SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Januwari, bagi orang Jawa berarti hujan sehari-hari. Saben dina udan. Janjane ya ming othak-athik gathuk. Tapi kok bisa pas ya… Ee… alaaah…. Jualan selama bulan ini kok sepi ya… Padahal, kalau musim rendengan gini ini biasanya malah rame lho… Tapi, ya… gimana lagi, wong harga-harga pada naik, tapi penghasilan masyarakat ndak kunjung naik…” kata Pakdhe Harjo lirih.

Tidak biasanya memang, sang juragan angkringan itu berkeluh kesah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Tumben, Pakdhe… biasanya ndak pernah nggresula, kali ini kok kayaknya sedih gitu… Apa yang terjadi sebenarnya…” kata Noyo yang baru saja datang.

“Weh… Mas Noyo… Mangga pinarak. Nooo…, kuwi Mas Noyo diladeni….,” jawab Pakdhe Harjo.

“Ini lho, Mas… jualan saya sebulan ini kok sepiiii mamring. Biasanya kalau musim penghujan malah rame, lha kok sekarang ini sepi. Ada apa ya….”
Belum sempat Noyo menimpali keluh kesah Pakdhe Harjo, muncul Kang No dari dalam.

“Wah… teng pundi kemawon, Pak Noyo, kok dangu mboten ketingal… tindakan punapa… Lha pundi Pak Suto lan Pak Dadap,” ujar Kang No dengan ekspresi kangen kepada kelompok pejagong tetap di angkringan yang di-manage-nya itu.

“Aku bepergian jauh, Kang No… Ada tugas ke luar negeri cukup lama. Sebentar lagi Kang Suto dan Dadap juga muncul. Sudah tak-sms kok… Gawekke kaya biasane, susu jahe kenthel…” sahut Noyo.

“Pakdhe, sing sabar wae… Saat yang hampir bersamaan, Suto dan Dadap datang ke angkringan. Mereka langsung bersalaman dengan Pakdhe Harjo.

“Napa, Pakdhe… kok sajaknya rada sedih. Kurang sehat… apa kurang…” komentar Dadap begitu ketemu Pakdhe Harjo.

“Kurang penghasilan, Dap… angkringan lagi sepi… Ning sik luwih mesakke ya nasibe para kadang kita… Mereka ini berpenghasilan pas-pasan, tapi makin kepepet karena harga kebutuhan naik…” ujar Noyo menanggapi sahabatnya itu.

“Lha pemerintahe karo DPR-e pada sibuk ngurus kepentingan masing-masing… Kasus Bank Centur saja yang mereka urus, sampai lupa ngurus rakyat. Akibatnya ya seperti ini… Harga gula naik, beras naik, apa-apa serba naik,” kata Suto menukas.

“Kalau begitu, kita ini kelompok rakyat jelata, hanya dikuyakuya ya Kang… Kita hanya dibutuhkan kalau menjelang pemilihan umum. Setelah mereka terpilih dan sudah menduduki kekuasaan, jadi lupa sama kita…” kata Dadap bingung.

“Lha iya lah… Namanya juga fulitik… Kita sebagai rakyat harus pinter, bisa mandiri tidak tergantung sama pemerintah… Wong pemerintah itu kan, artinya, tukang perintah… ya bisanya cuma ngasih perintah agar rakyat bayar pajak dan pungutan ini-itu, agar rakyat menghasilkan bahan pangan, agar rakyat menjaga kesehatannya sendiri, dan lain-lain…” ujar Noyo.

“We lha… kalo gitu, neh enak tenan jadi pemerintah…” Pakdhe Harjo tiba-tiba menimpali.

“Seharusnya ya ndak, Pakdhe… Pemerintah itu kan mengemban amanah rakyat, mereka seharusnya mikirin kepentingan rakyat…” kata Noyo menanggapi.

“Sebenarnya sih, pemerintah sudah memikirkan kepentingan rakyat… Lha nyatanya, Presiden SBY juga berkali-kali meresmikan proyek yang ditujukan untuk memakmurkan rakyat gitu lho… Meresmikan jalan tol, pembangkit listrik, jalan layang, dan banyak lagi…” Suto mencoba mendudukkan persoalan.

“Betul, Kang… tapi yang menikmati hasil dari proyekproyek itu kayaknya kok orangorang kaya saja… kita-kita ini, para kawula alit, tetep  aja susah…” sergah Dadap.

“He he he… jangan sinis gitu Dap… Mungkin, pemerintah baru mikirin rakyat yang gedhe- gedhe dulu, setelah itu baru mikirin kita…,” kata Noyo sambil cengengesan.

“Lho, ya ndak boleh gitu ta, Kang Noyo… Sekecil apapun, kita kan juga mbayar pajak. Lha itu, misalnya, pajak bumi dan bangunan…” Dadap mencoba mengoreksi.

“Iya sih… tapi kan kalian dapat ‘kembalian’ berupa BLT [bantuan langsung tunai] dan kompor gas… Orang kaya kan ndak dapet…” Noyo menimpali.

“Tapi, harus saya akui bahwa memang pemerintah kurang peka terhadap masyarakat. Harusnya sih, dengan kekayaan alam, kita dapat menghasilkan beras, gula, dan lain-lain dengan murah, sehingga rakyat tidak harus menderita akibat kenaikan harga, ” kata Suto.

“Ya itu tadi, Kang Suto… Pemerintah belum sepenuhnya mampu mengemban amanah penderitaan rakyat. Mereka masih asyik berdebat tentang mempertahankan kekuasaan. Seharusnya, setelah 100 hari, Presiden mengevaluasi kabinetnya, yang kebanyakan para politisi itu, sehingga SBY memiliki tim kerja yang benar-benar andal, dapat bekerja, demi untuk meringankan beban rakyat…” ungkap Noyo.

“Wah, omonganmu sudah kayak pengamat saja Kang Noyo… Tapi, bener juga sih. Itu ada beberapa menteri yang mengklaim keberhasilan, tapi dia praktis berbuat apa-apa, karena hanya melanjutkan program yang disusun menteri pendahulunya. Ndak punya malu ya…” kata Dadap bernada geram.

“Ah, kalian ngarang… Kan di antara anggota kabinet itu banyak politisi. Mana mungkin mereka itu punya rasa malu… Kata orang bijak, politisi identik dengan pembohong. Jadi, kalau para politisi tadi berbohong, ya memang sudah kerjaan mereka lah… Makanya, kita ini sebagai rakyat harus pinter, agar tidak mempan dibohongi… Capek deh…” ujar Noyo sambil bersiap-siap untuk pamitan.



Oleh Ahmad Djauhar
KETUA DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya