SOLOPOS.COM - Kholilurrohman, Dosen IAIN Surakarta (FOTO/Istimewa)

Kholilurrohman, Dosen IAIN Surakarta (FOTO/Istimewa)

Iri disebut para kaum sufi sebagai salah satu penyakit hati. Iri didefinisikan bila ada saudara senang ia malah susah dan sebaliknya bila saudara susah ia malah senang. Hal itu barangkali yang sedang bertengger di sebagian hati para pemimpin bangsa. Bila ada rival politik senang, ia merasa susah. Sebaliknya, bila ada rival politik susah ia merasa senang.
Andaikan mobil Esemka lolos uji dan jadi mobil nasional, tentu bagi rival Walikota Solo Joko Widodo (Jokowi) yang “mencak-mencak”. Sebaliknya, bila mobil Esemka “gagal” menjadi mobil nasional, para rival Jokowi akan bertemu tangan memperingati kegagalan Jokowi mengawal mobil Esemka menjadi mobil nasional. Tetapi, salah satu yang menarik di Indonesia adalah bila ada pemimpin yang dikuya-kuya malah akan menarik simpati. Bila mobil Esemka tidak lolos uji, rakyat Solo (minimal) tetap akan mendukung Jokowi sebagai pemimpin Solo atau Gubernur Jawa Tengah atau Gubernur DKI Jakarta atau bahkan menjad Presiden Republik Indonesia.
Moral cerita di atas hampir mirip dengan hadis qudsi yang menyatakan bahwa bila wali (kekasih) Allah yang dimusuhi, Allah yang akan membelanya. Para pemimpin yang adil, para pemimpin yang setiap saat memikirkan kesejahteraan rakyat, akan dianggap sebagai waliyullah (kekasih Allah). Jokowi barangkali hendak menuju ke sana. Asumsinya, bila mobil Esemka dapat menjadi mobil nasional, setidaknya ada ratusan atau bahkan ribuan karyawan yang dibutuhkan untuk bekerja merakit mobil Esemka itu. Ini berarti Jokowi berpikir bagaimana lulusan SMK mampu diserap pasar sendiri.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Penyakit Hati
Alquran menyindir seseorang yang memiliki penyakit hati dengan sebutan orang munafik. Di hati orang munafik itu ada penyakit. Allah tidak menghilangkan penyakit itu tetapi justru menambahnya (fii quluubihim marodhun fazaada humullahu marodhoo). Maka bila Jokowi terus memproduksi ide cerdasnya, seperti sebagai bapak musik rock cah Solo, festival batik, panen raya dan lain-lain, tentu para rival Jokowi akan semakin sakit hatinya. Berbeda bila para rival berkata:  alhamdulillah ia bisa berkarya lagi, tentu di hati akan sehat dan ia pun akan berusaha memproduksi ide yang bisa “menyaingi” atau minimal sama dengan ide yang digagas Jokowi.
Seharusnya kita belajar dari para pebisnis China. Mereka mampu menjadi pilihan kedua atau bahkan bisa jadi pertama meski menjadi pendatang kedua. Bila ada negara lain memproduksi alat-alat elektronik, pengusaha China akan mempelajari kekuatan dan kelemahannya. Kemudian, mereka menciptakan produk yang mampu bersaing. Lihat saja di Mekkah. Di sana ditemukan banyak suvenir bertuliskan aksara Arab bahkan ayat-ayat Alquran. Pertanyaannya, dari mana suvenir itu? Ternyata, suvenir-suvenir itu didatangkan dari China.
Apakah yang membuat suvenir itu orang-orang beragama Islam? Nyatanya tidak. Aneh bukan? Tetapi itulah cerdasnya para pebisnis China. Mereka tidak peduli dengan karut-marut politik, yang terpenting adalah bekerja agar kehidupan keluarga menjadi terhormat. Hati yang telah diselubungi penyakit iri harus dihilangkan.
Menghilangkan penyakit hati dengan beberapa cara. Pertama, bersyukur atas segala nikmat Allah yang telah diterimanya. Kedua, sabar atas segala takdir yang telah ditentukan Allah. Ketiga, terus berkarya tanpa berpikir akan menjadi apa. Ketika seseorang terus berkarya, pasti salah satu karyanya akan menjadi sesuatu yang monumental. Manusia sekadar mencocokkan nasib dengan apa yang ditakdirkan Allah sejak zaman azali.

Manajemen Hati
Para pemimpin negeri ini perlu belajar menata hati agar apa yang saat ini mereka lakukan tidak ditiru khalayak. Saat ini mereka mempertontonkan dendam yang menguasai para pemimpin bangsa, baik golongan tua atau golongan muda. Mereka seolah berlomba untuk menjadi pemimpin nomor satu di Indonesia. Hanya saja, cara yang digunakan masih cara lama, yakni saling bunuh-membunuh. Pada zaman Ken Arok siasat politik bunuh-membunuh dengan menggunakan keris Empu Gandring. Sedangkan pada zaman ini, menggunakan fitnah lewat media massa atau sarana hukum yang terlihat seperti moderat dan logis.
Islam memberikan peringatan keras kepada para pemfitnah. Fitnah itui kekejamannya lebih dahsyat ketimbang membunuh. Mengapa? Seseorang bila telah terkena fitnah ia akan dipandang salah oleh masyarakat meskipun belum tentu salah. Tidak hanya dirinya yang terkena, tetapi seluruh keluarga nyaris terkena imbasnya.
Apakah ada seseorang yang berpikir bagaimana pikiran anak M Nazaruddin (terdakwa kasus dugaan suap atau korupsi dalam pembangunan wisma atlet) ketika di kelas diolok-olok sebagai anak koruptor? Yang dapat menghapus fitnah adalah bukti dan membuktikan itu tidak mudah.
Dulu Nabi Muhammad juga pernah terkena fitnah, yakni ketika Aisyah dituduh selingkuh dengan seseorang yang menolongnya. Nabi Muhammad sempat termakan fitnah itu, dan akhirnya Allah mengingatkan agar Nabi adil dalam mencermati setiap kabar atau kejadian. Akhirnya, Aisyah bebas dari tuduhan perselingkuhan.
Fitnah yang terus berkembang menjadi wacana seolah menjadi kebenaran. Masyarakat yang mendengar, melihat berita di televisi secara berulang-ulang, seolah mengamini apa yang disampaikan dan bila tidak kritis akan menganggap bahwa pemberitaan itu adalah sebuah kebenaran. Itulah dahsyatnya fitnah yang telah dilembagakan dan disistematisasi lewat media massa.
Siapa pun yang ingin hatinya jauh dari rasa iri perlu melihat suasana di tempat lain. Masih banyak yang bisa dilakukan. Masih banyak yang bisa dikaryakan. Tidak perlu iri dengan sesuatu yang ada di tangan orang lain. Bersyukurlah atas segala apa yang diberikan Allah di tangan kita. Wallahu a’lam bis shawaab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya