SOLOPOS.COM - WORKSHOP-Andre Tanama (tengah) mengajarkan teknik-teknik seni grafis konvensional yang gampang diterapkan dalam workshop di Balai Soedjatmoko, Solo, SABTUA (26/5). (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

WORKSHOP-Andre Tanama (tengah) mengajarkan teknik-teknik seni grafis konvensional yang gampang diterapkan dalam workshop di Balai Soedjatmoko, Solo, SABTUA (26/5). (Espos/Adib Muttaqin Asfar)

“Seni grafis itu mudah, bahkan sebelum bisa tanda tangan, kita sudah mengenal cap tiga jari. Itu adalah seni grafis,” ujar AC Andre Tanama, seniman grafis asal Jogja saat membagi ilmunya di Balai Soedjatmoko, Solo, Sabtu (26/5) siang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di kalangan seniman grafis nasional, nama Andre dikenal dari berbagai karyanya yang memenangi penghargaan nasional. Alumnus Seni Rupa ISI Jogja ini menguasai berbagai teknik pembuatan seni grafis dari cetak saring (sablon), cetak datar hingga cetak tinggi yang dianggap sulit oleh banyak orang. Kali ini, dia menekankan bahwa keterbatasan teknik bukan hambatan untuk menghasilkan karya grafis.

Saat roadshow Trienale Seni Grafis Indonesia IV di Balai Soedjatmoko Sabtu lalu, Andre menggelar workshop kecil untuk memperkenalkan teknik-teknik pembuatan grafis yang mudah dilakukan. Teknik-teknik ini sebenarnya diajarkan di Jurusan Seni Rupa. Namun, Andre memperkenalkannya dengan cara yang lebih mudah dan sederhana.

“Kali ini saya tidak menekankan cukil kayu sebagai teknik cetak tinggi tapi kita juga bisa memanfaatkan barang-barang di sekitar kita untuk kolase. Intinya grafis itu mudah.”

Seni grafis selama ini dikenal dengan beragam teknik yang kadang dianggap rumit. Sayangnya, hasil seni grafis belum terlalu diminati oleh masyarakat seperti halnya seni lukis. “Kalau lukisan itu kan hasilnya cuma satu tapi kalau grafis bisa direpro. Karena itu bagi banyak orang, karya grafis tidak eksklusif,” kata Andre.

Dengan kecintaannya pada dunia seni grafis, Andre menjadi salah satu orang yang hidup dari seni grafis. Kecintaannya pada seni grafis berawal saat dia menginjakkan kaki di Jurusan Seni Murni ISI Jogja. Dari sekian banyak media dalam seni grafis, dia menemukan ketertarikannya pada teknik cukil kayu yang termasuk dalam teknik cetak tinggi. “Saya tertarik pada garis-garis dan sisa-sisa guratan kayu yang sangat alami dan tidak bisa dilakukan oleh seni lukis.”

Melalui berbagai kompetisi dan pameran, Andre menunjukkan karyanya. Pengalaman pertamanya dimulai saat mengikuti pameran bertajuk Serangan Fajar yang diinisiasi oleh mahasiswa Keluarga Mahasiswa Seni Murni ISI Jogja di Benteng Vredeburg pada 2000. Hal ini dilanjutkan saat dia mengirimkan foto karya untuk seleksi mengikuti sebuah pameran seni grafis Eksplorasi Media. “Ini memang bukan kompetisi tapi karya saya lolos dan pertama kalinya tampil di Bentara Budaya.”

Namanya sebagai seniman grafis mulai diperhitungkan ketika karyanya masuk sebagai finalis dalam kompetisi Trienale Seni Grafis Indonesia I di Bentara Budaya pada 2003. Puncaknya terjadi pada tiga tahun berikutnya saat karyanya yang berjudul Hegemoni Teknologi menjadi Pemenang I dalam Trienale Seni Grafis Indonesia II.

Dengan berbagai eksperimen teknik dan media, Andre terus menggelar pameran di sela-sela kesibukannya sebagai dosen Seni Murni ISI Jogja. Dari sanalah karya-karyanya dikenal para kolektor dan kurator, bahkan tidak sedikit karyanya yang bernilai jual tinggi.

Dengan sederet karya dan prestasinya itu, Andre selalu mendorong orang-orang untuk berkarya tanpa menganggap seni grafis sebagai seni yang sulit. Jika diseriusi, karya-karya grafis ini bisa menghidupi senimannya. “Waktu pameran di Vredeburg, tidak ada orang tenar yang diundang. Yang membuka pameran justru Pak Imam, tukang stempel di Malioboro. Kami terkesan dengan keahliannya yang luar biasa. Bikin wayang ukuran 5 cm saja sangat detail. Dia lebih hebat dari seniman grafis terkenal,” ujarnya.

 

Merakyat

Solo memang belum punya seniman grafis dengan nama besar seperti Andre. Namun, di kampus-kampus, mahasiswa mulai memasyarakatkan seni grafis. Mereka berusaha menjadi seniman grafis yang benar-benar merakyat.

Salah satunya adalah Eka Rahmawan, mahasiswa Desain Komunikasi Visual UNS Solo. Eka yang sempat bergabung dengan komunitas art work Tugitu Unite kini menceburkan dirinya dalam seni grafis dengan media poster. Tak seperti seniman grafis lain yang lebih banyak bercerita tentang tema kontemporer, Eka lebih suka mengangkat tema lokal.

“Saya selalu mengambil tema-tema wayang. Ini kan kearifan lokal di Solo,” katanya.

Poster bertema wayang itulah yang kini sering dipamerkan kepada khalayak. Karya-karyanya memang tidak pernah muncul di galeri-galeri resmi. Eka lebih suka menggelar pameran sendiri di tempat-tempat yang tidak lazim. Biasanya dia memamerkan poster-posternya di sekitar tempat penyelenggaraan pertunjukan wayang kulit.

Setiap ada pertunjukan wayang kulit, Eka langsung merancang poster-poster yang terkait dengan pertunjukan tersebut. Misalnya Ki Manteb Soedharsono, Anom Suroto atau dalang lain akan tampil, dia segera mempersiapkan pameran di tempat pertunjukan.

“Saya memang sengaja enggak bikin pameran di galeri besar. Buat apa kalau yang melihat cuma seniman-seniman. Lebih baik saya mendekatkan diri kepada masyarakat langsung.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya