Gundono kelahiran 1966 ini meninggal karena komplikasi penyakit yang dideritanya.

Seniman Solo bertubuh tambun ini dikalangan seniman lainnya dikenal sebagai sosok sederhana. Kreativitas dan buah karyanya telah dikenal luas hingga ke mancanegara. HU Solopos pernah menampilkan profil Slamet Gundono pada 20 Januari 2010 lalu.

Promosi BRI Catat Setoran Tunai ATM Meningkat 24,5% Selama Libur Lebaran 2024

Berikut ini Redaksi Solopos.com kembali menuliskan catatan hidup Slamet Gundono, salah satunya soal petuah dan cita-citanya.

Tak dipungkiri, munculnya beragam hiburan modern memang menggerus kesenian-kesenian tradisi. Tak terkecuali dunia pedalangan. Menurut lelaki yang kerap membawa mandolin mungil berwarna hijau kusam dalam setiap pertunjukannya itu, kalaupun masih eksis sekarang lebih pada pendekatan jual beli.

”Padahal, seniman harus berani miskin!,” ujarnya bersemangat, sembari memperbaiki posisi duduknya menjadi bersila setelah melonjorkan kaki di sanggarnya yang antik Karena dinding-dindingnya terbuat dari beragam material yang terlihat betul keasliannya. Mulai dari batako, batu bata, papan serta bambu.

Seniman, kata Slamet harus betul-betul memiliki kekuatan karya di dunia seni. Materi tau kekayaan yang didapat merupakan efek karena adanya manajemen. Sehingga karakter pemikiran mendalang memang harus diubah. Tidak sekadar profesi tetapi merupakan bagian dari hidup. Betul-betul mengabdi untuk dunia pedalangan. Jadi, wayang yang ditampilkan merupakan ekspresi dari perjalanan hidupnya. Sehingga, meskipun tidak ditanggap, akan terus berekspresi. Tidak hanya sekadar apik-apikansabet.

Menurut Slamet,  dalang juga harus berani edan. Artinya, juga harus memiliki wacana dan pemahaman yang luas dari berbagai sendi kehidupan. Serta, tak enggan untuk mempelajari ilmu yang di luar kesenangannya. ”Jangan salah, Ki Manteb itu juga belajar kungfu lho,” ungkapnya.

Tak kalah penting, kata Slamet apa yang ditampilkan tidak membuat tafsir seragam bagi para penikmatnya. Imajinasi penonton tak boleh dimonopoli. Ketidaksetujuan tafsir dari tiap penonton itulah, kata Slamet yang membuat pertunjukan justru menarik dan tak membosankan. Sementara, tafsir seragam cenderung membuat sebuah karya mandek.

”Jadi kalau ada yang tidak sepakat sosok Bima saya buat dengan perawakan kecil mungil kurus kering malah bagus,” ujar seniman yang begitu geli dengan tikus, sampai-sampai malam pertamanya pun berantakan gara-gara ada anak tikus di ranjang.

Itu sebabnya ia pun kemudian bercita-cita membuka sekolah pedalangan untuk mempertahankan dunia wayang yang beranjak dari kebebasan. Entah itu  pedalangan klasik, tradisi maupun kontemporer. Tak kalah penting, juga meniupkan semangat-semangat berteater yang mengajarkan besarnya rasa tanggung jawab dan totalitas berkarya.

”Sebab, tambah Slamet, sekolah-sekolah formal cenderung pada melestarikan tradisi kraton semata,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya