SOLOPOS.COM - Para pemain saat tampil mementaskan lakon Minak Jinggo Menggugat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jl Sriwedani, Minggu (24/11) malam. (JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto)

Harianjogja.com-Apa jadinya jika kisah Minak Jinggo ditampilkan secara seronok namun juga kritis? Hal inilah yang terlihat saat kelompok teater Geng Tengkorak SMA Kolase De Britto berkolaborasi dengan Teater Stero SMA Stella Duce 2 Jogja mementaskan lakon Minak Jinggo Menggugat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jl Sriwedani, Minggu (24/11) malam. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Kurniyanto.

Tampil di hadapan ratusan penonton, para pemain berusia remaja itu berani melontarkan kalimat kritis menyinggung persoalan yang tengah menimpa bangsa Indonesia, termasuk DIY sekalipun.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Misalnya menyebut Blambangan Ora Didol, yang tidak lain merupakan plesetan dari Jogja Ora Didol, tulisan mural yang pernah terpasang di bangunan di Pojok Beteng Wetan dan sempat menjadi pemberitaan di sejumlah koran beberapa waktu lalu. Selain itu mereka juga berani menyindir para wakil rakyat yang kerjanya hanya melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri tanpa memerhatikan kepentingan rakyatnya.

Antonius Didik Kristantohadi, sutradara Minak Jinggo Menggugat menjelaskan, dalam pementasan itu ia sengaja memberikan kebebasan penuh bagi para pemain untuk bebas berdialog. “Saya ingin mereka [pemain] menjadi diri sendiri. Karena pementasan teater selama ini, banyak pemain terbelenggu karena hanya tampil sesuai dengan naskah,” katanya kepada Harian Jogja, Senin (25/11) malam.

Tak mengherankan jika pemain seringkali menyisipkan kalimat vulgar tatkala dalam adegan. “Yang pasti apa yang mereka suarakan sesuai dengan realita yang mereka rasakan sebagai anak SMA,” imbuhnya.

Malam itu, penampilan para pemain mampu menghibur penonton. Terbukti suara derai tawa kerap menggema sepanjang pertunjukan berlangsung. Selain melontarkan joke-joke lucu berbau sensualitas, para pemain juga sesekali melawak dengan gaya lawakan Srimulat. Seperti bergaya ala banci ataupun terjatuh. Kendati demikian, pentas itu tidak lantas menjadi hilang keseriusannya terutama untuk menyampaikan kritik sosial terhadap pemangku kebijakan. “Kami kritis tapi tidak ceriwis,” kata Very Adrian, Art Director Minak Jinggo Menggugat.

Lakon ini mengisahkan kekisruhan yang terjadi di kerajaan Majapahit, saat Kebo Marcuet  terus merongrong kedaulatan Majapahit. Tidak tahan dengan tingkah polah tersebut, Ratu Ayu Kencana Wungu, Raja Majapahit lantas mengadakan sebuah sayembara. Ia bakal memberikan kerajaan Blambangan (kerajaan kecil yang masuk wilayah Majapahit) dan ia akan menjadikan suami yang mampu mengalahkan Kebo Marcuet.

Dalam  cerita aslinya, Jaka Umbaran ditolak Ratu Kencana Wungu yang seharusnya menjadi istrinya. Namun dalam pentas itu, cerita justru dibalik yakni Jaka Umbaran yang justru menolak untuk menikahi Ratu Kencana Wungu.

“Kami membalik naskah karena menurut kami Jaka Umbaran merupakan representasi dari rakyat yang sudah muak dengan janji –janji penguasa yang disimbolkan oleh Ratu Kencana Wungu,” beber Didik.

Pentas Minak Jinggo Menggugat, imbuh Didik merupakan sarana untuk mengajak siswa atau generasi muda untuk melihat kembali, mengkritisi, dan merefleksikan kehidupan bangsa Indonesia saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya