SOLOPOS.COM - Kerabat keraton dan pengunjung masih melestarikan kebiasaan nginang, Selasa (7/1/2014), sesaat setelah tradisi Ungeling Gongso atau ditabuhnya Gamelan Kyai Gunturmadu di Pagongan Halaman Masjid Agung Solo. Tradisi tersebut eksis sejak pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. (Oriza Vilosa/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Tradisi Sekaten 2014 bagi sebagian masyarakat mempunyai kekuatan magis. Salah satu yang masih lekang yakni tradisi Nginang dan berebut janur yang dinilai memiliki dampak magis.

Kerabat keraton dan pengunjung masih melestarikan kebiasaan nginang, Selasa (7/1/2014), sesaat setelah tradisi Ungeling Gongso atau ditabuhnya Gamelan Kyai Gunturmadu di Pagongan Halaman Masjid Agung Solo. Tradisi tersebut eksis sejak pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. (Oriza Vilosa/JIBI/Solopos)

Kerabat keraton dan pengunjung masih melestarikan kebiasaan nginang, Selasa (7/1/2014), sesaat setelah tradisi Ungeling Gongso atau ditabuhnya Gamelan Kyai Gunturmadu di Pagongan Halaman Masjid Agung Solo. Tradisi tersebut eksis sejak pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. (Oriza Vilosa/JIBI/Solopos)

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Ungeling Gongso, ditabuhnya dua gamelan Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu di dua Bangsal Pagongan halaman Masjid Agung Solo, Selasa (7/1/2014), telah dilakukan sesuai tradisi pembukaan Pekan Perayaan Tradisional Sekaten Tahun Alip 1947/2014 Masehi sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 Hijriah.

Berebut janur di teras Pagongan, mendengarkan gamelan, ada juga tradisi lain yang dilakukan kerabat keraton serta pengunjung di saat-saat itu.

Nginang atau menggigit daun sirih yang telah diisi termbakau dan gambir. Aktivitas itu tak hanya dilakukan oleh satu dua orang kerabat keraton dan pengunjung. Sebut saja Nomo, warga Baki Pandeyan, Kecamatan Baki, Sukoharjo.

Wanita berusia 90 tahun itu nginang sembari mendengarkan gamelan ditabuh di Pagongan Selatan Halaman Masjid Agung. “Setiap tahun saya kesini, jadi nginang lalu [airnya] ditelan tiga kali. Entah, ini yang mengatakan orang-orang dulu [sesepuh],” terangnya.

Baginya, menghargai petuah pendahulu seperti yang dilakukannya saat itu tak buruk. Justru, generasi penerus harus pintar-pintar mengambil makna filosofi setiap tindakan yang diajarkan leluhur.

Nomo pun tak sungkan menceritakan kebiasaannya berebut janur di teras bangunan tadi. Setelah mendapat beberapa janur, ada yang dipakainya untuk nginang ada juga yang disimpan. “Disimpan dulu lalu ditaruh di sudut sawah, sudut rumah,” bebernya.

Berebut Janur

Beda halnya dengan Nomo. Narti, seorang ibu berjilbab pun rela berdesakan di tempat itu untuk mendapatkan janur. “Iya saya juga setiap tahun. Tapi untuk apa janur saya bawa pulang, itu sudah menjadi kepentingan saya,” ujarnya merahasiakan kebiasaannya.

Menurut pantauan Solopos.com, hanya pengunjung yang berusia tak lagi muda yang masih melakukan hal tadi. Sementara pemuda-pemudi yang juga terlihat hadir di sana, hanya terlihat turut meramaikan perebutan janur. Mereka tak nginang.

Beda halnya dengan wanita berbusana sama dengan rombongan kerabat keraton. Wanita yang terllihat muda itu mengikuti tindakan rombongannya, salah satunya nginang. Walau demikian, dia terlihat tak sekhusyuk kerabat keraton lain. Beberapa kali Solopos.com melihat, wanita muda tadi lebih sering nginang dan narsis di depan kameran handphone-nya.

Menurut Wakil Sasana Wilapa Keraton Solo, Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo, nginang juga menyimpan filosofi. Nginang saat mendengar gamelan Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntursari ditabuh, menandakan ikatan keagamaan.

“Ada kekuatan lain juga di dalam kinang, yakni antibiotik. Lihat saja yang sepuh-sepuh nginang, giginya terlihat lebih kuat. Gamelan bunyi disambut kinang itu sudah tradisi era Demak, ini semua kan media syiar,” ujarnya.

Sementara dua gamelan tadi pertama-tama melantunkan gending Rambu. Rambu diambil dari kata Rabuna. “Rabuna sendiri berarti pengampunan. Jadi tradisi ini terus dilestarikan agar mengingatkan manusia senantiasa sadar memiliki dosa lalu memohon pengampunan nah setelah mendapat terus-menerus bersyukur,” tambahnya.

Irama atau gending itu khusus dimainkan saat pembukaan Sekaten. Setelah Gending Rambu, niaga atau pemain gamelan memainkan Gending Rangkum. Tradisi itu mulai lahir sejak pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. “Jadi usia Gamelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari ini muncul sekitar 1718,” beber pemilik panggilan akrab Kanjeng Win itu, kepada Espos, menghitung 296 tahun eksisnya tradisi tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya