SOLOPOS.COM - Seorang warga melihat salah satu dari sembilan gundukan yang ada nisan batu andesit di kompleks bukit Sentana Dhuwur di di Dusun Dukuh, Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo, Sragen, Sabtu (29/1/2022). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Solopos.com, SRAGEN — Di Sragen, terdapat tempat yang diyakini menjadi petilasan Sunan Kalijaga dan muridnya, Eyang Cakrajaya, yang belakangan disebut Sunan Geseng. Tempat itu bernama Sentana Dhuwur.

Lokasinya di Dusun Dukuh, Desa Musuk, Kecamatan Sambirejo. Nama Sentana Dhuwur diambil karena lokasinya berada di bukit setinggi sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Di Sentana Dhuwur ini terdapat sembilan gundukan tanah. Di lima gundukan di antaranya terdapat maesan atau batu nisan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Untuk mencapai ke puncak bukit itu bisa melewati jalan setapak di antara nisan-nisan di kompleks permakaman umum Dusun Dukuh. Selain itu bisa melewati jalan setapak dari jalan kampung di dusun itu.

Bayan Desa Musuk yang tinggal tak jauh dari situs Sentana Dhuwur, Sukasno, 54, mengatakan nama Sentana Dhuwur itu dikenal sejak zaman simbah-simbah dulu.

Ekspedisi Mudik 2024

Baca Juga: Kisah Kiai Konang, Senopati Majapahit Jadi Asal Usul Bekonang

“Sentana Dhuwur itu merupakan petilasan dari Eyang Cakrajaya atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Nama Sunan Geseng itu diberikan gurunya, yakni Sunan Kalijaga.” kata dia, Sabtu (29/1/2022).

Awal ceritanya, Sunan Kalijaga bersama Cakrajaya berjalan dari Demak menuju Gunung Lawu. Sesampainya di lereng Gunung Lawu, di atas sebuah bukit, mereka berhenti istirahat. Di bukit itu, Sunan Kalijaga menancapkan tongkat bambu ke tanah. Sunan Kalijaga lalu berpesan kepada Cakrajaya supaya tinggal di bukit itu untuk menunggui tongkat tersebut.

“Sebelum Sunan Kalijaga kembali dari Gunung Lawu, ia berpesan jangan sekali-kali meninggalkan bukit ini. Eyang Cakrajaya mengingat pesan itu dan Sunan Kalijaga pergi ke Lawu,” ujar Sukasno.

Baca Juga: Asal Usul Bekonang Sukoharjo, Berasal dari Nama Senopati Majapahit

Sunan Kalijaga Bakar Murid

Setelah beberapa waktu, Sunan Kalijaga kembali dari Gunung Lawu dan langsung menuju ke bukit tempat Cakrajaya berada. Sesampainya di atas bukit itu, Sunan Kalijaga kaget karena tongkat yang ditancapkan itu sudah tumbuh menjadi pohon bambu berduri yang cukup lebat.

“Sunan Kalijaga memanggil-manggil Cakrajaya, tetapi tidak ada sahutan atau jawaban. Akhirnya, rerimbunan pohon bambu itu dibakar oleh Sunan Kalijaga. Saat itulah, Cakrajaya muncul dalam kondisi hangus atau gosong. Dalam bahasa Jawa juga disebut geseng. Kendati gosong, Eyang Cakrajaya masih sehat walafiat. Oleh Sunan Kalijaga kemudian memberi sebutan baru bagi Eyang Cakrajaya, yakni Sunan Geseng,” sambung Sukasno.

Sunan Kalijaga dan Sunan Geseng kembali melanjutkan perjalanan ke Demak. Bukit itu sekarang disebut Sentana Dhuwur. Bukit itu sebenarnya petilasan tongkat Sunan Kalijaga yang dibakar tetapi anehnya di atas bukit itu ada tiga gundukan tanah seperti makam.

Baca Juga: Air Terjun Pengantin di Ngawi Ini Dipercaya Bikin Hubungan Langgeng

Sejak kapan makam itu ada, Sukasno tidak tahu. Dari cerita-cerita tutur, sejak 1960-1980 ada orang dari Yogyakarta yang bertapa di tempat itu.

“Dulu di lokasi itu ada pohon klumpit yang besar tetapi roboh. Ada juga pohon beringin yang berukuran besar tetapi juga ambruk sampai akarnya ikut. Lokasi itu dipercaya warga Dusun Dukuh sebagai tempat untuk bersedekah,” terangnya.

Sukasno menyebut dalam setahun ada dua kali sedekah bersama yang dilakukan warga dusun. Sedekah dilakukan setelah musim tanam pertama yang disebut dengan sadranan dan setelah panen pada musim panen ketiga yang dikenal dengan sebutan rasulan. Tradisi itu masih dilakukan warga Dusun Dukuh dengan mengambil hari khusus yakni Jumat Legi.

Baca Juga: Jejak Dakwah Sunan Kalijaga di Asale Sumur Songo Cepogo Boyolali

“Yang dibawa nasi tumpeng, lengkap dengan ayam panggang, sayuran, dan makanan lainnya. Setelah didoakan kemudian dibagi-bagi di tempat itu dan sisanya dibawa pulang,” jelasnya.

Di Dusun Dukuh itu pada tahun 1950-an pernah menjadi pusat Pemkab Sragen. Pusat pemerintahannya di rumah Mbah Bayan Sepuh, Marso Pawiro. Dia menerangkan pada zaman itu pemerintahannya memang pindah-pindah.

“Pemerintahan di Dukuh ini pun tidak lama. Dulu pada tahun 1976-1978, ABRI pernah menginap sepekan di dusun ini untuk napak tilang pemerintahan Kabupaten Sragen itu,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya