SOLOPOS.COM - Pelangi (freepik)

Solopos.com, SOLO—Inilah kehidupan. Terkadang seseorang harus menjalani kehidupan dengan kondisi yang sungguh bertolak belakang. Dia bisa ditempatkan dalam kondisi di bawah rata-rata atau miskin, namun di saat lain, dia juga bisa ditempatkan dalam kondisi yang serba berkecukupan secara ekonomi.

Semua itu merupakan takdir dan akan menjadi pelajaran dalam perjalanan hidup yang sangat bermakna. Nah, cerita saya ini berawal dari pengalaman. Keluarga saya dulunya termasuk dalam golongan di bawah rata-rata.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bapak saya saat itu bekerja sebagai buruh mebel di Solo, sementara ibu adalah pedagang tempe di pasar. Kami menjalani kehidupan yang serbaterbatas, namun kami selalu bersyukur atas rezeki yang telah Allah berikan.

Sebagai seorang siswa, keseharian saya setelah sekolah adalah membantu ibu saya membungkus tempe dan menggiling kedelai pada sore hari. Masa bermain yang menyenangkan bagi kebanyakan anak seumuran saya tidak masuk dalam daftar kegiatan saya. Saat itu, kesenangan saya hanyalah bisa meringankan beban keluarga.

Perekonomian di bawah rata-rata serta pekerjaan yang dianggap rendah bagi beberapa orang di sekitar saya menjadi beban tersendiri. Saat berada di sekolah, saya dan kakak saya sering diejek teman-teman kami.

Teman-teman memberi label pada kami “Anak Tempe”. Banyak dari mereka mengejek dan menertawakan kami. Entah mereka sadari atau tidak, tindakan mereka itu termasuk bullying sehingga melanggar pasal 335 KUHP mengenai tindakan tidak menyenangkan.

Namun, karena kami masih kecil dan dari golongan tidak mampu, yang kami lakukan hanya diam. Pada saat itu, di hati kecil ini sebenarnya ingin menangis. Kami berdua memendamnya dan tidak pernah menceritakan kepada kedua orang tua kami. Karena takut mereka bersedih dan merasa bersalah dengan kehidupan yang dialami anak-anaknya.

Ejekan dari teman-teman selalu kami jadikan sebagai motivasi untuk berusaha menjadi orang sukses. Walaupun kami dari keluarga sederhana, orang tua kami mempunyai cita-cita tinggi untuk masa depan anak-anak mereka.

Mereka berniat akan menyekolahkan semua anaknya sampai menjadi sarjana dan kelak bisa menjadi orang sukses. Tidak seperti kehidupan yang mereka alami saat ini.

Hidup bertetangga dengan segala perbedaan pola pikir dan status sosial membuat kami harus sabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Namun, suatu ketika, tanpa kami duga, keluarga kami mendapatkan pertolongan dari Allah berupa rezeki yang tidak disangka-sangka. Rezeki itu membuat kami sukses di bidang usaha mebel dan berdagang tempe.

Pada saat itu pula tetangga mulai iri dengan jerih payah kami. Mereka menganggap hasil yang kami dapat adalah hasil dari permainan mistis. Mereka terang-terangan memfitnah keluarga kami. Mereka mengatakan kami menggunakan tuyul dalam menjalankan usaha ini. Bahkan, ketika saya di sekolah, teman-teman juga mengatakan hal senada kepada saya.

Kecemburuan Sosial

Sekarang, saya akan mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Di situs itu ada delapan jenis keberagaman ekonomi di Indonesia. Salah satunya adalah perdagangan.

Perdagangan adalah kegiatan usaha untuk memasarkan barang atau jasa dari produsen ke konsumen. Aktivitas itulah yang dikembangkan Bapak sebagai penjual mebel sedangkan Ibu sebagai penjual tempe. Kesuksesan kedua orang tua yang berhasil meningkatkan taraf ekonomi kami rupanya menimbulkan kecemburuan sosial. Kecemburuan itu berdampak buruk bagi kerukunan hidup bermasyarakat sehingga rentan terjadi konflik. Yang kami khawatirkan terjadi. Terjadilah konflik antara keluarga saya dengan tetangga.

Menghadapinya, hal pertama yang kami lakukan adalah sabar dan ikhlas. Kami juga berdoa, meminta petunjuk dari Allah supaya bisa keluar dari masalah tersebut. Sedangkan langkah selanjutnya adalah menawarkan pekerjaan pada tetangga yang sedang mencari pekerjaan untuk menyambung hidup mereka.
Intinya, walaupun mereka membenci kami, namun kami tetap berusaha berbuat baik. Kami bersyukur ternyata ada dari mereka yang mau untuk bekerja di tempat kami.

Hingga saat ini, saya merasakan pertolongan Allah terus muncul. Lambat laun para tetangga mengerti apa yang telah kami usahakan hingga akhirnya mencapai sukses. Kini, kehidupan kami berangsur membaik. Tetangga mulai baik juga kepada keluarga kami. Mereka sudah menghilangkan anggapan buruk pada keluarga kami dan menghilangkan label yang dulu pernah mereka berikan.

Orang tua juga bangga pada kami, anak-anak mereka yang sekarang bisa menjadi orang sukses dan memperoleh kehidupan yang layak dan lebih baik dibandingkan kehidupan mereka. Memang perjalanan hidup akan selalu memberikan pengalaman sangat berharga.

Seseorang bisa mengalami kehidupan di bawah rata-rata, namun pada suatu saat dia sangat bisa merasakan kehidupan di atas rata-rata. Yang perlu diingat adalah selalu bersyukur atas apa yang diberikan Allah saat ini. Pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik buat hamba-Nya.

Saya berharap anak-anak yang saat ini terlahir di keluarga sederhana bisa selalu membahagiakan orang tua mereka. Dengan begitu kelak mereka menjadi anak yang mampu membanggakan kedua orang tua.

Sedangkan untuk anak-anak yang terlahir dari keluarga mampu, saya berharap mereka tidak menyombongkan diri karena roda kehidupan akan berubah. Ingatlah, warisan pun akan habis apabila seseorang tidak mampu menggunakan dengan baik. Oleh sebab itu, jadilah orang yang memiliki semangat kerja dan mempunyai keterampilan supaya kelak bisa merasakan sukses dari hasil keringat sendiri.

Penulis adalah guru di SMA Negeri 1 Sukoharjo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya