SOLOPOS.COM - Toto Suharto, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Bahasa IAIN Surakarta (FOTO/Istimewa)

Toto Suharto, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Bahasa IAIN Surakarta (FOTO/Istimewa)

Menjelang Tahun Ajaran 2011/2012 berakhir yang ditandai dengan kegiatan pengumuman kelulusan dan kenaikan kelas, seluruh sekolah di Indonesia, negeri dan swasta, menyelenggarakan  proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk Tahun Ajaran 2012/2013 yang biasanya diselenggarakan pada Juni-Juli. Pada momen ini, sekolah-sekolah itu melakukan semacam ”kampanye pendidikan” untuk menarik calon peserta didik agar mau mendaftar di sekolah itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Berbagai upaya dilakukan, mulai dari penyebaran brosur pendidikan yang bersifat promosi hingga pemberian keringanan biaya pendidikan bagi lulusan yang memiliki rangking atau prestasi di sekolah atau madrasah sebelumnya. Pada satu sisi, banyaknya bentuk dan metode ”kampanye pendidikan” yang dilakukan oleh berbagai sekolah itu membuat para orangtua menjadi semakin mudah untuk menentukan lembaga pendidikan lanjutan bagi putra-putri mereka. Dari berbagai metode promosi itu mereka mengetahui ciri khas, karakter, kelebihan serta kekurangan suatu sekolah.

Namun, pada sisi yang lain, para orangtua tak jarang menjadi bingung mengingat banyak dan beragamnya ”kampanye pendidikan” itu justru menyebabkan mereka harus melakukan kategorisasi untuk menyeleksi sekolah atau madrasah mana yang cocok dan diminati putra-putri mereka. Pada konteks ini, menurut hemat saya, salah satu aspek yang patut dipertimbangkan para orangtua untuk menentukan lembaga pendidikan lanjutan bagi putra-putri mereka adalah masalah ideologi pendidikan.

Semua sekolah atau lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, pada hakikatnya menganut ideologi pendidikan tertentu yang menjadi arah penentu penyelenggaraan pendidikannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa memilih suatu lembaga pendidikan tertentu sejatinya adalah terkait dengan pilihan yang bersifat ideologis.

Ideologi adalah salah satu istilah yang banyak dipergunakan, terutama dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat, tetapi juga merupakan istilah yang paling tidak jelas artinya. Istilah ini untuk kali pertama digunakan oleh Destutt de Tracy sebagai ilmu tentang ide-ide. Dari sini, istilah ini kemudian digunakan Karl Marx untuk mengukur cara manusia berpikir dan menilai tentang pandangan-pandangan mengenai moral, dunia, budaya dan lain-lain.

Ideologi kemudian digunakan Vilfredo Pareto dalam sosiologi, yang dilanjutkan oleh Karl Mannheim yang membedakannya dengan istilah ”utopia”. Menurut Frans Magnis-Suseno dalam Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (1995: 227-231) ideologi paling tidak mempunyai tiga pengertian, yaitu sebagai kesadaran palsu yang tidak berorientasi pada kebenaran kecuali bagi yang mempropagandakannya (pengertian negatif); sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai dan sikap-sikap dasar rohani bagi sebuah gerakan, kelompok sosial, atau kebudayaan (pengertian netral); dan sebagai keyakinan subjektif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (pengertian positif).

Dengan pengertian itu, ideologi memiliki tiga unsur. Pertama, adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan masa lalu yang diimajinasikan ke masa depan. Kedua, setiap ideologi memuat seperangkat nilai-nilai atau suatu preskripsi moral yang menolak sistem lainnya. Ketiga, ideologi memuat suatu orientasi pada tindakan, yaitu sebagai suatu pedoman untuk mewujudkan nilai-nilai yang termuat di dalamnya.

Melalui ketiga unsur ini ideologi berfungsi sebagai pemersatu di antara in group (kita) dan pembeda dengan out group (mereka), karenanya ideologi dapat membentuk identitas kelompok atau bangsa. Ideologi juga berfungsi sebagai pemandu futuristik karena memberikan gambaran masa depan yang utopis, di samping juga berfungsi sebagai orientasi pada tindakan.

Di dalam bidang pendidikan, ideologi merupakan sumber kekuasaan dalam mengarahkan pendidikan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan aktivitas pendidikan, mulai dari perencanaan hingga penilaian, pada dasarnya bersumber dari ideologi pendidikan yang dianutnya. Dalam kaitan ini, menarik pernyataan Gerald L Gutek dalam Philosophical and Ideological Perspectives on Education (1988: 160-162) yang menytakan bahwa suatu ideologi pendidikan, apapun bentuknya, dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu di dalam menentukan kebijakan dan  tujuan pendidikan, di dalam penyampaian nilai-nilai yang tersembunyai (hidden curriculum) dan di dalam formulasi kurikulum itu sendiri.

Ketiga aspek ini senantiasa dipengaruhi dan ditentukan bentuk dan formatnya oleh ideologi pendidikan yang dianut oleh suatu lembaga pendidikan. Jadi, di dalam  pendidikan, ideologi merupakan sistem kepercayaan, nilai, atau pandangan serta pemikiran yang menjadi landasan atau orientasi bagi sebuah lembaga pendidikan untuk menentukan langkah-langkah ke mana pendidikan itu mengarah.

 

Di Indonesia

Pada saat rezim Orde Baru berkuasa, semua lembaga pendidikan di Indonesia dipaksa menganut satu ideologi pendidikan tertentu, yaitu ideologi pendidikan Pancasila. Dengan alasan stabilitas nasional, pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau organisasi massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggalnya sebagai syarat mutlak. UU ini pada akhirnya berimplikasi pada dunia pendidikan yang mensyaratkan semua lembaga pendidikan di Indonesia harus berasas tunggal Pancasila.

Namun, ketika reformasi digulirkan pada Mei 1998, kebijakan asas tunggal Pancasila bagi semua lembaga pendidikan mengalami ”pelunturan”. Semenjak itu, dengan dalih demokrasi dan kebebasan, di Indonesia muncul berbagai ideologi pendidikan, mulai ideologi pendidikan berbasis nasional yang umumnya diusung oleh sekolah-sekolah negeri di bawah pengelolaan pemerintah, hingga ideologi pendidikan berbasis liberalisme dan fundamentalisme, atau yang berbasiskan keagamaan, yang biasanya diusung oleh lembaga-lembaga swasta sebagai ciri khasnya.

Terkait dengan maraknya ideologi-ideologi pendidikan itu, para orangtua sekarang ini harus dapat mengenal dengan bijak dan cermat mengenai ideologi pendidikan yang dianut oleh suatu sekolah. Suatu lembaga pendidikan biasanya tidak secara jelas dan gamblang mencantumkan ideologi pendidikannya dalam format kelembagaannya. Namun, setidaknya ideologi pendidikan itu dapat diketahui melalui hidden curriculumnya.

Menurut Michael W Apple dalam Ideology and Curriculum (2004:78-79), hidden curriculum merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang secara implisit, tapi efektif, diajarkan sekolah kepada siswa, yang biasanya tidak dicantumkan di dalam tujuan guru mengajar, tapi tecermin dalam berbagai aktivitas ektrakurikuler yang lebih bersifat kultural.

Melalui analisis kurikulum semacam itu, setiap orangtua diharapkan dapat mengenal lebih dekat setiap lembaga pendidikan yang kelak menjadi pilihan bagi putra-putrinya. Setiap sistem pendidikan sesungguhnya menyembunyikan ideologi tertentu dalam rangka reproduksi budaya dan itu dapat diketahui di antaranya melalui analisis kurikulum tersembunyinya. Jadi, bagi para orang tua, pandai-pandailah mengenal kultur suatu lembaga pendidikan, karena di sinilah disembunyikan sebuah ideologi pendidikan. Memilih suatu lembaga pendidikan memang sebuah pilihan yang bersifat ideologis!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya