SOLOPOS.COM - Wakil Bupati Wonogiri, Setyo Sukarno (kanan), melihat pameran hasil karya penyandang disabilitas atau difabel di halaman Sekretariat Daerah (Setda), Jumat (10/12/2021). (Solopos/Rudi Hartono)

Solopos.com, WONOGIRI—Self Help Group (SHG) Wonogiri berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri mengintervensi masalah pendidikan bagi penyandang disabilitas berusia sekolah.

Banyak difabel anak yang tak mengenyam pendidikan atau putus sekolah karena sejumlah faktor, seperti sosialisasi mengenai sekolah inklusi yang masih kurang dan sekolah inklusi masih setengah-setengah dalam menerima difabel anak. Hal itu disampaikan SHG Wonogiri pada momentum Hari Disabilitas Internasional (HDI) yang diperingati setiap 3 Desember.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pemkab Wonogiri menggelar acara peringatan HDI di Pendapa Rumah Dinas Bupati kompleks Sekretariat Daerah (Setda) Wonogiri, Jumat (10/12/2021).

Baca Juga: Kunjungi Pranggong Boyolali, Wamenkes Ingin Kampung Germas Lebih Banyak

Ekspedisi Mudik 2024

Ketua SHG Wonogiri, Simun, kepada Solopos.com, Jumat, mengatakan Pemkab sudah memberi perhatian yang cukup kepada difabel dewasa. Sejak beberapa tahun terakhir anggaran program pemberdayaan difabel meningkat setiap tahun.

Banyak difabel dewasa yang mendapat bantuan berupa alat, pelatihan, maupun modal usaha. Tak sedikit difabel yang saat ini sudah berdaya sehingga mampu menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Menurut warga Kecamatan Jatipurno itu, masalah yang juga perlu mendapat perhatian adalah soal pendidikan bagi difabel anak. Dari lebih kurang 1.000 orang, difabel anak di Kabupaten Wonogiri yang mengeyam pendidikan lebih kurang 60 persen. Itu pun ada difabel anak yang putus sekolah.

Baca Juga: Hasil Akhir Tes Seleksi Perangkat Desa Mojopuro Wonogiri Diprotes

Simun menyebut ada beberapa faktor penyebab. Dia menilai, sosialisasi tentang sekolah inklusi bagi orang tua difabel anak masih kurang. Belum semua orang tua mengetahui sekolah mana saja yang menenerima difabel anak. Pada sisi lain, rumah mereka jauh dari sekolah luar biasa (SLB). Alhasil, orang tua tak menyekolahkan anak.

“Misalnya orang tua mengetahui ada sekolah inklusi. Orang tua pun ada yang masih enggan memasukkan anak ke sekolah inklusi karena khawatir anaknya menjadi korban perundungan atau tak bisa mengikuti pelajaran/kegiatan,” kata Simun.

Kekhawatiran orang tua, lanjut dia, bukan tanpa alasan. Orang tua merasa sekolah inklusi masih setengah-setengah dalam menerima difabel anak. Sekolah merasa repot dalam mendidik anak berkebutuhan khusus (ABK), karena guru belum terbiasa mendidik ABK.

Baca Juga: Sisir Sasaran Vaksin, Dinkes Boyolali Lakukan Door to Door

“Bahkan, bukan tidak mungkin ada sekolah yang merasa anak berkebutuhan khusus menjadi beban. Mereka dianggap sebagai penyebab turunnya peringkat sekolah dalam hal capaian akademik. Itu juga membuat orang tua menjadi enggan menyekolahkan anak mereka yang difabel,” imbuh Simun.

Dia berharap sekolah inklusi memiliki guru yang khusus menangani ABK. Sekolah merasa repot mendidik ABK karena tidak memiliki guru khusus. Simun tak memungkiri mengurus ABK tak semudah mendidik anak pada umumnya. Oleh karena itu, sekolah inklusi perlu mempunyai guru dan cara khusus dalam mendidik ABK.

Informasi yang dihimpun Solopos.com dari Dinas Sosial (Dinsos) Wonogiri, difabel yang terdata sebanyak 10.578 orang. Difabel anak tercatat 1.181 orang, sedangkan difabel dewasa 9.397 orang.

Baca Juga: Hasil Akhir Tes Seleksi Perangkat Desa Mojopuro Wonogiri Diprotes

Aib

Kepala Dinsos Wonogiri, Kurnia Listyarini, tak memungkiri masih ada difabel anak yang belum mengenyam pendidikan. Belum semua orang tua bersedia menyekolahkan anak mereka yang difabel.

Bahkan, masih ada orang tua yang menganggap ABK sebagai aib, sehingga hanya menempatkannya di rumah. Kurnia menyebut, pihaknya sering memberi edukasi kepada orang tua yang mengurung ABK di rumah. Namun, tetap ada orang tua yang tak bersedia menyekolahkan ABK.

“Sekarang difabel anak yang belum sekolah tidak sebanyak dulu. Satu kecamatan belum tentu ada 10 anak. Banyak orang tua menyekolahkan ABK di sekolah inklusi. Sekolah inklusi bisa menjadi solusi saat rumah jauh dari SLB,” ujar Kurnia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya