SOLOPOS.COM - Sholahuddin (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Hari  Buruh Internasional 1 Mei 2023 sudah berlalu. Entahlah, masih ada hal yang mengganjal dalam diri saya. Harian Solopos memuat beberapa artikel polemik membahas apakah dosen itu termasuk buruh atau bukan.

Saya menilai ada yang kurang. Belum ada tulisan dari perspektif buruh. Isu itu muncul karena ada dua momentum. Pertama, terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya membaca peraturan menteri itu. Saya tidak begitu paham karena tidak relevan dengan hidup saya, tapi peraturan ini membebani dosen dengan kerja-kerja administratif.  Dosen disamakan dengan buruh. Ini yang dinilai merendahkan harkat dan martabat dosen.

Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, mengkritik peraturan menteri itu melalui artikel di Harian Kompas, 13 April 2023, berjudul Buruh Dosen. Dari judulnya saya bisa menebak arah tulisan ini. Artikel ini banyak disebar di media sosial, memantik diskusi panjang.

Ekspedisi Mudik 2024

Kedua, momentum Hari Buruh Internasional pada 1 Mei lalu. Pada setiap momentum hari buruh isu-isu perburuhan menjadi diskusi menarik. Para buruh rutin turun ke jalan menuntut hak. Secara bersamaan, isu-isu perburuhan di kalangan dosen menyeruak.

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyerukan dosen berserikat agar bisa memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka, termasuk menuntut kesejahteraan dosen, agar pendapatan lebih layak.

Saya tidak akan menambah daftar panjang polemik. Beberapa artikel yang dimuat di Solopos  sudah menjawabnya. Seperti artikel Nestapa Buruh Pengetahuan yang ditulis Anggalih Bayu Muh. Kamim di Solopos edisi 19 Mei 2023 mengategorikan dosen sebagai ”buruh pengetahuan”.

Dia menyebut buruh pengetahuan secara sederhana dapat dimaknai sebagai pekerja yang menggunakan kapasitas pengetahuan dan tenaganya untuk menghasilkan kerja pengetahuan dalam pasar kerja akademik. Artikel Anggalih ini menjadi jalan tengah yang menarik.

Bahwa dosen sesungguhnya buruh jika dilihat dari perspektif hubungan ketenagakerjaan. Mau pakai pendekatan apa pun, dosen adalah pekerja atau buruh. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dosen bekerja menghasilkan produk berupa ilmu pengetahuan dan kemudian mendapatkan imbalan jasa berupa upah atas pekerjaan itu.

Dalam perspektif empat jenis kuadran cashflow ala Robert T. Kiyosaki, pekerjaan dosen berada di kuadran E (employee) atau orang yang dipekerjakan. Sejauh yang saya tahu, tidak ada dosen yang bisa mempekerjakan diri sendiri (self employed) tanpa ada kampus yang mempekerjakan.

Silakan dikoreksi kalau saya keliru. Jadi, jelas kan? Sekali lagi, ini dalam konteks ketenagakerjaa, bahwa dosen menjadi pekerja profesional yang membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus merupakan kenyataan dan keniscayaan.

Dosen adalah pekerja intelektual yang sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban. Dalam beberapa hal, karakter pekerjaan ini yang membedakan dengan pekerjaan lainnya.

Saya sependapat dosen tidak seharusnya dibebani kerja-kerja administratif yang menyita waktu. Itu akan mengganggu kerja mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai keahliannya. Saya sering mendengar keluhan seperti itu dari teman-teman dosen.

Prinsip Kesetaraan

Boleh saja Anda tidak sepakat bahwa dosen adalah buruh, namun argumentasinya mesti elegan. Saya terusik pendapat yang mengatakan dosen merupakan pekerjaan mulia yang tidak bisa disamakan dengan pekerjaan buruh. Menyamakan dosen dengan buruh sama saja merendahkan dosen.

Kelihatannya kalimat itu baik-baik saja. Sebagai buruh, saya merasakan ini menyakitkan karena justru merendahkan kaum buruh. Seolah-olah menjadi buruh adalah pekerjaan rendahan. Sebagai ilmuwan dan intelektual, tidak sepatutnya jemawa dan merasa lebih tinggi daripada pekerjaan lain.

Apakah saya dan jutaan buruh lainnya punya ”kasta” yang lebih rendah daripada pekerjaan dosen? Siapa yang bisa menjamin sehingga haram menyetarakan pekerjaan dosen dengan buruh?

Kalau memang niatnya memprotes peraturan menteri tersebut, sungguh tidak elok cara membandingkan dengan pekerjaan bidang lain.Kalau mau mengkritik, ya kritik saja dengan argumentasi yang sahih.

Buruh bekerja pada bidang yang begitu kompleks. Tergantung bidang dan karakter pekerjaan.  Jurnalis itu profesional yang pekerjaanya diikat oleh kredo-kredo jurnalisme yang agung, tapi sekaligus buruh dalam konteks relasi ketenagakerjaan.

Dokter itu profesi yang mulia di bidang kesehatan, bisa jadi buruh kalau terikat hubungan ketenagakerjaan dengan  rumah sakit. Begitu pula profesi dan pekerjaan lainnya. Saya terbiasa memandang sesama dalam posisi setara, apa pun bidang kerja yang dijalani. Selama orang itu bekerja pada sesuatu yang benar dengan cara yang benar, itu adalah pekerjaan yang harus dihormati.

Kehidupan ini adalah sebuah sistem, di dalamnya banyak subsistem yang diisi oleh beragam pekerjaan. Masing-masing subsistem bekerja untuk menjalankan fungsi sehingga sistem besar itu bisa berjalan dengan baik.

Saat ada subsistem yang disfungsi, akan menggangu sistem yang lebih luas itu. Tidak boleh ada subsistem yang merasa lebih penting dan terhormat daripada yang lain.

Ilmuwan dan intelektual sejati mesti menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan keterbukaan dalam relasi antarmanusia maupun dalam menjalankan pekerjaan. Kalau ada yang merasa lebih tinggi, justru dia sedang merendahkan harkat dan martabatnya sendiri.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Mei 2023. Penulis adalah pegiat Solopos Institute)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya