SOLOPOS.COM - Astrid Prihatini W.D./Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Kebiasaan malas gerak alias mager menjadikan lebih dari 1/3 orang Indonesia kurang beraktivitas fisik. Kebiasaan mager ini bukan tanpa risiko karena berbagai penyakit bisa mengintai.

Kementerian Kesehatan mencatat penduduk Indonesia yang kurang melakukan aktivitas fisik atau biasa mager meningkat dari 26,1% pada 2013 menjadi 33,5% pada 2018.

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Hal tersebut mengacu hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan. WHO telah menetapkan kurang aktivitas fisik menjadi faktor risiko munculnya penyakit tidak menular, seperti diabetes dan hipertensi.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, hanya tiga dari 10 orang Indonesia mengetahui dirinya menderita penyakit tidak menular, selebihnya tidak mengetahui mengidap penyakit tidak menular karena tidak ada gejala dan tanda sampai terjadi komplikasi.

Saya tergelitik untuk mengevaluasi diri saya sendiri. Apakah saya termasuk golongan mager atau tidak? Saya dan mungkin kita semua sering beralasan tidak punya waktu untuk berolahraga. Kalau toh punya waktu luang, pasti memilih tidur seharian atau bermalas-malasan sebagai ”balas dendam.”

Sebenarnya resep melawan mager sangat mudah. Kalau toh tidak punya waktu khusus untuk berolahraga, kita bisa menyelipkan olahraga ringan di sela-sela aktivitas kita, misalnya dengan berjalan kaki daripada naik sepeda motor bila hanya ke warung dekat rumah, naik tangga (daripada memakai lift), atau mengerjakan pekerjaan domestik seperti mengepel lantai.

Saya ingat, pada masa remaja saya termasuk mager. Saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan menonton televisi atau membaca novel-novel kesukaan saya daripada berolahraga. Ibu saya selalu punya cara ”memaksa” saya aktif bergerak.

Setiap pagi ibu saya membangunkan saya dan mengajak saya lari pagi atau jalan-jalan pagi. Sepulang berolahraga pagi, ibu saya mengajak saya ke pasar tradisional. Bukan hanya itu, setiap pergi ke toko, ibu saya mengajak saya berjalan kaki ke toko yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah kami.

Ibu saya memang berkebalikan dengan saya. Dia selalu aktif bergerak. Selain menyempatkan diri berolahraga, dia juga sering jalan kaki atau naik sepeda. Gara-gara kebiasaannya itu, ibu saya sering mendapat sindiran atau cemoohan dari orang-orang. Mereka bilang,”Kok kayak orang susah saja ke mana-mana jalan kaki. Toh, punya sepeda motor. Kenapa enggak naik sepeda motor saja? Tinggal mancal!”

Sehat dan Bugar hingga Usia Senja

Saya pun bertanya kepada ibu saya mengapa dia memilih jalan kaki atau naik sepeda ke mana-mana dibandingkan naik sepeda motor? Toh naik sepeda motor enak, enggak capai. Sementara jalan kaki atau naik sepeda bikin capai, banjir keringat, plus kepanasan (jika dilakukan pada siang bolong).

Jawaban ibu saya sangat sederhana, yaitu karena dia ingin tetap sehat dan bugar hingga usia senja. Sedari muda harus melawan mager. Setelah saya bekerja dan bisa mengunjungi banyak negara, mata saya kian terbuka. Di luar negeri, saya melihat betapa masyarakat di sana seperti ”dipaksa” jalan kaki atau naik sepeda.

Kemalasan warga Indonesia barangkali bisa dilihat dari contoh berikut ini. Saat kali pertama bepergian ala backpacker ke Kuala Lumpur, Malaysia, bersama teman-teman, saya kaget karena kami ke mana-mana harus berjalan kaki, misalnya dari hotel menuju stasiun monorel terdekat atau dari stasiun monorel ke objek wisata.

Kalau melihat peta, petunjuknya bukan berupa jarak melainkan lebih jamak keterangan waktu tempuh dengan jalan kaki, misal 10 minutes walk atau 15 minutes walk. Tentu saja kami sedikit shock dengan kebiasaan ini. Saat hendak menuju salah satu objek wisata, kami nekat menghentikan taksi yang b berseliweran di jalan.

Begitu mengetahui tempat yang hendak kami tuju, si sopir taksi justru menolak mentah-mentah mengangkut kami! Sopir itui berkata,”Kenapa naik taksi? Toh, tempatnya dekat, cuma 10 menit jalan kaki!” Ditolak sopir taksi (bukan hanya satu).

”Sopir taksi di sini kok pada belagu sih ya! Mau dikasih rezeki kok tidak mau! Coba ini terjadi di negara kita, pasti mereka dengan senang hati mengangkut kita!” begitu pikiran kami. Akhirnya, kami berjalan kaki dan memang hanya 10 menit jalan kaki sampai di tujuan.

Bagi kami yang tidak terbiasa ke mana-mana berjalan kaki (apalagi ditambah kepanasan, kehausan, dan harus menggendong ransel) tentu saja jarak tempuh 10 menit serasa satu jam. Sampai sekarang saya tidak tahu alasan kenapa para sopir taksi kompak menolak mengangkut kami, padahal kami bersedia membayar tarif sesuai ketentuan jarak minimal. Entahlah.

Lain lagi cerita saudara saya yang kebetulan suaminya bekerja di perusahaan multinasional. Suatu saat sang suami dipindahtugaskan ke kantor pusat di Yokohama, Jepang. Seperti anggapan orang Indonesia, hidup di luar negeri, apalagi di negara semodern Jepang, pasti enak, terjamin. Kenyataannya? Ya sama saja, ke mana-mana harus jalan kaki atau naik sepeda.

Peran Negara

Membeli air minum dalam kemasan ukuran galon di supermarket terdekat pun tidak bisa naik mobil seperti di Solo, harus diangkut dengan sepeda onthel! Kenapa? Karena kalau mengendarai mobil justru ribet mencari tempat parkir. Kalau toh ketemu tempat parkir, lokasinya belum tentu berdekatan dengan supermarket plus tarif parkir mahal.

Di Tokyo kita tidak bisa sembarangan berhenti lalu parkir di depan toko atau restoran. Itu baru urusan membeli air minum dalam kemasan galon di supermarket. Urusan sehari-hari juga tidak jauh dari jalan kaki, berganti-ganti angkutan umum, dan naik turun tangga subway. Bagi warga Indonesia aktivitas tersebut terasa melelahkan.

Akhirnya, saudara saya minta kembali ke Indonesia dengan alasan hidup di luar negeri tidak enak, rekasa, ke mana-mana harus jalan kaki atau naik sepeda, harus naik turun tangga subway, harus mau ganti-ganti kendaraan umum, dan sebagainya. Di negeri sendiri enak, ke mana-mana bisa naik mobil, tidak perlu rekasa jalan kaki.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putrie Arianie, mengatakan cara mencegah penyakit tidak menular simpel, yaitu menerapkan gerakan masyarakat hidup sehat seperti aktivitas fisik minimal 30 menit sehari atau jalan kaki minimal 10.000 langkah sehari  plus menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Pemerintah harus memaksa warga aktif bergerak, minimal menyediakan ruang-ruang untuk pedestrian yang nyaman atau mengenakan tarif mahal untuk parkir kendaraan. Warga secara tidak langsung dipaksa mau berjalan kaki dan beralih ke angkutan umum. Meski warga malas berolahraga, minimal mereka kan berjalan kaki dari rumah ke stasiun/halte bus terdekat atau dari halte bus ke tempat kerja.



Mengapa negara perlu hadir? Dalam jangka panjang, kita akan menua. Jumlah warga berusia lanjut di Indonesia akan menjadi 57,0 juta jiwa (naik 17,9%) pada 2045 (BPS, Bappenas, UNFDA, 2018). Selain terkait disabilitas, warga lanjut usia umumnya mengidap penyakit tidak menular berupa penyakit degeneratif yang multipenyakit.

Sesuai data hasil riset kesehatan dasar, pada 2013 warga lanjut usia banyak mengidap hipertensi, artritis, dan stroke (Kemenkes, 2013). Agar warga lanjut usia dengan  lansia dengan penyakit tidak menular tidak menjadi beban negara dan keluarga, mereka harus ”dipaksa” aktif bergerak sejak masih belia.

Saya kira ke mana-mana berjalan kaki itu tidak identik dengan hidup susah, melainkan justru itu sebagai langkah investasi kesehatan untuk hidup berkualitas pada hari tua. Mari setop mager sejak sekarang!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya