SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Wajahnya sangat lusuh ketika kutengok dia dari kaca jendela kamarnya. Dia berbaring lemah di kasur dengan rambut panjangnya yang tergerai. Lembaran-lembaran skripsi bertebaran di lantai kamarnya. Sementara komputer tuanya pun masih menyala. Tak tega rasanya aku hendak mengusiknya.

Aku menjauh pergi dari kamarnya menuju ruang televisi. Di sana teman-teman bercanda sambil menonton televisi. Ada juga yang sembari makan siang. Mendadak aku ingat Kak Dewi, apakah dia sudah makan siang? Dia kan punya sakit maag. Semoga saja dia sudah makan. Mungkin sebaiknya aku menawarinya makan sore nanti.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Ketika kulihat kembali Kak Dewi seusai aku mandi di kamar mandi dekat kamarnya, dia terlihat lebih berseri. Tampaknya dia juga sudah mandi. Oh, pintar sekali menata hatimu yang sempat kacau Kak.

“Sudah makan Kak? Aku sebentar lagi hendak ke warung. Kak Dewi nitip enggak?” tanyaku kepadanya.

“O ya dik, kalau enggak ngrepotin Kak Dewi nitip ya?

“Tentu aja ngrepotin, he he he. Tapi ingat ya Kak kalau nitip enggak boleh protes dan tidak boleh banyak permintaan,” ujarku mengingatkan salah satu peraturan yang tidak tertulis di kos ini dengan maksud bercanda.

“Ingat pelayanan prima Dik, mata kuliah Manajemen Pelayanan. Sebagai pelayan masyarakat harus siap memberikan pelayanan yang memuaskan,” ujar Kak Dewi mengingatkanku pada salah satu mata kuliah di jurusanku. Aku dan Kak Dewi memang satu jurusan walau berbeda angkatan.

Ups, oke deh nanti aku antarkan pesanannya sampai kamar dan kalau ada komplain, silakan hubungi costumer service kami.”

“Hi hi hi,” tawanya.

Senang rasanya melihat wajahnya kembali ceria ditambah mendengar tawanya yang renyah. Setiap dia tertawa tak pernah kulihat giginya yang putih itu, sepertinya dia menerapkan tertawa ala Rasulullah. Subhanallah Kak, kamu sungguh dahsyat di mataku.

“Oke Kak, nitip apa ini jadinya?” tanyaku seraya pura-pura mencatat di telapak tanganku.

“Nasi, sayurnya terserah asalkan bukan sayur pare terus lauknya ayam krispi. Kalau ada yang bagian dada ya?”

Kak Dewi beranjak masuk kamar untuk mengambil uang lalu diserahkannya satu lembar sepuluh ribuan kepadaku.

“Siiip. Kalau nasinya habis gimana Kak?” godaku sekali lagi sebelum meninggalkannya.

“Harus ada. Kalau tidak ada kamu harus pulang ke rumah, minta sama ibumu di rumah.”

Aku tertawa terbahak. Wah, tawaku sungguh-sungguh enggak mencerminkan tawa Rasulullah. Segera kututup mulutku dengan kedua telapak tanganku setelah aku tersadar.

Aku berjalan ke kamarku, berganti pakaian dan kemudian memanggil Sari untuk beli makan. Tadi sebelum mandi aku sudah janjian dengan Sari untuk ke warung bareng. Ketika baru mau keluar dari gerbang kos, Ratna menyusul kami. Kemudian kami bertiga menuju warung Bu Yayuk yang terkenal enak dan murah.

“Mbak, Kak Dewi itu semester berapa sih?” tanya Ratna, anak kos baru yang masih semester I.

“Semester berapa ya?” tanyaku balik. Aku pura-pura mengingat padahal sebenarnya aku tahu.

“Kak Dewi angkatan 2004 kan, Lis? Berarti ya sekarang sudah semester XI kan?” ujar Sari dengan mimik wajah menghitung.

“Iya mungkin,” jawabku acuh.

“Kok belum lulus-lulus ya? Lama sekali.”

“Ya memang belum waktunya lulus mungkin,” jawabku sekenanya.

“Memangnya skripsi di jurusanmu susah ya Lis?” tanya Sari, yang seangkatan denganku tapi beda fakultas.



“Aku tidak tahu. Lagian aku kan baru semester V. Jadi belum begitu paham tentang skripsi dan tetek bengeknya.”

“Kayaknya Kak Dewi terlalu sibuk berorganisasi dan ikut kegiatan segala macam yang menyita waktunya. Seharusnya dia menomorsatukan kuliahnya,” ujar Ratna.

“Sudah yuk, cepetan! Itu warungnya Bu Yayuk sudah ramai,” ujarku mengalihkan pembicaraan.

Warung Bu Yayuk ramai sekali. Kami mempercepat langkah sebelum rombongan pembeli lain yang ada di belakang kami menyerbu warung. Di tengah keramaian dan kesibukan yang berlangsung di warung, pikiranku tak bisa beranjak dari Kak Dewi. Terngiang-ngiang kembali kata-katanya kepadaku.

“Skripsi ini mengajariku makna cinta Lis. Aku harus benar-benar memahami cinta dari-Nya. Dari skripsi ini aku belajar ikhlas dan sabar dalam menerima setiap ketentuan-Nya. Aku tak bisa mempercepat takdir dari-Nya juga tak bisa memperlambat atas takdir yang telah ditetapkan-Nya padaku,” ucap Kak Dewi pada suatu waktu kepadaku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya