SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berkacalah di depan cermin kepribadian kita! Lihatlah dengan seksama wajah itu! Bukan hanya wajah fi sik yang saya maksud, namun juga wajah rohani. Apa yang telah kita perbuat dengan kedua bola mata, satu mulut dan dua telinga? Apa saja yang telah dilihat oleh mata, diucapkan mulut dan apa saja yang banyak didengarkan kedua telinga?

Ikuti terus deretan pertanyaan refl ektif itu sebagai cermin penggambaran identitas diri! Apa yang kemudian masuk dalam ruang pikir kita, apa pula yang senyap menyelinap bahkan mengendap dalam hati dan jiwa. Lalu cermati lagi proses selanjutnya…

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Apa yang kemudian mewujud dalam sikap dan perbuatan kita yang merupakan akumulasi proses internalisasi semua input melalui mata, telinga, otak dan hati kita itu? Sejenak, ikutilah penuturan yang pernah disampaikan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berikut ini: “Pada awalnya setan mendatangi manusia dengan bisikan-bisikan jahat dan dosa. Jika bisikan-bisikannya itu dibiarkan olehnya [manusia itu], bisikan-bisikan yang pada awalnya sekadar melintas dalam ruang pikirnya itu akan segera mencari posisi dalam pikiran menjadi ide, pemikiran dan gagasan. Sampai di sini, proses itu tidak berhenti akan tetapi akan terus berlanjut.

Kalau sebelumnya ia menempati akal pikiran, selanjutnya ia akan menyelinap melalui celah-celah hati untuk sedikit demi sedikit mencoba memengaruhi rohani. Di sinilah ia semakin menguatkan pengaruhnya hingga mewujud menjadi keinginan, niat, bahkan kehendak kuat. Pada wujudnya itu, ia telah sangat memengaruhi manusia dalam berasumsi,berpendirian dan bersikap. Ia telah menjadi semacam dorongan yang begitu kuat untuk segera diwujudkan. Maka jika kesempatan ada dan kemampuan tersedia, segera saja ia mengemuka dalam bentuk perbuatan dosa dan kemaksiatan.” Tapi tampaknya setan tidak pernah puas dengan kemenangan yang telah ia dapatkan.

Segera saja, ia mendekati manusia yang tengah kalut dan telah kehilangan pegangan serta dihantui perasaan berdosa itu. Ia bisikan lagi ke dalam diri manusia yang tengah bersalah itu agar tidak perlu merasa bersalah karena apa yang baru saja ia lakukan hal yang wajar dan manusiawi. Dalam bisikannya, setan seolah mengatakan kepadanya: “Biasalah, namanya juga manusia, tempat salah dan dosa. Apa yang baru saja kamu lakukan itu urusan sepele, toh nanti bisa istighfar. Sekarang tuntaskan saja, tanggung! Kalau sudah melakukan kenapa setengah-setengah? Sekalian saja basah, nanti tinggal mohon ampun dan beramal yang baik pasti diampuni.”

Kondisi ini kemudian menjadikan panglima diri manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Saat itu setan bahkan berlepas diri dengannya. Manusia yang sudah seperti itu tidak perlu lagi digoda setan, semampu tarikan hawa nafsu telah menguasai dirinya. Na fuudzubillahi min dzaalik! Sungguh, kita berlindung kepada Allah dari keadaan yang sangat buruk itu! Ketika manusia telah demikian akrab dengan dosa dan maksiat, sesungguhnya ia telah kehilangan identitas kemanusiaannya.

Ia bukan lagi manusia meski wujud fi siknya tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Ia telah meluncur begitu jauh ke bawah hingga tidak lagi layak untuk disebut sebagai manusia. Coba, ikuti fi rman Allah SWT berikut ini yang menggambarkan jenis manusia yang seperti itu yang berarti : “Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).

mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-A fraf/7:179) Saat itu, tidak bermanfaat lagi peringatan dan arahan kebaikan yang disampaikan kepadanya. Sebab yang terde ngar kuat di telinganya hanyalah bisik an hawa nafsunya.

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih se sat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. al-Furqon/25:43-44)

Di tempat yang lain, Allah SWT menyatakan keadaan mereka itu: sawaa-un ealaihim aandzartahum am lam tundzirhum laa yu f minuun, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak, mereka tetap tidak mau beriman. Derajat manusia seperti itu sudah sedemikian rendahnya: tsumma rodadnaahu asfalassaafi liin, kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. Hidupnya telah dikendalikan oleh kemauan hawa nafsu.

Setiap kita mestinya menjadikan semua petunjuk itu sebagai cermin bagi diri kita, bukan untuk menunjuk dan memvonis orang lain. Sebab dengan sikap seperti inilah kita akan mampu menaiki tangga rohani yang tinggi untuk menghadap Allah SWT dengan identitas kemanusiaan kita yang telah tersucikan dengan ketaatan, ibadah semata kepada-Nya dan serpihan amal kesalehan yang sempat kita kumpulkan selama menjalani kehidupan di dunia.

Kemuliaan kita di hadapan-Nya hanyalah jika kita bertemu dengannya bukan sebagai manusia, akan tetapi manusia yang telah menyerahkan diri dan tunduk patuh sepenuhnya kepada-Nya. Itulah semestinya diri kita!.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya