SOLOPOS.COM - Saksi yang juga sahabat Mirna, Hanie Juwita Boon (kanan), bersama sejumlah pegawai kafe Olivier mengikuti rekonstruksi kejadian kasus kematian Wayan Mirna Salihin dalam persidangan dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (27/7/2016). Kuasa hukum Jessica sempat mempertanyakan keberadaan sedotan yang dinilai merupakan salah satu fakta perjalanan sianida di kopi Mirna. (JIBI/Solopos/Antara/Yudhi Mahatma)

Sidang kopi bersianida diwarnai polemik absennya autopsi pada tubuh Mirna.

Solopos.com, JAKARTA — Ketiadaan autopsi dalam pemeriksaan jenazah mendiang Wayan Mirna Salihin kembali dipertanyakan. Justru saksi ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) mengungkapkan cara terbaik menentukan penyebab kematian seseorang adalah dengan autopsi, termasuk dalam kematian Mirna, yang justru tidak dilakukan.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Adalah ahli kedokteran forensik RS Cipto Mangunkusumo, dr. Budi Sampurna, yang menyebutkan hal itu. Dalam sidang lanjutan kopi bersianida dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2016), Budi berbicara soal prinsip pemeriksaan pada jenazah Mirna.

“Ada dua pilihan dalam hal ini. Pilihan pertama adalah tidak melakukan autopsi karena korban menolak dan tidak dipaksakan penyidik. Kedua, yaitu melakukan tindakan yang bukan autopsi, tapi memperluas pemahaman, dilakukan dengan pengambilan sampel,” kata Budi.

Pengambilan sampel dalam kasus ini memang menjadi satu-satunya jalan karena keluarga Mirna tidak menghendaki otopsi. Mereka hanya mengizinkan pengambilan beberapa sampel yaitu isi lambung, hati, dan empedu. Sampel inilah yang dibawa ke laboratorium forensik (labfor) Polri.

Budi mengakui hal ini bukan hal lazim di Indonesia, namun hal ini bisa dilakukan dalam kondisi terpaksa. “Dalam keadaan memaksa, ini mungkin juga kalau kita melakukan pemeriksaan luar tanpa autopsi, tapi kita tidak dapat apa-apa. Sehingga pengambilan sampel ini setidaknya bisa ditemukan racunnya,” kata Budi.

Hasil pemeriksaan labfor memang menemukan adanya konsentrasi sianida 0,2 mg/liter, namun tidak ditemukan zat serupa dalam organ lain, yaitu urinie, hati, dan empedu. Jaksa pun bertanya apakah pemeriksaan sampel itu sudah cukup untuk menentukan kematian korban.

“Sebetulnya secara garis besar, kalau kita menemukan racun masih dalam isi lambung, maka itu belum merupakan satu bukti yang bagus, atau dalam istilah biologi, itu belum masuk ke organ [lain]. Hal ini menjadi momok buat dokter forensik yang memeriksa mayat yang sudah meninggal sejak awal.”

Karena itu, dia mengatakan satu-satunya yang bisa diharapkan dalam kondisi mayat seperti itu adalah autopsi. Pasalnya, sianida mungkin tidak ditemukan dalam darah dan hati.

Budi pun mencontohkan metode pemeriksaan forensik yang dikembangkan di Swiss sejak 1980-an jika autopsi tidak bisa dilakukan. Mereka memeriksa tubuh secara lengkap termasuk melakukan scan pada permukaan kulit, lalu melakukan CT scan, sehingga didapatkan gambaran lengkap dari tubuh korban.

“Nah di Swiss itu, kemudian dipakai juga robot untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan, baik jaringan [mikro] maupun pemeriksaan toksikologi. Tapi mereka mengakui autopsi sebagai golden standar.”

Penegasan bahwa autopsi sebagai golden standar inilah yang kemudian dikejar oleh pengacara Jessica, Otto Hasibuan. Dia mempertanyakan pentingnya autopsi yang kebetulan memang absen dalam pemeriksaan terhadap jenazah Mirna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya