SOLOPOS.COM - Dhoni Zustiyantoro/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Senggakan (baca: seng.gak.an) ”cendhol dhawet” yang menyatukan itu ada di dalam lagu Pamer Bojo yang beberapa waktu belakangan sedang hit. Di kanal Youtube, lorong-lorong pasar, hingga gang-gang kampung, lagu dangdut-campursari yang dibawakan Didi Kempot itu masih mencuri pendengaran kita terutama dalam versi konser yang memiliki senggakan.

Teks senggakan jika ditulis lebih kurang seperti ini: Cendhol dhawet, cendhol dhawet seger. Cendhol cendhol dhawet dhawet. Cendhol cendhol dhawet dhawet. Cendhol dhawet seger pira, lima ratusan. Terus gak pake ketan. Ji ro lu pat lima enem pitu wolu. Tak gintang-gintang. Tak gintang-gintang. Tak gintang-gintang. Slolololo, jos.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Hasrat untuk berjoget dan bernyanyi bersama pun nyaris tak terbendung ketika kita sebagai penonton menikmati lagu itu, terlebih ketika datang langsung ke konser lelaki yang mendapat julukan ”Bapak Patah Hati nasional” ini. Seusai konser, media sosial dibanjiri video yang beberapa di antaranya lantas menjadi viral.

Bukan Didi Kempot subjek video itu, namun para penonton yang menangis sambil meratapi kesedihan. Entahlah, mungkin mereka merasa sedang atau pernah mengalami nasib seperti yang dikisahkan dalam lagu itu, atau mungkin sekadar menikmati romantisisme sekaligus ironisme lagu patah hati. Entahlah, mungkin patah hati adalah kita….

Senggakan pun menjadi pemersatu para penikmat konser karena menjadi selingan lagu yang ternyata tidak menjadi kesatuan dalam lagu Pamer Bojo versi asli. Mengutip Solopos.com (Selasa, 8 Oktober 2019), senggakan “cendhol dhawet” dipopulerkan oleh Agus Purwadi alias Abah Lala.

Ekspresi Masyarakat Komunal

Sorakan tersebut berasal dari personel yang tergabung dengan grup musik yang dia pimpin, MG-86. Kini, mana ”versi asli” atau ”versi kurang asli” pun bukan persoalan karena dalam konser senggakan telah menyatukan semua. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan memaknai senggakan sebagai ”sorak (dalam lagu, tarian, dan sebagainya)”.

Hal itu selaras dengan pemaknaan dalam Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939) yang memaknai senggakan sebagai ”nywara giyak arame mbarengi (nyambungi) unining gamelan (sindhen); disenggaki: dibarengi ing senggakan”. Adapun Suyoto (2015: 63) menyebut senggakan dalam karawitan gaya Solo merupakan penyajian vokal secara bersama.

Kebudayaan telah merekam senggakan sebagai ekspresi seni masyarakat yang komunal. Senggakan menjadi bagian tidak terpisahkan sejak gamelan masih digandrungi sebagai hiburan utama masyarakat Jawa. Dalam praktiknya, senggakan dalam kedua wujud seni itu menemukan konteksnya masing-masing.

Dangdut menemukan konteksnya sebagai hiburan rakyat: dominasi suara kendang-ketipung, goyangan, dan syair yang tak perlu dimaknai secara mendalam. Sedangkan gamelan tak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kebudayaan Jawa. Syair, cara, dan sikap menabuh, hingga keselarasan bunyi yang dihasilkan menjadi representasi dari keadiluhungan Jawa yang sarat pandangan hidup.

Dalam fenomena dangdut-campursari yang belakangan mengambil hati masyarakat, senggakan telah menjadi warna baru yang juga merepresentasikan komunalisme musik tersebut. Keinginan untuk berkumpul dan bergembira, sekalipun dengan cara bersama menyanyikan lagu-lagu bertema patah hati, menjadi sarana untuk sejenak melupakan kepenatan hidup.

Dalam bingkai akademis, fenomena tersebut disebut sebagai eskapisme. Utomo (2002: 52) menyebut eskapisme merupakan sebuah keadaan atau sikap memasuki alam khayal atau hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan atau masalah yang tidak menggembirakan.

Di dalam kesenian, eskapisme menjadi penanda utama pada kesenian yang bersifat populer. Seni populer diciptakan dengan tujuan untuk menghibur dan membuat orang lupa terhadap berbagai persoalan hidup. Realitasnya, ”kebangkitan” dangdut-campursari didorong oleh perkembangan media sosial.

Menciptakan Habituasi

Konser-konser kini tak harus didatangi secara langsung, namun bisa juga ditonton melalui saluran media dalam jaringan. Demikian halnya jika terlewat menyaksikan, kita bisa dengan mudah menontonnya kembali. Sarana itu juga yang membuat video dan lagu-lagu lama kembali ramai ditonton.

Perkembangan teknologi informasi pula yang kemudian ”mengacaukan” distribusi pelbagai produk kebudayaan. Ketika akademikus mengklasifikasikan seni ke dalam empat kelompok, yaitu seni elite, seni populer, seni massa, dan seni rakyat, kini batasan itu semakin kabur.

Dalam konteks penciptaan, pasar telah menjadi orientasi utama pencipta seni agar karya dapat dikenal luas. Media sosial kini menjadi pendorong bagi karya itu supaya dikenal dan diterima siapa pun. ”Saya viral maka saya ada” telah menjadi jargon yang terus diupayakan dengan pelbagai cara.

Ketenaran Didi Kempot dan sejumlah selebritas lain dalam industri hiburan saat ini mesti diakui hasil dari prinsip-prinsip itu. Jauh sebelum hari ini kita mengenal Didi Kempot melalui radio, meminta lagunya melalui pesan singkat, dan membeli kasetnya. Kini, kaset audio-video hasil olahan studio tak lagi cukup bisa memberi kepuasan.

Momen konser secara langsung memberi dampak psikologis yang menyatukan karena di sana emosi artis dan ribuan penonton menyatu untuk bersama menciptakan habituasi. Senggakan pun menjadi turunan atas repons menyatunya artis dan penonton.

Senggakan yang tidak terdapat dalam rekaman versi orisinal menjadi representasi untuk terus merawat kultur komunal: menyatu, menyanyi, menghibur diri. Kita pun menanti senggakan-senggakan lain yang menyatukan untuk kembali dinyanyikan bersama….

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya