SOLOPOS.COM - Ilustrasi laman Lembaga Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat – LSP FPM (lsp-fpm.or.id)

Solopos.com, SOLO — Kalangan aktivis sosial kemasyarakatan yang berkegiatan di sektor pemberdayaan masyarakat mengkritik program pemerintah berlabel sertifikasi fasilitator pemberdayaan masyarakat (FPM). Mereka menilai program yang secara teknis dilegalisasi dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 81/2012 tersebut justru mendangkalkan makna kerja-kerja pendampingan masyarakat.

Salah satu implementasi SK Menakertrans itu adalah keharusan semua fasilitator Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mengikuti sertifikasi. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) menargetkan sebagian besar fasilitator PNPM telah memiliki sertifikat kelaikan pada 2014.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

”Yang kami takutkan pemberdayaan masyarakat hanya boleh dilakukan orang yang sudah mengantongi sertifikat. Padahal, ini kerja komitmen dan keberpihakan, bukan semata urusan sertifikasi,” ujar Dyah Ayu, pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional (Patiro) Solo saat berbincang dengan Solopos.com di ruang kerjanya, Kamis (6/3/2014).

Menurut Dyah, ruh utama fasilitator sesungguhnya ialah kerja dengan hati dan empati kepada masyarakat. Tak jarang demi sebuah idealisme, fasilitator harus bekerja tanpa gaji. Itulah sebabnya, program sertifikasi fasilitator, apapun dalihnya, justru akan melunturkan semangat juang para pendamping masyarakat.

“Di negara kita ini, sertifikasi hanya jadi proyek. Sertfikasi guru salah satunya. Bukan kompetensinya yang meningkat, tapi hanya kesejahteraannya yang meningkat,” sahut Mat Nawir, pegiat Pattiro lainnya.

Suara pegiat Pattiro itu senada dengan pegiat Pusat Pengembangan Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (PPRBM) Prof. dr. Soeharso (PPRBM) Dyah Ningrum Rossmawati. Menurutnya, sertifikasi fasilitor akan menjadi alat pemerintah dalam menghegemoni dan mengontrol militansi para pegiat sosial kemasyarakatan.

Di sisi lain, sertifikasi ini juga akan melahirkan para fasitator instan dan bermental oportunis, seperti hanya mengejar kenaikan gaji, kenaikan pangkat, mengejar jatah proyek pengentasan kemiskinan dari pemerintah. “Ujung-ujungnya menjadikan masyarakat sebatas objek. Ini merugikan masyarakat karena menganggap masyarakat berada di luar dirinya,” paparnya.

Selama ini, alasan yang mengemuka terkait program sertifikasi ialah upaya peningkatan kompetensi, kontrol kualitas, serta justifikasi terhadap jumlah remunerasi yang diterima oleh fasilitator. Namun, secara subtansi sertifikasi menjadi tak memiliki makna apa-apa lantaran ada banyak keahlian fasilitator yang tak bisa diukur cukup melalui sebuah ujian singkat tersebut.

“Yang dibutuhkan fasilitator itu ialah pengakuan masyarakat melalui kerja di lapangan hingga melahirkan kepercayaan, bukan pada selembar sertifikat,” tegas Akbarudin Arif, peneliti dari Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik (Kompip) Solo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya