SOLOPOS.COM - Ketua Harian DPP Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. (JIBI-Bisnis/Sholahudin Al Ayubbi)

Solopos.com, JAKARTA–Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan ada ide membentuk koalisi besar yang terdiri atas delapan partai politik (parpol) parlemen, tanpa PDI Perjuangan (PDIP).

Dasco menjelaskan delapan parpol yang dimaksud merupakan yang kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka meliputi Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Promosi Aset Kelolaan Wealth Management BRI Tumbuh 21% pada Kuartal I 2024

“Ini kan masalah berkaitan dengan proporsional terbuka dan tertutup kan. Ada delapan partai yang menginginkan proporsional terbuka. Lalu kemudian ada ide tadi, bagaimana kalau delapan ini membentuk suatu koalisi permanen bersama di dalam menghadapi pileg [pemilu legislatif] dan pilpres [pemilihan presiden],” ujar Dasco saat ditemui di Sekber Gerindra-PKB, Jakarta Pusat, Kamis (26/1/2023).

Dia melanjutkan ide tersebut muncul dalam pertemuan antara elite Gerindra, PKB, dan Nasdem di Sekretariat Bersama (Sekber) Gerindra-PKB pada Kamis. Dasco merasa tak ada yang salah dengan ide tersebut. Bahkan, dia mengharapkan koalisi besar delapan parpol parlemen itu dapat terwujud.

“Itu menurut saya kan sah-sah saja, sepanjang dari delapan partai ini kan mau semua kan begitu. Kita berdoa, mudah-mudahan,” ujar Wakil Ketua DPR itu.

Dasco berpendapat dalam politik banyak yang tak terduga bisa terjadi karena politik sangat dinamis. “Bahwa kemudian nanti terjadi hal yang di luar direncanakan, ya itu namanya politik,” jelasnya.

 

Sidang Pleno MK

Sebelumnya, delapan parpol itu mewakili suara mayoritas Fraksi DPR dan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kompak menolak penerapan sistem pemilu proporsional tertutup dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) perkara No. 114/PUU-XX/2022 pada Kamis (26/1/2023).

Dalam perkara itu, para pemohon yang terdiri atas enam orang yang salah satunya kader PDIP meminta sistem pemilu yang awalnya proporsional terbuka diganti menjadi proporsional tertutup. Dalam pembacaan keterangan DPR, anggota Komisi III Supriansa menjelaskan para pemohon perkara tak memiliki legal standing dan tidak memenuhi persyaratak kerugian konstitusional.

Terkait sistem pemilunya, Supriansa menekankan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengharuskan pentingnya keterwakilan rakyat. Oleh sebab itu, sistem pemilu proporsional terbuka sesuai dengan amanat konstitusi.

“Sistem proporsional terbuka memiliki derajat keterwakilan yang baik, karena pemilih bebas memilih wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya,” ujar Supriansa saat memberikan pandangan DPR.

Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar menyampaikan pandangan serupa. Dia mengutip Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menekankan kedaulatan berada di tangan rakyat.

Menurutnya, sistem proporsional terbuka saat ini merupakan hasil musyawarah yang memperhatikan kondisi objektif proses transisi masyarakat ke demokrasi. Dengan sistem terbuka, pemerintah menganggap akan ada penguatan sistem kepartaian, budaya politik, perilaku pemilih, hak kebebasan berpendapat, kemajemukan ideologi, kepentingan, dan aspirasi politik masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

Di samping itu, Bahtiar menekankan saat ini penyelenggaraan pemilu sudah berjalan. Jika sistem pemilu digantikan maka hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Perubahan yang bersifat mendasar terhadap sistem pemilihan umum di tengah proses tahapan pemilu yang tengah berjalan berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik, baik di partai maupun masyarakat,” jelas Bahtiar saat memberikan pandangan pemerintah.

Nantinya, MK akan melanjutkan perkara sistem pemilu ini akan dengan menggelar sidang pleno untuk mendengarkan pendapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pihak terkait lain yang mengajukan diri.

 

Beda Sistem Proporsional Tertutup dan Terbuka

Sebagai informasi, dalam sistem pemilu proporsional tertutup masyarakat tak memilih wakil rakyat di DPR dan DPRD. Lewat pemilu sistem ini, pemilih hanya mencoblos partai politik (parpol). Selanjutnya parpol menentukan kader yang akan duduk di kursi DPR dan DPRD.

Sebaliknya, sistem pemilu proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang dipraktikkan dalam tiga pemilu belakangan. Lewat sistem ini masyarakat dapat mencoblos langsung wakil rakyat yang dirasa dapat mewakili mereka baik di DPR maupun DPRD.

Wacana perubahan sistem pemilu proporsional terbuka menjadi sistem pemilu proporsional tertutup atau pemilu coblos partai menimbulkan polemik dalam kancah politik nasional menjelang Pemilu 2024.

Delapan dari sembilan parpol yang memiliki kursi di DPR atau parpol parlemen menolak penerapan sistem pemilu coblos partai seperti dahulu. Mereka menilai penerapan sistem pemilu proporsional tertutup adalah kemunduran demokrasi.

Hanya PDIP yang getol memperjuangkan penerapan sistem pemilu coblos partai pada Pemilu 2024 mendatang.



Polemik ini mengemuka setelah ada sejumlah orang, termasuk kader PDIP, yang mengajukan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) Undang-undang (UU) No. 7/2017 tentang Pemilu yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara uji materi itu teregister dengan No. 114/PUU-XX/2022 tentang Sistem Pemilu

Pasal yang diuji materi itu menyebut Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut KPU sudah menyatakan sepakat akan tetap menyelenggarakan Pemilu 2024 dengan sistem proporsional terbuka, bukan sistem coblos partai seperti yang diwacanakan PDIP. Sikap itu disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR.

Komisi II DPR bersama KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan rapat kerja membahas berbagai persoalan aktual kepemiluan. Dalam rapat yang berlangsung setidaknya selama tujuh jam itu, salah satu kesimpulannya adalah komitmen KPU untuk melaksanakan Pemilu 2024 dengan sistem proporsional terbuka.

“KPU berkomitmen menyelenggarakan Pemilu 2024 berdasarkan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (2) dan dikuatkan oleh Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008,” ujar Doli.

Terpisah, PDIP merasa pernyataan sikap delapan parpol parlemen yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup sekadar ingin memeriahkan suasana.

Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul mengatakan dalam demokrasi wajar ada perbedaan pendapat antarparpol. Meski begitu, keputusan terkait perkara sistem pemilu ada di tangan MK.

“Ini diskursus biasa saja. Soal penolakan [terhadap sistem pemilu coblos partai] mangga [silakan]. Pengambil keputusan adalah sembilan hakim MK. Kalau ini [pernyataan sikap delapan parpol] hanya untuk hore-hore,” ujar Pacul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

Dia melanjutkan PDIP tak punya hak melarang parpol lain menyatakan pendapat. Pacul mendorong setiap parpol harus memikirkan ulang setiap sistem yang ada.

“Bahasanya Bung Karno kita tidak blenggem. Kita harus selalu berpikir, think and rethinking, terus ditajamkan,” jelas Ketua Komisi III DPR itu.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Gerindra Ungkap Ide Bentuk Koalisi 8 Parpol vs PDIP!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya