SOLOPOS.COM - Adi Putra Surya Wardhana (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Pada Sabtu, 12 Desember 2020, diselenggarakan diskusi oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Wonogiri. Diskusi anjangsana virtual tersebut mengusung tema Sejarah Terapan di Zaman Kiwari.

Wildan Hafata Yahfitu Zahra, sejarawan muda berprestasi lulusan Universita Airlangga Surabaya, didapuk sebagai pembicara utama. Ia bergiat memopulerkan sejarah terapan sejak di bangku kuliah walaupun diskursus tersebut kurang laku di kalangan sejarawan akademis.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pada jenjang perguruan tinggi, sejarah terapan tidak masuk kurikulum, apalagi jenjang sekolah menengah atas. Kebanyakan kampus yang memiliki jurusan ilmu sejarah dan pendidikan sejarah masih berkutat pada kurikulum yang kaku dan kolot.

Tidak mengherankan banyak lulusan sejarah, malahan juga sejarawan “bersertifikat”, asing dengan istilah ini. Sebenarnya istilah ini sudah digunakan sejak awal abad XX di Amerika Serikat. Pemantiknya adalah Benjamin Shambaugh, seorang sejarawan di Amerika Serikat.

Diskursus ini berkembang di Amerika Serikat. Sejarawan di Indonesia kurang berminat. Dominasi mazhab Leiden dalam historiografi Indonesia menjadi salah satu penyebab. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan sejarah sejarah terapan kita perlu memahami makna setiap terminologinya.

Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah (2001) mengatakan sejarah berarti rekonstruksi masa lampau tentang segala pengalaman manusia yang dibuktikan dengan berbagai peninggalannya (Kuntowijoyo, 2001: 18-19). Sedangkan terapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti penerapan atau diwujudkan dalam praktik dan ilmu yang bersifat aplikatif.

Dengan cara bodhon (secara gampang), sejarah terapan dimaknai sebagai ilmu merekonstruksi masa lampau yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Benarkah demikian? Dalam Pengantar Ilmu Sejarah: Modul Bimbingan Teknis Tenaga Bidang Kesejarahan bagi Penulis Sejarah (2020), sejarah terapan (applied history) berhubungan erat dengan sejarah publik (public history).

Keduanya tampak serupa, tetapi tidaklah sama. Sejarah publik adalah penyebarluasan pengetahuan sejarah kepada masyarakat luas dalam beragam bentuk dan media. Dengan publikasi kesadaran sejarah masyarakat bakal terpantik. Tentu saja setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda.

Benjamin F. Shambaugh dalam Applied History (1914) menjelaskan sejarah terapan merupakan penggunaan pengetahuan sejarah dan pengalaman untuk menyelesaikan permasalahan manusia kekinian. Sejarah dapat dipelajari untuk memecahkan persoalan kiwari dan menentukan kebijakan yang berhubungan dengan kemaslahatan umat manusia.

Artinya, perbedaan mendasar dari sejarah terapan dan sejarah publik terletak pada pemanfaatannya. Sejarah publik menekankan pada produksi pengetahuan demi membangun kesadaran sejarah kepada khalayak umum.

Sejarah terapan merupakan pemanfaatan sejarah sebagai penentu kebijakan demi memecahkan permasalahan kekinian dan rencana masa depan. John Tosh dalam Why History Matters (2019) membedakan sejarah terapan dan sejarah publik berdasar pada tujuannya.

Menurut dia, sejarah publik ditujukan agar karya-karya sejarah dapat dinikmati khalayak secara lebih luas, sementara sejarah terapan bertujuan akademis untuk memengaruhi perhatian publik kekinian.

Berkesadaran Sejarah

Sejarah terapan pasti berhubungan dengan kebijakan sehingga sejarawan harus bersentuhan dengan para pemangku kepentingan, misalnya lembaga legislatif. Menurut Shambaugh, pekerjaan sejarawan terapan adalah mengumpulkan rujukan dan membuat materi penelitian guna dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan (Conrad, 2002).

Masukan-masukan dari para sejarawan terapan akan membuat kualitas putusan (policy) yang dikeluarkan menjadi lebih baik. Misalnya, dalam pembahasan omnibus law lembaga legislatif bisa saja merekrut sejarawan untuk mengkaji perumusan omnibus law di negara lain pada masa lampau.

Salah satu negara yang pernah merumuskan omnibus law adalah Amerika Serikat yang disebut dengan Compromise of 1850. Seperti namanya, paket komplet undang-undang tersebut dibuat sebagai kompromi atas debat kusir parlemen terkait status suatu wilayah dengan Meksiko pascaperang Amerika Serikat-Meksiko (1846-1848).

Rupanya omnibus law justru menimbulkan perdebatan, meski telah disahkan sekalipun. Keterburu-buruan dan penggunaan kekuasaan oleh pemerintah berdaulat kerap kali membuat luaran undang-undang sapu jagat tersebut bermasalah.

Nah, dengan melibatkan sejarawan terapan, permasalahan ini mestinya bisa dicarikan solusi. Dengan catatan, pemangku kepentingan bersedia mendengarkan masukan para sejarawan. Masalahnya, suara sejarawan sering kali diabaikan. Kepentingan politik jangka pendek yang oportunis menjadi penyebabnya.

Banyak sejarawan pelat merah yang tersebar di berbagai lembaga kedinasan. Pemerintah memiliki sejarawan-sejarawan yang berdinas di Balai Pelestian Nilai dan Budaya (BPNB), Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Balai Arkeologi, museum, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan di daerah-daerah.

Mereka ini memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi sejarawan terapan. Posisi mereka di dalam pemerintahan memungkinkan mereka mengakses sumber-sumber data sekaligus memberi masukan langsung kepada pemangku kepentingan, misalnya sejarawan pelat merah Restu Gunawan.

Ia mengkaji kegagalan sistem kanal dalam pengendalian banjir di DKI Jakarta sejak zaman kolonial hingga Orde Baru (Gunawan, 2010). Kajian itu semestinya dapat dijadikan masukan dan solusi guna mengatasi masalah banjir di ibu kota Indonesia yang selalu menjadi langganan setiap tahun.

Dari luar pemerintahan, muncul nama Ravando Lie (2020), penulis buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1918-1919. Ravando merekam kegagapan dunia dalam menghadapi pandemi flu yang misterius. Di bumi Hindia Belanda (Indonesia tempo dulu), pemerintah kolonial gagap menghadapi pandemi sehingga semakin menjadi-jadi.

Mobilitas kaum pekerja dituding sebagai pembawa virus. Selain hanya menyalahkan, pemerintah kolonial juga tidak mau mengakui adanya pandemi flu Spanyol. Kuatnya desakan kaum pemodal yang tak ingin bisnis terganggu membuat penanganan pandemi bergerak lambat.

Kajian Ravando semestinya juga bisa dijadikan pedoman oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 maupun pemerintah pusat, namun kekuasaan berkehendak lain.  Di sinilah kesadaran sejarah para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan agar kerja sama dengan sejarawan bisa terjalin.



Apabila kerja sama sudah dijalin, sejarawan mesti cepat bekerja agar permasalahan bisa diselesaikan. Dengan demikian, sejarawan terapan dapat menjadi sejarawan yang solutif. Sejarawan yang memberi solusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya