SOLOPOS.COM - Taman Sriwedari, Solo (JIBI/Solopos/Dok.)

Sengketa Sriwedari Solo membuat kalangan masyarakat pasang badan untuk menyelamatkan Sriwedari.

Solopos.com, SOLO — Berbagai elemen masyarakat yang berasal dari kalangan budayawan, seniman, akademisi, advokat, hingga legislator, sepakat pasang badan untuk penyelamatan kawasan cagar budaya Sriwedari Solo.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kesepakatan tersebut dibuat setelah berbagai elemen masyarakat Solo berkumpul dalam forum sarasehan 2015: Selamat Tinggal Kebon Rojo, Selamat Tinggal Radyo Pustoko yang bertempat di Pujasari kompleks Sriwedari, Kamis (10/9/2015) siang.

Sebelumnya, Jurusita Pengadilan Negeri (PN) Solo melayangkan surat panggilan kepada Pemkot Solo, pengelola Museum Radya Pustaka, serta perwakilan Keraton Solo untuk diberi teguran terkait eksekusi lahan kawasan cagar budaya Sriwedari di Kantor PN Solo, Selasa (29/9/2015) mendatang.

Ekspedisi Mudik 2024

Ketua Mitra Museum Radya Pustaka, Teguh Prihadi, menuturkan berbagai elemen masyarakat yang terdiri atas kalangan budayawan, seniman, dan pemerhati museum Radya Pustaka sepakat membuat petisi penyelamatan aset budaya Sriwedari.

Petisi tersebut ditujukan kepada Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia melalui Pemkot Solo.

“Kami dari berbagai elemen sepakat bersatu membuat petisi penyelamatan aset budaya Sriwedari. Tim perumus yang ditunjuk terdiri atas Sutarto, M.T. Arifin, Bambang Irawan, Agus Anwari, serta Muchus B.R.,” katanya ketika berbincang dengan wartawan di sela acara.

Budayawan, akademisi, sekaligus kerabat Keraton Solo, Bambang Irawan, menambahkan penyelamatan kawasan budaya Sriwedari memiliki urgensi tempat yang dulunya dikenal sebagai Kebon Raja ini tak bisa lepas dari sejarah Kota Bengawan.

“Dulu PB X mendirikan Loji Kadipolo sebagai awal mula Radya Pustaka. Tempat ini sebagai cikal bakal pusat pengetahuan dan pengembangan kebudayaan Solo. Sedangkan Stadion Sriwedari, menjadi saksi bisu kedaulatan Republik Indonesia. Ini juga bersejarah,” terangnya.

Bambang menyarankan penegak hukum tidak hanya bersandar pada hukum positif yang berlaku dalam menangani kasus sengketa lahan kawasan Sriwedari.

“Tidak bisa pakai logika sendiri. Tapi dalam praktiknya harus memperhatikan aspek sosiologis, historis, dan kebudayaan. Apalagi ini menyangkut museum tertua di Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Solo, Teguh Prakosa, menyebutkan penyelamatan kawasan budaya Sriwedari menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Pihaknya mendukung setiap upaya berbagai pihak yang akan membuat kawasan sengketa Sriwedari urung diprivatisasi.

“Penyelamatan ini [kawasan Sriwedari] menjadi tanggung jawab bersama. Pemkot, masyarakat, dan semuanya. Komitmen DPRD sama dengan Pemkot. Kami ingin seluruh masyarakat bisa menikmati keindahan kawasan ini,” kata dia.

Teguh meyakini tidak ada eksekusi di kawasan Sriwedari.

“Berdasarkan kronologis yang saya baca, saya kira tidak ada eksekusi. Pemerintah saat ini kan sedang mengajukan PK [peninjauan kembali] ke MA [Mahkamah Agung]. Kalau mau mengosongkan lahan tanpa sertifikat juga tidak gampang,” terang dia.

Menurut Teguh, DPRD siap mengawal setiap aksi penyelamatan kawasan budaya Sriwedari. “Kalau perlu, kami siap memimpin demo di depan.

Namun setiap aksi harus tetap menjaga kondusivitas. Jelang pilkada ini, banyak kerawanan dari berbagai kepentingan,” pesannya.

 

1009ifa3
Sengketa Lahan
Berbagai Pihak Pasang Badan Selamatkan Sriwedari
SOLO—Berbagai elemen masyarakat yang berasal dari kalangan budayawan, seniman, akademisi, advokat, hingga legislator, sepakat pasang badan untuk penyelamatan kawasan cagar budaya Sriwedari.
Kesepakatan tersebut dibuat setelah berbagai elemen masyarakat Solo berkumpul dalam forum sarasehan 2015: Selamat Tinggal Kebon Rojo, Selamat Tinggal Radyo Pustoko yang bertempat di Pujasari kompleks Sriwedari, Kamis (10/9) siang.
Sebelumnya, Jurusita Pengadilan Negeri (PN) Solo melayangkan surat panggilan kepada Pemkot Solo, pengelola Museum Radya Pustaka, serta perwakilan Keraton Solo untuk diberi teguran terkait eksekusi lahan kawasan cagar budaya Sriwedari di Kantor PN Solo, Selasa (29/9) mendatang.
Ketua Mitra Museum Radya Pustaka, Teguh Prihadi, menuturkan berbagai elemen masyarakat yang terdiri atas kalangan budayawan, seniman, dan pemerhati museum Radya Pustaka sepakat membuat petisi penyelamatan aset budaya Sriwedari. Petisi tersebut ditujukan kepada Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia melalui Pemkot Solo.
“Kami dari berbagai elemen sepakat bersatu membuat petisi penyelamatan aset budaya Sriwedari. Tim perumus yang ditunjuk terdiri atas Sutarto, MT Arifin, Bambang Irawan, Agus Anwari, serta Muchus BR,” katanya ketika berbincang dengan wartawan di sela acara.
Budayawan, Akademisi, sekaligus kerabat Keraton Solo, Bambang Irawan, menambahkan penyelamatan kawasan budaya Sriwedari memiliki urgensi tempat yang dulunya dikenal sebagai Kebon Raja ini tak bisa lepas dari sejarah Kota Bengawan.
“Dulu PB X mendirikan Loji Kadipolo sebagai awal mula Radya Pustaka. Tempat ini sebagai cikal bakal pusat pengetahuan dan pengembangan kebudayaan Solo. Sedangkan Stadion Sriwedari, menjadi saksi bisu kedaualatan Republik Indonesia. Ini juga bersejarah,” terangnya.
Bambang menyarankan penegak hukum tidak hanya bersandar pada hukum positif yang berlaku dalam menangani kasus sengketa lahan kawasan Sriwedari. “Tidak bisa pakai logika sendiri. Tapi dalam praktiknya harus memperhatikan aspek sosiologis, historis, dan kebudayaan. Apalagi ini menyangkut museum tertua di Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Solo, Teguh Prakosa, menyebutkan penyelamatan kawasan budaya Sriwedari menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pihaknya mendukung setiap upaya berbagai pihak yang akan membuat kawasan sengketa Sriwedari urung diprivatisasi.
“Penyelamatan ini [kawasan Sriwedari] menjadi tanggung jawab bersama. Pemkot, masyarakat, dan semuanya. Komitmen DPRD sama dengan Pemkot. Kami ingin seluruh masyarakat bisa menikmati keindahan kawasan ini,” katanya.
Teguh meyakini tidak ada eksekusi di kawasan Sriwedari. “Berdasarkan kronologis yang saya baca, saya kira tidak ada eksekusi. Pemerintah saat ini kan sedang mengajukan PK [peninjauan kembali] ke MA [Mahkamah Agung]. Kalau mau mengosongkan lahan tanpa sertifikat juga tidak gampang,” terangnya.
Menurut Teguh, DPRD siap mengawal setiap aksi penyelamatan kawasan budaya Sriwedari. “Kalau perlu, kami siap memimpin demo di depan. Namun setiap aksi harus tetap menjaga kondusivitas. Jelang pilkada ini, banyak kerawanan dari berbagai kepentingan,” pesannya. (Mahardini Nur Afifah)
Urgensi Mempertahankan Kawasan Sriwedari
ST WiyonoBudayawan Solo“Kawasan Sriwedari menjadi napak sejarah yang wajib dilestarikan. Kita semua pernah punya sejarah di sini.”
Teguh PrakosoKetua DPRD Solo“Sriwedari merupakan kawasan cagar budaya. Seluruh masyarakat berhak menikmati keindahan tempat ini.”
Bambang IrawanAkademisi dan Kerabat Keraton Solo“Sriwedari tak bisa lepas dari publik. Tempat ini menjadi saksi kedaulatan Republik Indonesia. Selain itu, Radya Pustaka yang dulunya bernama Loji Kadipolo merupakan ruang yang dibangun PB X untuk mendukung cikal bakal ilmu pengetahuan dan mengembangkan kebudayaan Solo.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya