SOLOPOS.COM - Saila Salsabila Arum Al Khakim dan Alma Dwi Yulia Sari dari SMAN 1 Gresik. (Istimewa-dokumen pribadi)

Revolusi industri 4.0 membawa perubahan signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pada era ini, terjadi pergeseran trend inovasi ke arah teknologi digital. Dalam aspek sosial, teknologi sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat agar bisa berkomunikasi satu sama lain. Begitu pula pada aspek ekonomi. Perkembangan financial technology atau yang biasa dikenal dengan fintech semakin menyatu dengan masyarakat dan menghapus sekat-sekat diferensiasi sosial. Namun, semakin dikenalnya financial technology dikhawatirkan akan menyebabkan disrupsi dalam kehidupan masyarakat.

Fintech merupakan inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Fintech pertama kali muncul di Benua Eropa pada 2005 silam. Fintech hadir dalam bentuk P2P Lending di Inggris. Di Indonesia, financial technology mulai dikenal pada tahun 2006. Sebelum adanya Asosiasi Fintech Indonesia (AFI), masyarakat masih belum sepenuhnya percaya terhadap perusahaan fintech. Memasuki tahun 2015, kepopuleran financial technology semakin meningkat. Hal itu ditandai dengan pertumbuhan perusahaan fintech sebesar 78% pada kurun waktu 2006 sampai 2017.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Akan tetapi, disamping pesatnya perkembangan fintech di Indonesia masih ada sebagian masyarakat yang belum mengerti sepenuhnya tentang fintech. Kelompok masyarakat tersebut menganggap fintech belum bisa menggantikan posisi uang tunai yang mana telah terbiasa digunakan. Indonesia menempati peringkat 111 dari 176 negara berdasarkan pengetahuan teknologi informasi. Ini membuktikan masih tingginya angka gagap teknologi atau biasa disebut dengan istilah “Gaptek” menjadi alasan lain fintech belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.

Kehadiran fintech tidak dipungkiri membawa risiko pada sektor perekonomian. Seperti yang dikatakan oleh Nofie Iman, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada bahwa regulasi fintech yang belum matang berpotensi menimbulkan penyelewengan seperti shadow banking, Multi Level Marketing (MLM), dan money game. Tak hanya itu, kemajuan teknologi digital juga menyebabkan polarisasi pekerjaan (job polarisation) dan “pengkultusan” sebagai alternatif pertumbuhan ekonomi. Gambaran ini sudah terlihat pada masa sekarang. Seperti pemberlakuan e-Toll, e-Ticket, dan e-Banking yang menyebabkan hilangnya pekerjaan bagi sebagian orang.

Diperkirakan dalam kurun waktu 15-20 tahun mendatang fintech akan menggeser eksistensi penggunaan uang tunai baik kertas maupun logam. Hal itu dibuktikan dengan gencarnya kebijakan pemerintah melalui Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang bertujuan untuk mengistiadatkan penggunaan keuangan digital dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah melalui Bank Indonesia telah bekerja sama dengan beberapa pihak untuk memberi sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Sebagai langkah untuk merealisasikan gerakan tersebut, telah diterapkan pemberlakuan Less Cash Society (LCS) dikalangan pelajar dan mahasiswa.

Fintech mampu menghadirkan kemudahan dalam bertransaksi. Dimana transaksi model lawas dapat tereliminasi oleh praktisnya fintech. Partisipasi generasi muda dari rentang usia 19-34 tahun mencapai angka 66%. Tingginya angka tersebut dipicu oleh efisiensi fintech baik dari daya guna, waktu, dan tenaga. Turunnya penggunaan uang tunai juga berimbas pada peredaran uang palsu. Fintech menekan jumlah pelanggaran tindak pidana pemalsuan mata uang. Tetapi apabila ditinjau dari segi kualitas peredaran uang palsu menunjukkan kenaikan. Problematika tersebut masih butuh perhatian publik, terutama pihak yang berwajib.

Kemudahan akses pelayanan keuangan digital mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kemudahan tersebut dapat dilihat terutama saat masa pandemi Covid-19. Keuangan digital berperan penting dalam mengurangi kontak dengan orang lain dan mencegah persebaran virus Covid-19. Berdasarkan peraturan presiden nomor 82 tahun 2016 tentang strategi nasional keuangan inklusif. Keuangan inklusif adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal. Keuangan inklusif menciptakan sistem keuangan yang stabil sehingga mendorong pemerataan pembangunan dan menanggulangi kemiskinan di Indonesia.

Maraknya online shop dan marketplace seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia juga menjadi salah satu bukti bahwa fintech digemari kalangan pebisnis. Owner sebuah online shop diuntungkan dengan rendahnya bunga pada pinjaman modal saat fase pengembangan bisnis rintisan. Bahkan, online shop dan marketplace juga diuntungkan dengan kehadiran layanan fintech, yakni mereka bisa menyederhanakan proses transaksi sehingga biaya operasional bisa lebih hemat. Strategi promo menggunakan diskon dan scan QR code juga bisa menjadi alasan agar masyarakat semakin giat bertransaksi menggunakan uang elektronik.

Dengan zaman yang semakin canggih QR code dipakai untuk banyak keperluan. Bank Indonesia (BI) mencatat sebanyak 4,7 juta merchant telah menggunakan QR code. Diantara banyaknya QR code aplikasi dompet digital, Bank Indonesia merancang dan menetapkan suatu standarisasi sistem pembayaran berbasis QR code. Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS adalah sistem yang bersifat inklusif sehingga semua lapisan masyarakat dapat menggunakannya.

Diantara kekurangan dan kelebihan fintech harus selalu diikuti dengan sikap selektif. Arus digitalisasi keuangan mampu mendatangkan peluang dan manfaat serta akan menjadi ancaman apabila tidak diimbangi dengan sifat unggul. Perkembangan layanan teknologi finansial yang begitu cepat juga perlu pengawasan intensif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu regulator fintech di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya