SOLOPOS.COM - Gunoto Saparie, Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jateng

Gunoto Saparie, Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jateng

Ramadan yang suci dan diagungkan umat Islam juga jadi arena bermain sandiwara. Kita saksikan bagaimana orang-orang bermain teater dan peran, yang paling banyak dimainkan adalah peran “merasa lebih islami”. Lihatlah bagaimana tayangan-tayangan di layar televisi Anda. Pasti mudah sekali membedakan tayangan pada bulan biasa dan saat Ramadan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Artis-artis kesayangan kita tiba-tiba tampil dalam balutan busana muslim. Yang pria tampak bersahaja dengan sarung, baju koko dan peci. Tutur bahasa mereka pun jadi santun dan sopan. Padahal, di luar Ramadan, mereka terbiasa tampil dengan tank top, rok mini atau baju ketat. Yang pria pun tak kalah gaya dengan yang perempuan.

Sinetron kita tiba-tiba mengusung tema-tema islami. Seketika istilah-istilah seperti antum, ukhti dan ustaz tiba-tiba akrab dalam telinga kita. Sinetron kita menjelma menjadi sinetron yang sangat islami. Penonton dibuat seakan-akan kalau menontonnya, iman jadi bertambah tebal. Padahal inti ceritanya sama persis dengan sinetron di luar Bulan Puasa. Mimpi pun tetap dijual dalam sinetron-sinetron Ramadan itu sama seperti sinetron pada umumnya. Pemeran prianya selalu masih muda dan mapan. Lengkap dengan rumah mewah dan mobil berkelasnya. Kata-kata kasar dan makian tidak ketinggalan. Bedanya, di sinetron Ramadan ini, ada kata-kata seperti astaghfirullah, masya Allah, innalillahi dan Allahu Akbar.

Hampir 24 Jam

Demikianlah stasiun televisi di Tanah Air berlomba-lomba menyajikan program acara untuk menyemarakkan bulan suci bagi umat Islam ini. Mulai dari program informasi (acara siraman rohani dalam bentuk khotbah maupun diskusi interaktif) sampai dengan hiburan (musik dengan nuansa Islam, kuis serta tak ketinggalan sinetron) hampir seharian.

Tentu saja dengan target audiens umat Islam yang secara kuantitatif merupakan pemeluk terbesar di Tanah Air. Hampir semua stasiun televisi mengubah dan menyesuaikan program acara rutin, bahkan program pada slot prime time (pukul 19.00-21.00) disesuaikan dengan menampilkan program keagamaan/nuansa Islam. Sebagaimana diharapkan, survei khalayak menunjukkan bahwa program-program tersebut memiliki rating yang tinggi.

Program acara religius di televisi selama Ramadan adalah fenomena budaya pasar yang bersifat temporer. Sebagaimana media massa yang lain, stasiun televisi tidak ingin kehilangan penonton. Dengan demikian, mereka harus melakukan penyesuaian -penyesuaian dengan menampilkan isu–isu religius. Memang, ketika agama menyatu dengan budaya populer, hasilnya adalah religi yang dikemas dalam bentuk hiburan atau religiotainment.

Kalau kita cermati, sesungguhnya tema, casting aktor/aktris serta latar, memang relatif sama dengan sinetron yang ditayangkan di luar Ramadan. Beberapa perbedaan yang mencolok, seperti keberadaan kiai sebagai peran utama serta busana muslim yang dikenakan oleh para aktor/aktris dalam sinetron tersebut. Termasuk pesan moral keagamaan (Islam) yang ditambahkan sebagai pembeda dengan sinetron di luar Ramadan.

Ramadan adalah momen di mana religiositas diekspresikan melalui simbol-simbol, seperti Salat Tarawih berjemaah serta menyantuni anak yatim. Namun demikian, sebenarnya simbol-simbol tersebut hanya merupakan kesadaran palsu masyarakat (society’s false consciousness ) atas religiositas. Kaum kapitalis melihat dan memanfaatkan situasi ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan profit. Oleh karena itu, selama Ramadan, hampir semua stasiun televisi memberikan porsi yang sangat besar pada acara dengan nuansa keagamaan, bukan dengan motif religius namun lebih pada motif bisnis.

Fenomena maraknya suguhan nilai ritual-religius di televisi selama Ramadan disebabkan oleh pemahaman yang dangkal atas ibadah puasa. Masyarakat terjebak dalam pragmatisme fiqh oriented. Puasa diartikan sebatas pada tidak makan dan tidak minum sehingga nilai -nilai toleran, simpati, terbuka dan ramah yang menjadi dasar makna puasa menjadi kabur bahkan terdistorsi. Agama ditampilkan begitu masif tanpa melihat realitas sosial yang melingkupinya. Di samping itu, saat ini budaya pasar (yang selalu mementingkan materi) mengalahkan budaya masjid (yang jauh dari kesan hedonisme karena budaya masjid menggambarkan budaya masyarakat yang bersih dan jujur). Berbagai tayangan televisi ritual-religius selama Ramadan yang dikemas dalam beragam program acara terjebak dalam pemahaman Islam yang simbolis-verbalis.

 

Dalam tayangan sinetron misalnya, penggunaan busana muslim-muslimat, pengucapan salam atau pemakaian simbol keagamaan lain seakan sudah mempresentasikan sebuah tayangan sinetron yang islami dan patut diteladani. Padahal di sisi lain, hal ini merupakan bentuk kehidupan glamor, serba mewah, yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran puasa Ramadan.

Memang kita harus mengakui adanya dilema dalam dunia sinetron di Indonesia. Aspek orientasi pada keuntungan tidak bisa lepas dari segenap usaha media. Segala yang ditayangkan sebisa mungkin mengikuti selera masyarakat untuk memenuhi target iklan dan pendapatan. Akibatnya, aspek kualitas kerap menjadi terabaikan.

Tentu saja bukan berarti seluruh tayangan sinetron Ramadan buruk dan dangkal. Paling tidak saya patut memberikan apresiasi tinggi terhadap program sinekuis (sinetron kuis) besutan Deddy Mizwar berjudul Para Pencari Tuhan. Meski mencapai jilid keenamnya, tayangan ini selalu dinanti banyak pemirsa untuk menemani sahur dan berbuka mereka. Tayangan ini cukup sederhana lantaran mengangkat realitas kehidupan masyarakat dengan aktor utama tiga marbot (penjaga musala). Kisah yang sarat hikmah, sederhana, lugas, dan memasyarakat.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebenarnya diamanatkan undang-undang untuk memantau segala jenis bentuk tayangan beserta kualitasnya. Namun agaknya KPI(D) pun belum bisa berfungsi secara maksimal. Masih menjamurnya tayangan-tayangan sinetron yang tidak berkualitas membuktikan hal itu. Ke mana pula Kemenkominfo, yang dalam hal ini memiliki tanggung jawab paling besar dalam menyikapi fenomena memprihatinkan ini?

Peranan sinetron dalam menanamkan pengaruhnya kepada pemirsa, perlu mendapatkan perhatian serius. Bagaimana pesan yang disampaikan dari sinetron kepada masyarakat? Efek apa yang kemudian muncul apabila pesan tersebut meresap ke dalam benak masyarakat, yang kemudian memengaruhi cara berpikir mereka sehingga membentuk ideologi tertentu?

Kita tentu saja layak berharap agar banyak bermunculan ide-ide kreatif para sineas untuk menayangkan sajian edukatif dan islami ke tengah masyarakat. Karena, masyarakat berhak mendapatkan sajian bermutu yang mencerdaskan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya