SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Mi Instan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Kali ini, tidak seperti biasanya Cahyadi datang sedikit terlambat. Pukul tujuh empat lima, dia baru mendaratkan bokongnya di bangku kayu reyot di hadapanku. Rambutnya sedikit kelimis. Mungkin terkena baluran gerimis yang turun sejak tadi sore. Dan saat pandangan kami beradu, cepat kutanyakan, “Biasa?” Cahyadi mengangguk sambil menyeka keningnya yang basah dengan lengan baju.

Aku mengisi panci kecil dengan segayung air dan meletakkannya di atas kompor. Sekilas aku melirik Cahyadi yang menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti irama Jaran Goyang yang sengaja kupasang kencang-kencang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sadar diperhatikan, dia malah semakin asyik menggoyangkan badannya. Begitu ringan. Seolah tanpa beban.

Air dalam panci yang mulai mendidih mengalihkan perhatianku. Kuraih dua bungkus mi instan dari etalase, membuka bungkusnya, dan memasukkannya ke panci. Satu butir telur turut kupecahkan. Tak lupa segenggam sawi hijau kupotong kasar biar menyatu dengan mi dan telur di panci.

“Berseri-seri sekali wajahmu.” Aku membuka obrolan. “Kau baru gajian?”

Pertanyaanku itu hanya dijawab sebuah anggukan. Aku meletakkan mangkuk berisi dua mi dan satu telur itu di hadapannya.

Ekspedisi Mudik 2024

Cahyadi segera menghirup dalam-dalam asap yang mengepul dari mangkuk. Suatu hari, dia pernah bilang kalau aroma khas mi instan rasa ayam bawang itu sangat memabukkan. Bikin dirinya kaya kecanduan. Sebab alasan itu pula dia tak pernah absen datang ke warungku. Setiap hari. Selepas Isya.

“Mumpung baru gajian, seharusnya kau makan yang lain,” kataku sambil menyodorkan segelas air putih.

“Buat saya, sudah gajian atau belum tak ada bedanya. Hampir setengah upah yang tak seberapa itu harus segera dikirimkan ke kampung,” ungkap Cahyadi tanpa memalingkan pandangan dari gulungan mi di mangkuk. “Kalau tidak, Saripah dan anak-anaknya bisa kelaparan,” lanjutnya kemudian.

“Saripah itu siapamu?”

Untuk kesekian kalinya aku melontarkan pertanyaan itu setiap kali Cahyadi menyebut nama Saripah dan untuk ke sekian kalinya juga pertanyaanku itu tidak pernah mendapat jawaban. Cahyadi semakin sibuk menekuni mi di hadapannya.

Dia mengaduk isi mangkuk dari bawah ke atas berkali-kali. Ritual selanjutnya, Cahyadi akan menyendok kuah mi yang kental itu, meniup-niup beberapa kali lalu menyeruputnya pelan-pelan dengan mata terpejam. Sangat penuh penghayatan. Raut wajahnya seolah berkata bahwa dia sedang menikmati makanan terlezat di dunia.

Enam tahun membuka usaha warmindo belum pernah aku melihat orang makan mi senikmat Cahyadi. Lelaki berbadan kekar dengan kulit legam itu pertama kali datang ke warungku sekitar satu bulan lalu. Dia kuli bangunan di kampus depan warungku yang sedang membangun gedung baru. Asalnya dari Ciamis, tapi Cahyadi bilang, dia sudah hampir tujuh tahun merantau dan tak pernah pulang.

Selama ini, dia berpindah dari satu bedeng ke bedeng lainnya. Tergantung mandornya menempatkan di proyek mana.

Cahyadi mengaku pernah mengunjungi hampir seluruh kota di Pulau Jawa. Saat masih remaja, sekitar umur empat belas tahunan, dia sering ikut-ikutan temannya mengadang truk yang melintas di jalan provinsi tak jauh dari kampungnya.

Bermodal nekat mereka berdiri di tengah jalan, hingga truk di depannya berhenti. Lalu gerombolan remaja itu naik ke bagian belakang truk. Mereka puas jika berhasil membuat sopir truk takluk dan mengizinkan mereka ikut ‘jalan-jalan’.

Kadang setelah berjam-jam perjalanan, mereka minta turun di mana saja. “Lantas kalian pulang bagaimana?” tanyaku memotong keseruan cerita Cahyadi waktu itu.

“Ya, nyegat truk lain lagi!” jawabnya sambil terbahak-bahak. Kemudian kembali meneruskan ceritanya.

Awalnya, Cahyadi dan teman-temannya hanya berani nebeng di sekitaran dalam kota. Tapi lama-lama, kumpulan remaja itu semakin tertantang pergi lebih jauh. Lintas kabupaten, bahkan provinsi. Mereka turun di satu daerah, lalu memberhentikan truk lagi menuju daerah lain. Pulangnya pun begitu. Estafet.
Sempat kutanyakan bagaimana dengan orang tua mereka? Sekolah mereka? Sementara aku, di umur yang sama, sedang bergulat dengan Ujian Akhir Nasional dan berjuang keras supaya bisa diterima di SMA favorit.

“Apa itu orang tua?” Cahyadi mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. Lagi-lagi dia kembali tergelak hingga liurnya muncrat ke mana-mana. Sebenarnya aku juga bingung bagian mana dari ceritanya itu yang lucu. Tapi anehnya, setiap kali melihat Cahyadi tertawa, aku selalu ikut tertawa. Bahkan tawaku lebih keras, sampai-sampai kulit perutku sakit.

Konon, selama jadi petualang itu, Cahyadi pernah tak makan berhari-hari. Hingga seorang sopir truk berbaik hati mentraktir dia dan teman-temannya makan mi instan di sebuah warung kecil di jalur Pantura. Dan ia merasa itulah mi instan terlezat sepanjang hidupnya.

“Bayangkan saja, Kang,” katanya berapi-api. “Saat itu hujan deras, perut berhari-hari tidak diisi dan di hadapan kita ada mi yang ngebul, wangi, dan… Ah, saya senangnya minta ampun. Kayak ketiban bulan.”

Aku mangut-mangut mendengar ceritanya.

Di lain kesempatan Cahyadi masih saja bercerita tentang pengalamannya menjadi petualang jalan. Mulutnya berbuih, tak habis-habis berkelakar tentang kenekatannya: jadi pengemis, ngamen, dan bahkan beberapa kali mencuri. Dia terlihat begitu bangga dengan segala kisahnya itu. Bahkan ketika dirinya menceritakan pernah ditangkap polisi karena disangka kawanan bajing loncat, Cahyadi masih bisa tertawa. Seolah kejadian itu adalah hal yang biasa.

Sampai di suatu hari, konon, seorang teman dekatnya mati terlindas saat nekat memberhentikan truk. Melihat kepala temannya itu remuk, barulah Cahyadi mulai merasa jera. Dia tak mau mati sia-sia. Hingga sekarang, katanya, dia masih suka terbayang sosok temannya yang berlumuran darah dengan wujud tak karu-karuan itu.

“Kalau Akang, masa mudanya lempeng-lempeng saja, ya?” tanyanya. “Kelihatan Akang mantan remaja baik-baik.” Sudut kanan bibirnya naik sedikit. Aku tersenyum.

“Akang kuliah?”

Aku mengangguk.

“Serius, Kang?” Kedua alisnya terangkat dan matanya membulat.

Sialan. Apa tampangku ini kurang meyakinkan? Begini-begini aku ini Sarjana Ekonomi. Batinku kala itu.

Cape-cape kuliah, kenapa malah buka usaha begini, Kang?” Cahyadi melempar pandang seolah sedang menyisir setiap jengkal warung sederhana yang kusewa ini. Assyeemmm….

Jika orang lain yang berkata begitu, mungkin sudah babak belur kuhajar. Namun, saat itu keluar dari mulut Cahyadi, entah kenapa aku tak merasa tersinggung. Yang ada aku malah kembali terbahak-bahak bersamanya.

Baca Juga: Evolusi ke Belakang



Semenjak saat itu, kami semakin akrab. Dan aku selalu menjadi penonton setia Cahyadi ketika menyantap mi instan. Aku hafal apa saja yang selalu dia lakukan.

Seperti nanti di akhir, lelaki itu pasti akan meminum kuah mi dari mangkuk hingga tetes terakhir. Jakunnya naik turun. Lidahnya berdecap-decap menikmati sari dari mi yang mungkin masih tersisa di rongga mulutnya. Lalu dia bersendawa panjang. Oh… Sungguh nikmat. Bahkan melihatnya saja aku sudah merasa kenyang.

“Apa kau benar-benar tak ingin pulang kampung?” Aku kembali membuka obrolan.

Yang kutanya malah terkekeh, lalu tatapannya menerawang jauh entah ke mana. Dari sorot matanya sekilas aku bisa melihat sebuah kegetiran juga kekecewaan yang begitu mendalam.

“Semenjak saya diusir suami Saripah yang preman kelas curut itu,” ucapnya penuh penekanan. “Saya sudah berjanji tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di sana.” Nada suaranya terdengar emosional.

Mi dalam mangkuk diaduknya dengan kasar. Sadar dia mulai tak nyaman, aku pun tak ingin melanjutkan pembicaraan. Aku kembali fokus dengan kesibukan lain dan membiarkannya menikmati semangkuk mi itu seorang diri.

Semakin malam, warungku semakin ramai. Pelangganku kebanyakan mahasiswa yang indekos di sekitar sini. Mereka yang kelaparan ketika malam terus merangkak perlahan.

Saat sedang sibuk-sibuknya melayani pelanggan, tiba-tiba anak lelaki semata wayangku datang. Dia mengamuk, menjerit-jerit sambil memukuli meja, minta dibelikan mainan saat itu juga.

Bocah lima tahun itu menjadi tontonan semua pelangganku, termasuk Cahyadi yang tiba-tiba berhenti menikmati mi. Kesal, aku pun lepas kontrol dan memukul punggung anakku dengan centong sayur, tiga kali. Hingga tangisnya semakin menjadi. Beruntung istriku segera membawa anak itu pergi sebelum hal lebih buruk terjadi.



“Akang sering memukul anak seperti itu?”tanya Cahyadi dengan sorot mata dingin. Aku seketika bergeming.

Lama. Cukup lama Cahyadi mengunci tubuhku dengan tatapannya yang menghujam itu. Hingga aku sama sekali tak dapat berkutik. Seperti seorang terdakwa di persidangan.

Demi berusaha mencairkan suasana, aku memaksa bibirku untuk tersenyum meski mungkin terlihat kecut. Namun, sama sekali tidak ada respons dari lelaki itu. Suasana di sekitar kami membeku. Cahyadi hanya membisu. Dia lalu pergi begitu saja dari hadapanku dengan wajah yang dingin. Sedingin mi instan yang untuk pertama kali dibiarkannya bersisa di dalam mangkuk.

Teni Ganjar Badruzzaman. Lahir di Ciamis, 1988. Ibu rumah tangga yang gemar menulis dan membaca cerita. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di beberapa antologi bersama dan media massa.

 

 

 

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya