SOLOPOS.COM - Kreasi ketela (Foto: Dokumentasi)

Kreasi ketela (Foto: Dokumentasi)

SOLO–Semakin merebaknya aneka makanan atau camilan dari tepung membuat sebagian masyarakat meninggalkan umbi-umbian.

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

Beberapa orang lebih memilih aneka roti daripada singkong, ketela dan jenis umbi lainnya. Apalagi, ada anggapan singkong, ketela dan sejenisnya adalah makanan orang desa.

Meski demikian, ternyata realitanya sebagian orang masih setia menikmati jajanan yang berbahan umbi-umbian.

Tak hanya orang-orang Jawa yang gemar menyantap olahan umbi-umbian. Sayangnya, jumlah penjual makanan atau jajanan berbahan umbi-umbian kian jarang ditemui. Bahkan, penjual umbi-umbian juga tidak terlalu banyak di pasar-pasar tradisional.

Jenis umbi-umbian sendiri bisa diolah menjadi aneka makanan yang lezat dilidah. Sebut saja olahan umbi-umbian yang tradisional ada gethuk, gatot, tiwul, jongkong, sawut dan sebagainya.

“Saya dari dulu suka tiwul dan gethuk. Manisnya enak. Kalau ke Pasar Gede saya sering beli. Sekarang ini pedagang tiwul dan gethuk sudah jarang,” kata warga Sangkrah, Pasar Kliwon, Solo, Putranto, 54, saat ditemui Solopos.com di Pasar Gede, belum lama ini.

Ester, 42, juga mengemukakan hal senada. Perempuan yang tinggal di Perumahan Palm Regency, Telukan, Sukoharjo itu sudah lama berlangganan aneka jajanan olahan umbi-umbian di salah satu pedagang Pasar Gede.

“Saya biasanya beli renjongan [macam-macam]. Semuanya suka sih. Rasanya enak. Anak saya suka sekali,” ujarnya.

Penggemar makanan berbahan umbi-umbian tidak hanya kalangan tua. Mereka yang masih muda juga ada yang tetap senang dengan tiwul, singkong, gatot dan sejenisnya. Eko, 23, mengaku jika sewaktu-waktu ingin aneka jajanan tradisional biasanya langsung mencari ke pasar. “Kalau beli renjongan bisa macam-macam. Rasanya kan enak,” kata Eko.

Penjual jajanan aneka jajanan tradisional di Pasar Gede, Jumiyati, 33, menuturkan pihaknya melayani sesuai pesanan pembeli. Ada yang membeli satu macam makanan saja dan yang pesan satu porsi berisi macam-macam. Harga yang dipatok Rp 2.500/bungkus. Jumiyati menjual gethuk tiwul, tiwul gula jawa, tiwul gula pasir, sawut, jongkong  dan sebagainya.

“Banyak orang yang masih suka dengan makanan seperti ini [gethuk, tiwul, gatot, sawut dan lain-lain]. Pembelinya dari berbagai kalangan. Peminatnya masih banyak,” tambahnya.

Keluarga Jumiyati berjualan aneka jajanan tradisional itu kurang lebih sudah sekitar 35 tahun. Bahan-bahan utama yang dipakai yaitu tepung dan singkong. Sementara ini, orangtua Jumiyati sedang menunaikan ibadah haji sehingga ia dan adiknya menggantikan berjualan.

Aneka makanan tradisional itu mulai dijajakan kurang lebih pada pukul 06.00 WIB. Sedangkan tutupnya tidak pasti. “Kalau jam 12.00 WIB sudah agak sepi,” imbuh Jumiyati.

Selain membeli olahan umbi-umbian yang sudah jadi, ada sebagian masyarakat yang masih mencari umbi-umbian untuk diolah sendiri.

Pedagang jenis umbi-umbian, Sarni, 56, menuturkan ada berbagai macam umbi-umbian di tempatnya. Di antaranya singkong, ketela, mbolo [gembolo, sejenis gembili tapi bentuknya besar] dan talas. Rata-rata, umbi-umbian itu dijual Rp5.000/kg.

“Akeh-akehe wong tuku arep didhang. Dipangan ben wareg [kebanyakan orang beli untuk direbus. Dimakan biar kenyang],” lanjutnya sembari tersenyum.

Sarni menambahkan jenis umbi-umbian seperti gembolo dan gembili tidak tersedia setiap saat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya