SOLOPOS.COM - Muh Kholid AS, Peneliti di Institute for Religion and Society Studies (IRSoS), Alumnus Pesantren Ngruki, Sukoharjo. (FOTO/Istimewa)

Muh Kholid AS, Peneliti di Institute for Religion and Society Studies (IRSoS), Alumnus Pesantren Ngruki, Sukoharjo. (FOTO/Istimewa)

Jika kita mencermati proses pemberantasan korupsi di negeri ini, terdapat pemandangan unik yang bisa mengusik emosi keagamaan. Seseorang yang sebelumnya dikenal senang berpakaian modis dan seksi, tiba-tiba mengenakan kerudung atau jilbab saat menjalani persidangan karena dituduh berkorupsi. Jilbab acapkali dimaknai sebagian masyarakat sebagai simbol keimanan dan keislaman seseorang, sementara korupsi punya makna yang sebaliknya.
Kedekatan ”simbol” agama dengan korupsi tentu bukan monopoli Dharnawati, tersangka dalam kasus korupsi dana proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemennakertrans). Setidaknya juga ada dua tersangka koruptor berjilbab yang tidak kalah populernya: Wa Ode Nurhayati dalam kasus PPID dan Nunun Nurbaeti yang terjerat kasus suap terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Juga dalam kasus Wisma Atlet dengan tersangka utamanya M Nazaruddin, sebuah nama yang ”sangat islami”.
Keeratan simbol agama dengan korupsi ini semakin kentara jika merujuk survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir 2011 lalu. Hasil survei menempatkan kaum ”agamis” terpuruk dalam ”budaya” korupsi. Dalam survei yang dilakukan di 22 instansi pemerintah pusat itu, Kementerian Agama (Kemenag) justru keluar sebagai yang terjelek dalam indeks integritas, disusul Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Temuan ini tentu cukup memprihatinkan karena Kemenag dianggap sebagai lambang moral dan akhlak bangsa. Apalagi ia dipimpin oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang tentunya sangat memahami nilai-nilai agama. Keprihatinan semakin mendalam karena dua lembaga terburuk selanjutnya tersebut dipimpin oleh tokoh Islam. Menakertrans Muhaimin Iskandar adalah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga mantan Ketua Umum PMII, sementara Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Syarief Hasan, juga dikenal sebagai mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Belum tentu tokoh-tokoh (Islam) yang memimpin tiga lembaga tersebut terlibat korupsi. Namun, dijadikannnya kementerian mereka sebagai lembaga terkorup, otomatis persepsi masyarakat menduga mereka terlibat korupsi. Yang jelas, mau atau tidak, suka maupun tidak, simbol keislaman yang melekat pada lembaga dan individu mereka membuat pembicaraan relasi agama dan korupsi cukup menggelitik.
Apalagi dalam catatan sejarah korupsi di negeri ini harus diakui secara jujur bahwa kalangan ”agamis” justru sebagai ”pelopornya”. Menengok koruptor dari kelas mantan menteri yang pertama masuk bui, di jajaran Kemenag–yang dulunya bernama Departemen Agama–yang mengawalinya adalah KH Wahib Wahab. Dalam catatan almarhum Rosihan Anwar per 30 Oktober 1962, putra sulung pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdul Wahab Hasbullah, itu dituntut jaksa dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp15 juta. Setengah bulan berikutnya, Wahib dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim.
Kemesraan hubungan Wahib dengan penguasa, dimanfaatkan untuk memperingan hukuman lewat jalur grasi. Menteri Agama yang menggantikan Wahab, KH Saifuddin Zuhri, memohon kepada Soekarno agar menghentikan tuntutan kepada Wahib. Sebaliknya, Soekarno meminta menteri agama menikahkan dirinya dengan Haryati, sebagai istri ketiga (Andree Feillard, 1999). Sejarah pun mencatat, Wahib Wahab bebas, sementara Soekarno menikah lagi untuk kali ketiga.
Yang tidak kalah hebohnya tentang korupsi di kementerian ”santri” ini adalah apa yang dilakukan Menteri Agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar. Hanya dalam jangka tiga tahun, 2002-2004, dia berhasil ”menggarong” dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) senilai Rp35,7 miliar dan Dana Abadi Umat (DAU) senilai Rp240,22 miliar. Akibatnya, menteri yang juga tokoh agama ini harus merasakan pengapnya penjara selama lima tahun.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Tegas dan Adil
Fakta korupsi yang melibatkan tokoh agama ini tentu tidak bisa digeneralisasi dengan mengambinghitamkan agama (Islam) sebagai penyebab maraknya korupsi. Semaraknya korupsi maupun pemberantasannya memang tidak selalu terkait dengan kondisi keagamaan, meski tetap saja terdapat korelasi. Negara yang berhasil memberantas korupsi adalah negara yang menegakkan hukum secara tegas, tuntas dan adil, terlepas apakah masyarakatnya religius atau tidak.
Upaya memberantas korupsi tidak cukup  hanya dengan menyodorkan sebuah ”ayat-ayat” Tuhan. Orang yang mahir (fasih) membaca firman Tuhan tidak menjamin lantas kemudian mampu melawan arus korupsi. Terbukti banyak koruptor yang tidak sedikit di antara mereka justru menjadi ”tokoh” agama di komunitasnya. Yang dibutuhkan adalah pertumbuhan rohani yang harus seimbang dengan jasmani, kebutuhan agama harus dibarengi perbaikan ekonomi. Membangun agama mestinya diimbangi dengan membangun ekonomi dan budaya.
Lebih dari itu, mengharapkan ajaran dan nilai agama dapat melenyapkan korupsi merupakan harapan berlebihan. Apalagi, dalam realitasnya, pengamalan ajaran agama yang lebih merupakan moral <I>appeal<I> sering amat dipengaruhi berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Agama pada kenyataannya lebih berperan sebagai dorongan moral dan bukanlah sarana yang efektif untuk memberantas korupsi. Kebajikan ajaran agama sangat tergantung pada masing-masing individu untuk melaksanakannya atau tidak.
Berbekal pada spirit yang dikandung kitab suci, agama sesungguhnya punya kewenangan moral menyelesaikan korupsi. Agama punya kemampuan menciptakan pemahaman yang tidak cepat lekang di bawah sadar seseorang dalam membangun ruang koeksistensi normativitas dan historisitas agama. Hanya saja, pemahaman di otak memang tidak selamanya membuat seseorang mau mengimplementasikannya dalam perilaku keseharian. Inilah yang membuat simbol agama ikut terseret dalam semarak korupsi di negeri nan agamis ini. Allah a’lam bi al-shawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya