SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mungkin karena melibatkan yang namanya uang, maka trauma soal penyelamatan bank selalu menjadi perbincangan luas. Apalagi negara ini pernah trauma berat gara-gara yang namanya penyelamatan bank 10 tahun silam.

Satu teman, yang bekerja di perusahaan pelat merah papan atas, punya cerita. “Kita ini trauma terhadap 3 BC,” kata mbak Yani, sebut saja begitu namanya. “BC yang pertama adalah Bea Cukai. Di masa lalu, urusan dengan bea cukai selalu berkonotasi dengan uang,” tutur Yani. Moga-moga saja trauma ini telah hilang, jika reformasi birokrasi di Departemen Keuangan sungguh-sungguh berjalan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Lalu trauma kedua, katanya, “Soal Bibit-Chandra. Lha ternyata kok masih ada makelar kasus cetho welo-welo mempermainkan dan mengatur penegak hukum kita,” jelasnya.

“Trauma BC yang ketiga,” sambung Yani, “Bank Century.”

Barangkali Anda bertanya-tanya, mengapa? “Pejabat publik akan makin takut buat keputusan bail out bank,” begitu kira-kira jawabannya.

Ah, saya kira orang akan trauma melakukan money politics. Ternyata bukan itu. Tapi ada benarnya juga jawaban itu. Apalagi kalau hasil kebijakan publik tersebut ditumpangi pengendara gelap untuk kepentingan lain. Apalagi kemudian ada tuntutan politik, dan hukum.

Bagi saya, trauma itu harus disembuhkan. Itupula yang kita inginkan kepada presiden republik ini, untuk mendorong supaya kasus Century dibuat terang benderang secepatnya. Kalau tidak, negeri ini yang jadi korban. Korban ketidakpastian, ketidakstabilan, dan distrust.

Karenanya kita inginkan semuanya dibuat gamblang. “Apalagi kalau sampai terjadi gambling politik. Kalau tidak dibuat gamblang, bisa berabe,” kata Haji Lay, teman saya dengan logat Betawi-nya yang kental.

Artinya, jika pemerintahan Yudhoyono salah jalan dalam mengatasi kasus ini, riak kecil seperti krisis kredit di Dubai baru-baru ini pun bisa memicu gelombang besar hanya oleh dorongan angin perlahan-lahan.

***

Angin itu pula yang kini dihadapi pemerintahan Yudhoyono, meski tiupannya masih sepoi-sepoi. Bahkan, partai politik penyokong koalisi pendukung Yudhoyono pun kini menyokong Hak Angket untuk mengusut kasus Century.

Ironis, memang. “Periode 100 hari ini kan mestinya jadi second honey moon bagi Yudhoyono. Tapi jadi bulan-bulanan begini,” tutur satu eksekutif .

Angin yang lebih kencang tampaknya menerpa Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan Wakil Presiden Boediono.

Mbak Ani, begitu ia biasa disapa, dianggap paling bertanggungjawab dalam kebijakan menyelamatkan Century yang menelan dana Rp6,7 triliun, dalam kapasitas selaku Ketua KSSK, yang memang memiliki wewenang mengambil kebijakan. Adapun Boediono dianggap bertanggungjawab selaku Gubernur Bank Indonesia kala itu.

Berbeda dengan Boediono yang tak banyak bicara menghadapi kasus ini, Mbak Ani sangat proaktif dan confident memberikan pernyataan dan penjelasan berkaitan dengan sikap kebijakan soal bailout yang diyakininya benar.

Namun confident dari sisi kebijakan itu belum diikuti clarity dari sisi aliran dana yang ditarik nasabah dari hasil penyelamatan bank itu. Ini yang menjadi sumber spekulasi kemudian.

Dan, DPR pun menggulirkan hak angket untuk mengusut kasus itu. Ketika kasus itu masuk ke wilayah ini, orang mulai khawatir soal stabilitas politik dan stabilitas ekonomi.

“Bagaimana kalau Menkeu dikorbankan?” Itu pertanyaan yang kini banyak terdengar. Seorang Menteri bahkan menyatakan kecemasannya, karena menyadari Menkeu menjadi salah satu simbol kepercayaan terhadap ekonomi saat ini.

Tetapi saya lihat Mbak Ani tetap punya keyakinan tinggi. Saya heran, energi apa yang dimiliki perempuan ini. Di sebuah seminar beberapa hari lalu, Mbak Ani bahkan sempat menceritakan buah kebijakan stabilitas makro yang antara lain berdampak menurunnya cost of borrowing alias biaya ngutang sampai Rp14 triliun selama 11 bulan terakhir.

“Saya yakin kalau BUMN bisa hemat cost of borrowing seperti itu, pasti direksi sudah minta tantiem. Saya tidak minta tantiem. Malah saya dapat tantiem sekarang. Tantiemnya [hak] angket,” lanjutnya berkelakar.

Tetapi saya menangkap, kalimat itu menunjukkan kegundahan di balik ketegaran Mbak Ani.

Dan bagi orang kebanyakan, barangkali cuma bisa berharap, dinamika politik itu tidak bercampuraduk dengan persepsi risiko terhadap ekonomi. Dan saya khawatir, kalau pelaku bisnis mempersepsikan dinamika itu sebagai risiko ekonomi, kita bisa benar-benar berabe, seperti kata Haji Lay.

Oleh Arief Budisusilo
Dewan Redaksi Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya