SOLOPOS.COM - Tangkapan layar pada talkshow dan konferensi pers yang diselenggarakan oleh Gamal Institute secara virtual, Rabu (1/12/2021). (Solopos.com/Wahyu Prakoso)

Solopos.com, WONOGIRI– Indonesia pernah menempati urutan ketiga penghasil biji kakao terbesar di dunia tetapi kini turun menjadi urutan keenam. Gernas Kakao atau program kebijakan peningkatan produksi dan mutu kakao hanya menyasar 30 persen dari total 1,7 juta hektare lahan yang ditanam pohon kakao.

Pola kemitraan dan penumbuhan industri kreatif olahan biji kakao berpotensi menyelamatkan produksi kakao Indonesia. Namun, masalah utama yang dihadapi petani berupa penyakit pada buah kakao belum pernah menjadi perhatian serius semua pihak.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal itu mengemuka dalam talkshow dan konferensi pers yang diselenggarakan oleh Gamal Institute secara virtual, Rabu (1/12/2021). Hadir sebagai narasumber, antara lain Founder Gamal Institute Gamal Natsir; Ketua Masyarakat Indonesia Alosyius Danu; dan Peneliti Senior Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Soetanto Abdullah; Peneliti Kakao Indonesia H.A.M. Dahlan Said

Baca Juga: Dinkes Boyolali Perluas Layanan PDP HIV/AIDS

Gamal mengatakan  urutan penghasil kakao terbesar dunia adalah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Kamerun, Nigeria, dan Indonesia. Jumlah produksi Pantai Gading 1,6 juta ton pertahun sedangkan Indonesia turun menjadi sekitar 200.000 ton/tahun.

Gamal Institute mengharapkan dinas perkebunan, petani, asosiasi kakao, melalui memorandum dengan gubernur menjadikan Indonesia sebagai penghasil komoditas kakao terbesar di dunia namun pada kenyataannya komoditas utama tergantikan selain kakao.

Gernas yang pernah dijalankan dengan anggaran lebih dari Rp1 triliun per tahun hanya menyasar 30 persen dari total lahan tanaman kakao di Indonesia. Namun, setiap tahunnya anggaran semakin turun.

Baca Juga: Selamat! Bocah Boyolali Sabet 2 Medali Kejuaraan Aeromodelling Jateng

“Saya kira enggak berapa banyak petani yang bermitra dengan perusahaan sehingga secara nasional belum  bisa menyerap hasil panen kakao. Saya kira perlu ada mitra supaya petani terangkat dengan produktivitas tinggi,” kata dia.

Menurut dia, kebijakan produk ekspor bukan lagi biji kakao namun menjadi produk bahan antara lain berupa bubuk kakao sehingga perlu mitra untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah bagi hasil panen kakao Indonesia.

Sutanto mengatakan ada dua jenis industri pengolah produk kakao di Indonesia, yaitu perusahaan reguler atau besar yang jumlahnya segelintir dan produsen coklat premium atau craft chocolate. Ada sekitar 30 produsen premium dari tingkat usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia.

Baca Juga: Banjir Lahar Hujan Penuhi Alur Kali Woro

Menurut dia, perusahaan reguler menyerap kakao petani dengan jumlah besar namun hanya dihargai rata-rata Rp30.000/kg. Sedangkan craft chocolate bisa membeli hasil panen petani Rp50.000/kg namun jumlahnya sedikit.

Dia mengatakan 30 perusahaan bisa menyerap 600 ton-1000 ton biji kakao per tahun sedangkan produksi kakao ada sekitar 200.000 ton. Petani perlu meningkatkan produksi supaya mendapatkan penghasilan lebih dengan menjual kepada perusahaan reguler dengan harga Rp30.000/kilogram.

Danu menjelaskan artisan atau craft chocolate yang bermunculan menjadi harapan bagi para petani kakao di Indonesia saat produksi kakao mulai lesu. dia mengklaim produk coklat dari craft chocolate tidak kalah dengan produk coklat premium negara lain, antara lain mutu dan varian rasa.

Baca Juga: UMK Klaten 2022 Hanya Naik Rp4.109, SPSI Klaten Keberatan

“Tetapi kendala artisan yang punya niatan baik ini belum ditangkap stakeholder  pemerintah. Masih banyak kebijakan yang stagnan kurang dan tidak ada terobosan masa depan kakao Indonesia. Pemerintah harus menyediakan alternatif untuk meningkatkan konsumsi dan keahlian sumber daya manusia di perkebunan supaya bisa bersaing dengan cokelat impor,” paparnya.

 

Pola Kemitraan

Dia mengusulkan ada pola kemitraan melalui peraturan bersama Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian. Sejumlah industri besar pengolah kakao asing telah berinvestasi di Indonesia seharusnya dapat mendongkrak produksi kakao dalam negeri.

“Ketika investasi masuk bahan baku gak terdongkrak sebab pohon tua tak diremajakan. Kami dulu membahas gernas namun sifatnya sementara dan tak berlanjut. Ini perlu ada variasi kreatif menyelamatkan kakao Indonesia,”jelasnya.

Baca Juga: Damkar & SAR Klaten Evakuasi Kucing di Sumur Warga Jatinom 15 Meter

Sedangkan Dahlan mengatakan telah melakukan penelitian selama 20 tahun di Indonesia dan mengunjungi sejumlah negara penghasil kakao terbesar di dunia. Sejumlah negara telah memakai teknologi untuk mengatasi serangan hama.

Sedangkan Indonesia belum memakai teknologi serupa, para pihak berkepentingan baru sekedar membahas pupuk untuk meningkatkan produksi dan racun hama. Sementara hama tersebut ada pada buah kakao yang sulit di atasi dengan racun hama.



Dia mengklaim 30% dari total lahan kakao yang diintervensi program gernas dapat menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil komoditas kakao terbesar dengan catatan mengatasi penyakit pada kakao.

Baca Juga: Perputaran Uang Penangkaran Jalak Bali di Klaten Rp12 Miliar per Tahun

Sebagai informasi, kakao dari Wonogiri merupakan kakao dengan kualitas terbaik di Jawa Tengah. Jumlah produksi kakao di Wonogiri menjadi yang terbesar setelah Kendal di Jawa Tengah.

Berdasarkan Kabupaten Wonogiri dalam Angka 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik Wonogiri, luas area perkebunan kakao meningkat 1.199 hektare pada 2018 menjadi 1.208 hektare pada 2019. Produksi tanaman perkebunan kakao juga meningkat dari 390 ton pada 2018 menjadi 329 ton pada 2019.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya