SOLOPOS.COM - Warga menyaksikan layar tancap film indie Pegang Tangan pada Festival Film Merdeka di Jl. Lumban Tobing, Setabelan, Banjarsari, Solo, Kamis (17/8/2017) malam. (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Festival Film Merdeka digelar dengan menggeber sejumlah film di layar tancap.

Solopos.com, SOLO–Layar putih raksasa terpasang di pertigaan jalan samping Green Library, Setabelan, Banjarsari, sejak Kamis (17/8/2017) sore. Lembaran karpet merah dan tikar mulai ditata tepat di depan area layar besar berukuran tinggi sekitar lima meter dengan lebar tiga meter tersebut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mengenakan stelan kasual, warga Setabelan berbondong-bondong datang ke area pemutaran film layar tancap dalam serangkaian acara Festival Film Merdeka (FFM) hari pertama.
Ibu-ibu muda datang membawa anak-anaknya yang masih balita. Sembari melihat film diputar, mereka memulai percakapan dengan rekan-rekan sebaya yang juga ikut menyaksikan tontonan gratis dalam rangka peringatan HUT Ke-72 Kemerdekaan RI ini.

Tawa keras terdengar saat film ketiga yang merupakan satu-satunya karya anak Solo berjudul Yang Kung hampir selesai. Narasi Yang Kung ditutup dengan pernyataan satire tokoh cilik yang memerankan cucu Eyang Kakung. Garapan Dimas Dwi Wardhana ini menceritakan tentang kegelisahan Eyang Kung atas kematiannya.

Daryanti Isyanto, 29, merasa dekat dengan film yang bermula dari karya tugas kuliah ini. Keseluruhan setting dan alur cerita tak jauh dari kehidupannya sehari-hari. Termasuk soal perbedaan persepsi kematian antara si kakek dan sang cucu yang menjadi isu utama. “Yang Kung yang paling menyentuh. Ya mungkin karena dibuat di Solo ya jadi rasanya deket aja dengan film ini. Yang adegan terakhir tadi agak dramatis tapi lucu,” kata dia.

Tak sekadar menonton film, Daryanti menjadikan acara tersebut sekaligus sebagai ajang reuni. Ia datang bersama teman-teman sebayanya yang rata-rata sudah berkeluarga. “Jadi ingat zaman dulu masih kecil. Lihat layar tancep bareng-bareng. Ketemuan dengan teman masa kecil. Mekipun sekampung jarang ketemu soalnya pada sibuk,” kata dia lagi.

Narasi perdamaian dan keberagaman malam itu juga ditampilkan dalam film India Thionghoa yang diputar pada urutan kedua. Karya Gabriella Dhillon ini menceritakan tentang keluarganya yang hidup harmonis meski berbeda etnis. Sang ayah merupakan keturunan India, sedangkan ibunya Tionghoa. Dalam format dokumeter, ia menggambarkan pola diskusi hingga ritual kebudayaan dalam keluarga selama tujuh menit.

Pada hari pertama FFM, ada 10 film yang diputar di tiga lokasi yaitu Setabelan, Kampung Purwonegaran RW 06, dan Kampung Punggawan RW 06. Acara ini masih berlangsung hingga Sabtu dengan lokasi pemutaran berbeda-beda yaitu Kampung Bratan RT 03, Kampung Pelangi Mojosongo, dan Tirtosari Fair, Kampung Purwonegaran pada hari kedua, Jumat (18/8/2017). Hari terakhir, Sabtu (19/8/2017) FFM ditutup dengan pemutaran film Boncengan, 10-11, dan Bermula dari A di Plaza Sriwedari.

Layar tancap gratis ini selenggarakan oleh Komunitas Kembang Gula. Direktur FFM 2017, Fanny Chotimah, berharap mampu mengembangkan misi mewujudkan masyarakat yang bahagia dan toleran melalui program pemutaran film dan pelatihan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya