SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Tanggal 11 September lalu Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden kepada Ketua DPR tentang penunjukan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-undang (UU) tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Dengan surat tersebut berarti Presiden Joko Widodo menyatakan setuju membahas secara bersama-sama DPR rancangan revisi UU KPK  yang menjadi inisiatif DPR. Hanya butuh waktu enam hari Presiden Joko Widodo mengeluarkan surat presiden tersebut.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan surat presiden. Masukan para pegiat antikorupsi, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat lainnya agar presiden tidak mengeluarkan surat presiden ternyata diabaikan.

Seperti ada kegentingan yang memaksa untuk segera merevisi UU KPK sesuai kehendak politikus di DPR. Presiden Joko Widodo sebenarnya dapat membentuk tim untuk mengkaji secara mendalam terlebih dahulu atas subtansi revisi tersebut dengan menghadirkan dan mendengarkan masukan dan pendapat berbagai kelompok kepentingan  tentang implikasi revisi terkait program besar pemberantasan korupsi.

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ayat (3) menyatakan jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Artinya, jika presiden tidak mengeluarkan surat presiden tidak akan ada pembahasan bersama tersebut, atau setidak-tidaknya jika presiden mengkaji terlebih dahulu, karena masa kerja DPR akan berakhir pada 1 Oktober 2019, maka secara waktu tidak memungkinkan menyelesaikan pembahasan, sehingga bisa ditunda agar dibahas oleh rezim hasil pemilihan umum 2019.

Bagian Eksekutif

Secara kasat mata, sulit dibantah draf revisi UU KPK tersebut tidak melemahkan KPK. Pertama, KPK tidak disebut lagi sebagai lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK akan menjadi lembaga pemerintah pusat atau bagian dari eksekutif di bawah presiden.

Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori aparatur sipil negara (ASN)  sehingga hal ini akan berisiko terhadap independensi pegawai yang menangani kasus korupsi di instansi pemerintahan. Kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi. Penyadapan hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Dewan Pengawas.

Dewan Pengawas—menurut draf revisi UU KPK versi DPR–dipilih oleh DPR dan menyampaikan laporan kepada DPR setiap tahun. Penyadapan diberi batas waktu tiga bulan. Berdasarkan pengalaman KPK menangani kasus korupsi, membongkar tindak pidana korupsi yang canggih membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang.

Ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR akan memperbesar kekuasaan DPR. Dewan pengawas juga menambah panjang birokrasi penanganan perkara karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus seizin Dewan Pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

Lembaga-lembaga ala KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik, tidak harus dari kepolisian, seperti CPIB di Singapura, ICAC di Hong Kong, MACC di Malaysia, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga antikorupsi di Sierra Lone.

Kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

Potensi Intervensi

Keenam, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai setelah satu tahun ditangani akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan, terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut hubungan internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun.

Selain itu, juga berpotensi menghambat penanganan kasus secara administrasi sehingga lebih dari satu tahun. Tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam sehingga mungkin saja ada perkara yang amat rumit sehingga membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk menanganinya.

Tidak pernah ada aturan dalam sistem hukum acara pidana nasional yang mengatur suatu penyidikan/penuntutan harus dihentikan jika selama jangka waktu tertentu proses penyidikan/penuntutan belum selesai. Jadi, aturan ini adalah anomali yang sama sekali tidak mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum KPK.

Atas berbagai masukan dan desakan, Presiden Joko Widodo mencoba meyakinkan publik bahwa  pada intinya KPK harus lebih kuat daripada lembaga lainnya. Melalui siaran pers dan juga melalui akun resmi media sosial, Presiden Joko Widodo menolak empat usulan DPR.

Pertama, tidak setuju  KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Kedua, tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Bisa juga berasal dari unsur aparatur sipil negara.

Ketiga, tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Keempat, tidak setuju perihal pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Yang aneh ada perbedaan draf usulan pemerintah dengan subtansi  di siaran pers.

Partai Politik Tak Menolak

Draf versi DPR tidak ada usulan penyadapan dari lembaga eksternal, namun presiden menyatakan menolak. Tentang LHKPN juga tidak ada dalam konsep usulan DPR. Tampak Presiden Joko Widodo berada dalam posisi gamang karena banyak disekelilingi orang-orang yang berkepentingan, sementara presiden sendiri tidak mempunyai sikap politik pemberantasan korupsi yang jelas.

Yang juga mengherankan, tidak satu pun anggota DPR berani menyuarakan menolak revisi UU KPK dengan berjuang dari dalam. Mereka kompak. Berbagai elemen masyarakat menolak revisi UU KPK, tapi tak satu partai politik secara resmi berani menjadi “penyambung lidah” rakyat.



Tidak ada seorang pun anggota DPR atau fraksi yang mempunyai konsep alternatif revisi UU KPK Sepertinya mereka sudah tuli, bisu, dan buta. Ada apa? Karena itu, berharap kepada lembaga resmi demokrasi semacam partai politik atau DPR seperti berharap turunnya hujan pada musim kemarau.

Akhirnya,kita hanya bisa berharap pada gerakan ekstraparlementer. Dalam pekan ini publik dan berbagai elemen antikorupsi harus terus mengawal hingga  DPR dan pemerintah gagal memutuskan revisi UU KPK dalam sidang paripurna.

Publik harus bisa meyakinkan Presiden Joko Widodo agar dapat berpihak kepada rakyat  dengan cara mengulur-ulur waktu hingga habis masa persidangan pada  24 September nanti.

Jika persetujuan itu terjadi dan disahkan dalam rapat paripurna DPR, masa depan pemberantasan korupsi kian suram. KPK jadi lumpuh, para koruptor gembira ria, dan seperti dalam headline Solopos edisi 14 September 2019, kita mengucapkan,”Selamat tinggal KPK.”

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya