SOLOPOS.COM - Saksi ahli psikiatri forensik RSCM Natalia Widiasih Rahardjanti (kanan) memberikan keterangan pada persidangan terdakwa kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso (kiri) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (18/8). Sidang tersebut menghadirkan saksi ahli psikiatri Natalia Widiasih Rahardjanti . (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak A)

Sidang kopi bersianida kembali dilanjutkan hari ini. Di tengah sidang, senyum Jessica kembali mengembang.

Solopos.com, JAKARTA — Ekspresi terdakwa Jessica Kumala Wongso sering terlihat berubah-ubah dalam setiap sidang kasus kopi bersianida di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Jika sebelumnya sering terlihat diam sesekali membisikkan sesuatu ke pengacaranya, kali ini Jessica terlihat tersenyum lebar saat Otto Hasibuan mengajukan pertanyaan.

Promosi Usaha Endog Lewo Garut Sukses Dongkrak Produksi Berkat BRI KlasterkuHidupku

Dalam sidang ke-16, Rabu (31/8/2016) ini, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi ahli kedokteran forensik dari RS Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Budi Sampurna. Di awal kesaksiannya, Budi menuturkan autopsi sebagai cara terbaik membuktikan penyebab kematian seseorang. Namun dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, dokter forensik tak bisa melakukan autopsi karena sejumlah alasan.

Keterangan itulah yang kali pertama ditanyakan oleh Otto selaku kuasa hukum Jessica. “Saudara ahli, tolong dijelaskan apa itu autopsi,” kata Otto membuka pertanyaannya.

Budi mulai menjawab dengan makna dari kata dasar autopsi. “Autopsi itu berasal dari kata ‘auto’ [baca oto] dan ‘opsi’,” kata Budi. Tiba-tiba Jessica yang duduk di samping Otto tersenyum lebar. Tak jelas apa penyebab pastinya, namun ada kaitannya dengan kemiripan kata “auto” dan nama pengacaranya, Otto.

“Jadi maksudnya, autopsi adalah melihat sendiri, baru bisa mengetahui penyebab kematian korban. Sesuai dengan kata itu, yang diharapkan [dari autopsi] adalah semua organ itu kita lihat,” jelas Budi. Baca juga: Ahli Sebut Autopsi Sebagai “Golden Standar”, Untungkan Kubu Jessica?

Terlepas dari senyum Jessica, sidang kali ini memperlihatkan kesaksian ahli yang bisa sedikit menguatkan dirinya. Budi mengatakan bahwa autopsi merupakan golden standard (standar tertinggi) dalam pemeriksaan forensik. Meski di luar negeri berkembang metode pemeriksaan lain jika autopsi tak mungkin dilakukan, autopsi menjadi hal yang utama. Baca juga: Tanpa Autopsi, Sianida 0,2 Mg/L di Lambung Mirna Dipastikan Hanya Sisa.

“Kenapa Ahli tadi menyebut autopsi sebagai golden standard?” tanya Otto lagi. Budi mengatakan bahwa pada prinsipnya autopsi mestinya dilakukan pada tubuh yang dijumpai dalam keadan mati, atau tidak ada informasi lain selain dari organ tubuhnya.

Meski demikian, tak sepenuhnya pemeriksaan tanpa autopsi dianggap tidak memenuhi syarat. Meski tak semaksimal autopsi, dokter bisa melakukan pemeriksaan terhadap sampel organ-organ tubuh tertentu, dalam hal ini berupa sampel dari lambung, hati, empedu, dan urine.

Dalam lambung, dokter forensik menemukan konsentrasi sianida 0,2 mg/liter. Temuan sianida inilah yang kemudian dicocokkan dengan tanda-tanda saat Mirna meregang nyawa yang terekam dari CCTV Olivier Cafe, 6 Januari 2016 lalu.

“Kita bisa eksplore rekam medik. Pada kasus ini ada keuntungan kita memperoleh CCTV yang menunjukkan gejala, apa yang terjadi pada orang ini jelang kematian. Kalau mendukung, tepat ada hubungan mungkin kita bisa mengambil kesimpulan,” jelas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya