SOLOPOS.COM - Nurika Fitra, menunjukan hasil panen semangka golden di kebun milik Joko di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jumat (19/8/2022). (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Setelah belasan tahun merantau di Depok, Jawa Barat, Joko Rusdianto, 41, memilih pulang dan bekerja sebagai petani di Desa Jendi, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Di perantauan, pekerjaan Joko sebagai mekanik mobil kala itu cukup menghidupi keluarganya. 

Jumat (19/8/2022) pukul 15.00 WIB, Joko bersiap memanen semangka golden di kebunnya seluas 800 meter persegi di Dusun Bulu, Desa Jendi. Tanaman semangka itu sudah ia tanam sekira 60 hari lalu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kini, semangka dengan kulit dan daging berwarna kuning itu sudah siap dipanen. Waktu memanen, Joko dibantu tiga orang temannya yang juga sebagai petani.

Berbagai peralatan memanen, seperti gunting, satu keranjang buah, dan satu kantong bekas beras sudah disiapkan. Joko dan satu temannya segera memetik semangka yang berwarna kuning menuju oranye itu. 

“Ada dua cara untuk tahu apakah buah ini sudah masak atau belum. Pertama, dari warnanya. Warna semangka yang sudah masak biasanya kuning agak oranye. Kedua, dari suaranya. Sebelum dipetik, diusahakan buahnya ditepuk dulu. Kalau suaranya agak mentul seperti saat kita menepuk jaring raket, maka sudah dipastikan buah itu matang. Tapi kalau saat ditepuk buahnya masih keras, berarti belum waktunya dipetik,” kata Joko sembari tangannya memetik semangka golden menggunakan gunting, Jumat.

Baca Juga: Produksi Sorgum di Wonogiri Menurun, Kini Tak Sampai 1.000 Ton/Tahun

Joko menjelaskan, satu batang pohon tanaman bisa menghasilkan dua buah semangka. Satu buah semangka memiliki berat 2,5 kg-4 kg. Joko biasa menjual semangka senilai Rp7.000/kg.

Di lahan seluas 800 meter persegi, dia bisa menanam sebanyak 400 batang pohon. Jika diambil paling sedikit, Joko bisa menghasilkan omzet senilai Rp14 juta/sekali panen atau dalam waktu dua bulan. Hal itu dinilai lebih dari cukup jika dibandingkan upah minimum regional (UMR) Wonogiri yang tidak sampai Rp2 juta. 

Itu belum termasuk hasil tanaman lain yang juga ia tanam, seperti melon merlin, edamame, kacang panjang, timun, dan cabai. Empat tanaman yang disebutkan terakhir bisa dipanen hampir setiap hari.

Sehingga Joko tidak perlu menunggu dua bulan mendapatkan hasil pertaniannya. Total luas lahan yang dimiliki Joko sekitar satu hektare (ha). 

Baca Juga: Gulma Tumbuh Subur di WGM Wonogiri, Ini Dampaknya

Modal menanam keseluruhan dan perawatan tanaman sekitar Rp3 juta. Joko sangat meminimalisasi menggunakan pupuk kimia. Selain hemat, hal itu membuat buah lebih aman dikonsumsi.

“Saya langsung menjual panenanya ke konsumen tanpa lewat tengkulak. Saya berusaha memutus rantai distribusi. Sebisa mungkin jangan sampai harga dimainkan oleh tengkulak. Harus bisa menentukan harga sendiri. Tapi harganya masih wajar,” ujar dia.

Joko biasa memasarkan via daring di aplikasi percakapan seperti WhatsApp (WA). Banyak pembeli merupakan ibu-ibu di desa. Tak jarang pula ada yang menawarkan diri sebagai reseller produk hasil pertaniannya. 

“Hidup seperti ini lebih ayem, tenang. Bisa hidup di desa, bertani kayak gini. Saya juga berusaha mengajak petani-petani lain di sini untuk mencoba pertanian hortikultura seperti ini. Jangan hanya tanam padi. Tapi belum banyak yang mau, terutama yang sepuh-sepuh itu. Padahal keuntungan tanam padi tidak sebanding dengan modal uang dan tenaga yang dikeluarkan,” ungkapnya.

Baca Juga: Pernah Tembus Rp100.000/Kg, Segini Harga Cabai di Wonogiri saat Sura

Bahkan tidak sedikit yang menertawakan usaha Joko karena pertanian yang ia garap beda dengan model pertanian lain di desanya. Namun, kini perlahan sudah ada yang melirik usaha pertanian yang diterapkan dia. 

Joko mulai menjadi petani sejak dua tahun lalu, tepatnya awal 2020. Kala itu Joko menanam cabai keriting. Sebagai pemula, hasil pertaniannya tidak bisa disebut buruk.

Joko berhasil memanen hingga berkuintal-kwintal cabai. Sayangnya, harga cabai saat itu sempat anjlok karena pandemi Covid-19.

Kondisi itu sempat membuat semangatnya redup. Namun, dia berhasil bangkit dan berjalan sampai sekarang.

Baca Juga: Petani Ikan di WGM Tak Boleh Tambah Petakan Keramba, Ini Alasannya

Joko tidak sendirian. Dia dan dua temannya yang relatif masih muda menyewa lahan seluas 2.500 meter persegi. Dia kebagian satu ha lahan.

Joko belajar bertani dari teman sekaligus saudara iparnya, Nurika Fitra,37, yang juga menanam di lahan yang disewa itu.

Menurut Nurika Fitra, kunci agar sukses bertani adalah harus mengetahui tentang ilmu tanah. Petani harus tahu unsur apa saja yang terkandung dalam tanah. Dengan begitu petani bisa tahu dan mengatur apa yang dibutuhkan sebenarnya oleh tanaman. 



“Yang tidak banyak diketahui petani lain, mereka hanya menanam satu jenis tanaman, misalnya padi thok. Padahal untuk menjadi petani sukses, harus bisa menanam tanaman yang bisa dipanen harian, mingguan, dan bulanan,” kata pria asli Sleman yang sudah belajar pertanian sejak SMA itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya