SOLOPOS.COM - Retno Winarni/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Pada Rabu, 4 September 2019, saya mendapat undangan untuk menjadi narasumber  in house training  di SMAN 3 Salatiga. Saya diminta menyampaikan materi gerakan literasi sekolah di hadapan guru-guru  dan siswa yang terhimpun dalam tim gerakan literasi sekolah wilayah Kota Salatiga.

Sejak awal kegiatan saya menyampaikan  bahwa saya adalah pegiat literasi di sekolah yang bergerak berdasarkan pemahaman  yang sangat dangkal. Landasan saya bergerak hanyalah buku  Peta Jalan  Gerakan Literasi Nasional (2017)  dan Panduan Gerakan Literasi Sekolah di SMA (2016) terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sejak tiga tahun lalu penerapan gerakan literasi sekolah secara bertahap telah dilaksanakan di SMAN Kerjo, Karanganyar, tempat saya mengajar. Tahun 2018 gerakan literasi sekolah masuk tahap pembiasaan dan apresiasi, yaitu menerbitkan buku kumpulan puisi dan cerita pendek karya siswa.

Rupanya kegiatan literasi baca tulis  yang konsisten inilah yang mendapat apresiasi dan menempatkan saya sebagai guru pegiat literasi sekolah sehingga saya mendapat undangan untuk berbagi pengalaman mengembangkan gerakan literasi sekolah.

Dalam kerangka berbagi pengalaman inilah saya bersedia memenuhi undangan menjadi narasumber. Saya hanya menyampaikan materi dasar tentang literasi yang saya ambil  dari dua buku itu. Selebihnya adalah cerita pengalaman dan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam gerakan literasi sekolah di SMAN Kerjo, berupa buku maupun best practice guru.

Tidak Mengurangi Minat

Keterbatasan saya ini rupanya tidak mengurangi minat peserta kegiatan. Banyak tanggapan dan pertanyaan yang diajukan guru-guru tim literasi sekolah kepada saya, di antaranya kegundahan tentang belum terlaksananya secara konsisten dan menyeluruh program 15 menit membaca pada awal jam pelajaran.

Permasalahan yang sama pernah dialami SMAN Kerjo. Permasalahan terpecahkan dengan mengalokasikan  waktu membaca 15 menit  secara terpisah  dari jam belajar. Tidak ada guru yang merasa dirugikan. Pengaturan jam menjadi kebijakan sekolah dan tolok ukur keseriusan sekolah dalam menerapkan gerakan literasi sekolah.

Dalam pemahaman saya ketika pemerintah mulai mencanangkan gerakan literasi sekolah pada 2015, gaung informasi dan pembimbingan tidak sehebat dan semasif seperti ketika terjadi pergantian kurikulum 2006 ke kurikulum 2013.

Informasi tentang gerakan literasi sekolah serbasedikit saya terima  dari kepala sekolah dan saat pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.  Saya tidak tahu siapa guru yang telah ditunjuk menjadi duta literasi atau instruktur literasi di Kabupaten Karanganyar.

Kegundahan tentang sumber belajar ini pernah saya tanyakan kepada salah seorang guru Bahasa Indonesia di SMP di Kabupaten Karanganyar. Apa yang saya rasakan dan yang menjadi kegundahan saya ternyata juga dirasakan oleh guru tersebut.

Berjalan Tanpa Pemandu

Jika mencurigai pemerintah tidak menjalankan strategi yang dirancangnya sendiri, tentu terlalu naïf. Kecurigaan saya adalah kurangnya sosialisasi, kurang meratanya jumlah guru/instruktur literasi,  atau kurang aktifnya guru/duta literasi yang ditunjuk.

Informasi tentang guru/duta literasi yang kompeten seharusnya sampai kepada pelaksana di sekolahan. Hal ini berkaitan dengan teknis pelaksanaan gerakan literasi sekolah. Saya tidak berani menjamin pelaksanaan gerakan literasi sekolah yang telah dilaksanakan di SMAN Kerjo masuk standar yang baik. Apa yang telah dan sedang dilakukan berjalan hanya berdasarkan kemampuan membaca ”peta” secara sederhana.

Berjalan  dengan membaca peta dibandingkan dengan berjalan didampingi pemandu tentu mendapatkan hasil yang berbeda. Saya dan sekolah tempat saya mengajar adalah contoh  pembaca peta gerakan literasi sekolah.

Kecerdasan dan kemampuan membaca peta tiap guru (sekolah) sangat berbeda. Guru (sekolah) yang cukup cerdas dan memiliki banyak teman bertanya mungkin tidak akan tersesat dan sampai di tujuan dengan selamat. Guru (sekolah)  yang malas membaca, kurang bergaul, bisa saja tersesat dalam perjalanan.

Yang lebih parah, guru malas bergerak dan berangkat dari titik awal karena merasa tidak ada pemandu.  Tantangan dan hambatan pelaksanaan gerakan literasi sekolah seharusnya tidak menjadi  alasan menyurutkan langkah guru  pegiat literasi sekolah.

Sosialisasi program secara lebih luas, mengaktifkan kendali pelaksanaan gerakan literasi sekolah lewat jalur musyawraah guru mata pelajaran bisa menjadi solusi. Gerakan literasi sekolah sebagai bagian dari gerakan literasi nasional harus mampu berdiri tegak, tidak manja, dan menjadi penopang utama gerakan literasi nasional. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya