SOLOPOS.COM - Hery Trianto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO — Sejak dimulai pada 21 Januari 2016, jejak proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ternyata menempuh jalan terjal. Tidak saja mendapatkan tentangan dari internal kabinet, tetapi sempat menghangatkan hubungan diplomatik dengan Jepang yang telah tiga tahun melakukan studi kelayakan jalur Jakarta-Surabaya.

Seorang diplomat bercerita pernah suatu ketika salah seorang menteri koordinator dicuekin pejabat Jepang dalam sebuah kunjungan bilateral. Konon, pemerintah Jepang kecewa karena pemerintahan Presiden Joko Widodo memilih China daripada Jepang yang lebih berpengalaman menggarap Shinkansen.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Jepang akhirnya mendapatkan penghiburan dengan tetap mengerjakan proyek kereta semicepat Jakarta-Surabaya. Namun, hingga hari ini belum banyak informasi kelanjutan proyek yang diharapkan bisa memangkas waktu perjalanan kereta hingga setengahnya tersebut.

Entah mengapa proyek kerta cepat ini berbelok ke Bandung terlebih dahulu dengan bekal studi kelayakan tiga pecan dan ditargetkan bisa beroperasi pada 2019. Jadi, semestinya proyek ini selesai paling tidak 15 bulan silam dan kini kita sudah bisa bolak-balik Jakarta-Bandung dalam satu jam.

Ekspedisi Mudik 2024

Namun, apa hendak dikata, keinginan itu masih jauh panggang dari api. Proyek kereta cepat belum juga berkesudahan, bahkan dana yang dibutuhkan membengkak sampai 23%, sekitar Rp20 triliun dari rencana awal US$6,07 miliar atau Rp88 triliun.

Setelah diusut baru ketahuan bila studi kelayakan kilat yang pernah dilakukan tidak mencantumkan kepastian pembebasan lahan. Padahal, pembebasan lahan adalah masalah menahun bagi Indonesia. Demikian juga dengan berbagai terobosan telah dilakukan dan efektif dalam pembangunan infrastruktur–kebanyakan jalan tol. Jadi, bagi Anda yang ngebet untuk mencoba kereta cepat membelah bumi Betawi dan Priangan mohon bersabar.

Saya jadi ingat nasihat bijak bahwa persiapan matang adalah separuh dari pekerjaan. Dalam ilmu ketentaraan, lebih baik mandi keringat saat berlatih daripada bermandi darah saat bertempur. Tanpa perencanaan baik, kita hanya akan terantuk berbagai masalah, sementara dana investasi sudah telanjur berubah menjadi semen, baja, dan beton.

Dana investasi itu juga berbiaya karena 75% berasal dari pinjaman China Development Bank. Celakanya, pembengkakan biaya tak bisa ditalangi dari utang lagi, tetapi harus bersumber dari ekuitas. Ini adalah persoalan anyar yang tidak akan mudah di tengah tipisnya kas negara akibat pandemi Covid-19.

Bukti persiapan yang tidak matang sebenarnya juga telah menimbulkan gesekan antaranggota kabinet pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Saat itu salah seorang menteri terkait keberatan dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan mengusulkan lebih baik kita membangun jalur kereta di luar Jawa.

Menteri yang sama juga tak hadir saat ground breaking di Perkebunan Maswati, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang berujung spekulasi pencopotannya sebagai anggota kabinet. Presiden Joko Widodo sepertinya memang sudah bulat mewujudkan proyek mercusuar ketika itu.

Sikap Presiden Joko Widodo yang antiberpikir linier ini untuk banyak hal sangat tepat. Ia telah mampu membuktikan dalam 6,5 tahun kepemimpinannya dengan hasil nyata berupa terbangunnya berbagai proyek infrastuktur yang sebelumnya  sempat hampir mustahil, seperti jalan tol Trans-Jawa yang telah menghubungkan Merak, Banten, hingga Pasuruan dan tak lama lagi sampai Banyuwangi, Jawa Timur.

Meresmikan bendungan, bandar udara, ruas jalan tol baru adalah kegiatan sehari-hari Presiden Joko Widodo saat ini di tengah Pandemi Covid-19. Prestasi gemilang ini bisa tidak banyak artinya bila sejumlah proyek ambisius lain tidak dikawal dengan benar hingga akhir periode kekuasannya pada 2024.

Salah seorang mantan menteri di kabinetnya menyebut, Presiden Joko Widodo sangat visioner dalam memecahkan sistem pengangggaran yang begitu birokratis dan menembus persetujuan kompleks dari parlemen. Namun, ia harus didukung oleh para pembantu yang jujur dan bisa menerjemahkan visi tersebut dengan presisi.

Penerjemahan memerlukan daya kritis sehingga rencana besar terwujud, tidak hanya menghasilkan keputusan asal bapak senang dan centang perenang saat dijalankan. Kereta cepat ini adalah contoh paling nyata.

Proyek kereta Ccpat Jakarta-Bandung kini menjadi salah satu sandungan bila tak ingin menyebut proyek besar lain seperti jaringan kereta ringan (light rapid transit/LRT) Jakarta, Bogor, Bekasi  yang juga belum ada tanda-tanda kapan beroperasi.

Padahal, sebagian rangkaian kereta sudah didatangkan sejak tahun lalu, tetapi belum memiliki depo hingga hari ini. Ruas tol Sumatra sepanjang 2.700 kilometer adalah pertaruhan berikutnya karena mendapatkan jaminan penuh pemerintah.

Proyek ini tidak layak secara bisnis sehingga tak satu pun investor swasta mau terlibat. Lalu, dibuatlah skema keuangan yang memungkinkan proyek ini berjalan dan ditargetkan menyambungkan Bakahuni-Banda Aceh dalam satu jaringan tol.

Buntutnya, pemerintah  harus terus-menerus menyuntik modal baru kepada PT Hutama Karya (Persero), badan usaha milik negara atau BUMN yang mendapatkan penugasan, sebagai pengungkit agar perbankan bisa membiayai sebagian kebutuhan dana pembangunan.

Struktur tanah gambut di sebagian Sumatra memerlukan biaya pembangunan per kilometer lebih mahal dibandingkan dengan tanah di Pulau Jawa. Satu lagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga perlu diingatkan soal rencana memindahkan ibu kota yang di atas kertas akan dilaksanakan sebelum 2024, menjelang jabatan kedua berakhir. Banyak juga ternyata.

***

Terus terang, merujuk apa yang telah terjadi dalam 6,5 tahun terakhir dengan berbagai dinamika, saya teringat dengan ucapan Fadli Zon, anggota DPR dari Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra,  salah seorang pengkritik setia Presiden Joko Widodo.  Dia bertanya, apakah Presiden Joko Widodo ingin dikenang oleh masyarakat Indonesia?

“Dia mau dikenang sebagai apa? Mau dikenang sebagai pemimpin yang banyak utang, pemimpin yang berhasil membawa pembangunan, atau pemimpin yang betul-betul dicintai rakyat atau tidak?” kata Fadli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (21/6/2019).

Pertanyaan ini memang khas pengkritik. Namun, tak ada salah juga diperhatikan. Bukankah belakangan presiden juga secara terbuka meminta publik tak ragu-ragu untuk mengkritiknya? Memberi koreksi sekarang saya rasa juga belum terlambat karena pemerintah masih memiliki kesempatan melakukan perbaikan untuk tiga tahun ke depan.

Proyek infrastruktur adalah salah satu titik kritis dan paling masuk akal untuk diperhatikan. Beton-beton menjulang, rel kereta yang terhampar, hanya akan mencapai fungsi optimalnya jika selesai. Bila tidak, tentu hanya akan menjadi monumen dan kenangan buruk.



Itu berarti harus ada bagian-bagian yang diperbaiki, proses yang ditata, serta inovasi keuangan yang dicetuskan. Apalagi, secara politik, dukungan publik kepada pemerintahan  sekarang hampir 60%, modal yang cukup untuk dua periode kekuasaan yang mendekati garis akhir.

Inovasi keuangan mutlak diperlukan agar apa yang dikerjakan sekarang tidak menjadi beban korporasi penerima tugas pemerintah pada masa yang akan datang. Kuncinya, proyek-proyek itu harus selesai.

Dengan proyek selesai maka infrastruktur berfungsi dan uang berputar dari aliran para pengguna jasanya. Tanpa itu, mustahil  pengembalian investasi dan pembayaran utang bisa dilakukan. Ini pekerjaan sulit, tapi nothing is impossible.

Keberhasilan menambal kekurangan pengerjaan proyek infrastruktur sekarang juga menjadi modal politik yang berharga untuk kontestasi pada 2024, setidaknya bagi partai politik pendukung pemerintah. Bagi Presiden Joko Widodo, ini juga akan menentukan sebagai apa ia akan dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya