SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Y Bayu Widagdo, Wartawan SOLOPOS (FOTO/Istimewa)

Mendengar kabar kerbau bule turunan Kiai Slamet sedang beradu kuat di Alun-alun kidul pekan lalu, memori saya terbang ke periode sekitar 30 tahun lalu, saat masih kelas IV SD. Kala itu dengan beberapa teman sekelas saya bermain di lapangan besar, tempat biasanya kerbau digembalakan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Seperti biasa, saya naik ke punggung kerbau yang merumput dengan tenang. Ternyata ada teman yang iseng dan menarik ekor kerbau yang saya tumpangi. Jelas sang kerbau menjadi marah dan langsung berlari kencang sembari berusaha melemparkan saya yang menumpanginya, seperti halnya pertunjukan rodeo. Setelah beberapa saat, akhirnya saya terlempar dan untungnya tidak terinjak kerbau ngamuk tersebut. Jadi saya bisa merasakan bagaimana kepanikan orang-orang yang ada di sekitar dua kerbau keturunan Kiai Slamet yang sedang berkelahi itu.

Bagi orang Indonesia, khususnya di Jawa, hewan bertanduk dua yang bergerak lamban ini sangatlah dekat, bahkan semenjak dahulu kala. Kerbau merupakan salah satu hewan yang paling banyak di senangi masyarakat agraris. Hal ini disebabkan manfaat kerbau itu sendiri. Daging dan susunya bisa untuk dikonsumsi, kotoran yang dikeluarkan oleh kerbau bisa dijadikan pupuk untuk tanaman masyarakat agraris. Selain itu, tenaga yang dihasilkan kerbau juga bisa untuk membajak sawah.

Sejumlah relief yang ditemukan di beberapa candi, menunjukkan bagaimana peran kerbau dalam kehidupan masyarakat kala itu. Relief tentang kerbau menunjukkan simbolisme agraris dan etos kerja. Menurut Sindhunata (2010), kerbau dalam kepercayaan masyarakat Jawa merupakan patron bagi pertanian. Kerbau mencerminkan kekuasaan dan kebudayaan agraris. Kerbau juga menjadi simbol dari mentalitas rakyat di hadapan penguasa dan alam. Kerbermaknaan kerbau mengandung proses transformasi sosial, ekonomi, politik dan kultural. Kerbau sebagai simbol terus ada dengan sekian tendensi pembacaan dan penafsiran.

“He…he..Jadi kerbau bisa ditafsirkan macam-macam ya Mas,”tanya Mas Suto, teman karib saya. Ya, memang tergantung bagaimana perspektif kita terhadap kerbau. Mungkin kita semua masih ingat, beberapa waktu lalu, ada petinggi negara ini yang murka besar gara-gara ada pelaku unjuk rasa yang membawa kerbau di jalanan.

“Lha mungkin beliaunya nesu karena dianggap lamban, kegemukan dan bodoh kayadene kebo…Padahal kerbau hewan bermanfaat ya,”Mas Suto menyela.

”Baidewi, kalau menurut panjenengan, apa maknanya kerbau anak Kiai Slamet itu padha tarung,”tanya Mas Suto kepada saya.

 

Merusak

Terus terang saja saya bilang ke Mas Suto saya tidak tahu menahu dengan hal itu, apalagi saya bukan ahli tafsir. Namun, hati saya tergelitik ketika membaca sebuah petikan kisah Wangsit Siliwangi, peninggalan Prabu Siliwangi di Jawa Barat.”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.”

”Dengarkan! Yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu: tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan.”

Wangsit Siliwangi bagi orang Sunda seperti halnya ramalan Jayabaya bagi orang Jawa. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia ini seperti sudah diprediksikan dari zaman dulu. Apa yang dimaksudkan dalam bait Wangsit Siliwangi itu adalah ilustrasi yang melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka, terjadi peperangan antarsaudara. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya gambaran dari Prabu Siliwangi itu.

Hanya yang jelas, dari kisah Sunda itu sosok kerbau bule digambarkan sebagai sesuatu yang merusak. “Ha…ha…ha… Kalau kerbau bule itu gambaran yang merusak, apalagi kerbau bulenya saling seruduk berarti rusak kuadrat, gitu Mas?”kejar Mas Suto.

Saya jadi ingat pepeling dari teman saya, Mas Sabda, yang bulan lalu tiba-tiba mengingatkan untuk berhati-hati bila di Jakarta.”Mas, nanti kalau di Jakarta ngatos-atos. Teman-teman dalam tim supaya diperlengkapi yang baik, kalau nanti ada reribet.”

“Memang ada urusan apa di saya di Jakarta?”tanya saya.

“Yang jelas suasananya semakin gak enak. Ya siap-siap saja,”ujarnya. Menurut dia, persaingan antarkepentingan politik di Indonesia kian memanas, ketat dan karut-marut. Masing-masing kekuatan mengerahkan segala kemampuan untuk memenangi pertarungan. Sandiwara politik kian menggemparkan dan akrobat politik semakin menakjubkan. Aneka skandal ditutup dengan kasus baru dan rakyat saling diadu.

Bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, ada benarnya juga pandangan dari Mas Sabda ini. Coba saja lihat komedi politik para petinggi kita di Jakarta yang kian hari kian memuakkan. Sinetron Nazaruddin dan Partai Demokrat kian berbelit-belit, entah hingga berapa seri lagi untuk mencapai klimaks.

Belum lagi di berbagai daerah, mulai dari Aceh, Mesuji, Lampung, Bima tiba-tiba muncul aneka peristiwa saling seruduk antarwarga. Bahkan di Jogja yang selama ini dikenal adem ayem, tiba-tiba muncul anak-anak SMP yang saling merusak sekolah hanya gara-gara isu yang tidak jelas juntrungannya.

Dan tiba-tiba kerbau turunan Kiai Slamet, yang seharusnya membawa slamet, selamat, seperti kakek moyangnya dahulu, tiba-tiba saling beradu kuat. Saya berharap tidak ada lagi pihak-pihak seperti Mas Karebet alias Joko Tingkir yang terpaksa harus mengakali seekor kerbau untuk meraih kekuasaan.“He…he…Jadi menurut panjenengan ada yang menggosok-gosok rakyat supaya saling berkelahi untuk meraih kekuasaan?”tanya Mas Suto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya