SOLOPOS.COM - Ilustrasi ketupat. (Twitter)

Solopos.com, SOLO – Bakdo Kupat atau Kupatan merupakan tradisi masyarakat Jawa, khususnya di Kota Solo yang diperingati sepekan setelah Hari Raya Idulfitri.

Kupatan merupakan simbol doa dari orang tua yang pernah gagal melahirkan bayi karena keguguran.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Kasunanan Surakarta, GKR Koes Moertiyah atau akrab dipanggil, Gusti Moeng, kepada Solopos.com mengatakan, tradisi bakdo kupat merupakan kepercayaan masyarakat Jawa secara umum.

Baca juga: Cerita Tim SAR UNS Evakuasi Korban Perahu Terbalik di WKO Boyolali: Berjibaku dengan Air, Lumpur, dan Darah

Tidak ada pengkhususan bakdo kupat di lingkungan Keraton Solo. Namun, Keraton Solo selalu diminta menggelar perayaan Kupatan oleh Pemkot Solo di Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).

“Sebetulnya yang punya kewajiban kupatan itu adalah para orang tua yang memiliki anak keluron atau miskram. Di samping makan kupat, para orang tua mendoakan anak-anak yang tidak sempat lahir. Orang tua memasang satu pasang kupat di pintu masuk dan keluar,” papar Gusti Moeng kepada Solopos.com Rabu (19/5/2021).

Ia menambahkan menurut kepercayaan Jawa, bakdo kupat merupakan bakdo atau lebarannyapara bayi miskram itu.

Baca juga:  Tradisi Kupatan di Solo Setelah Lebaran: Dari Ngaku Lepat hingga Laku Papat

Kalung Kupat

Selain bakdo kupat, ada juga kepercayaan kalung kupat. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, jika kupatan tidak dilakukan, maka anak-anak yang tidak sempat dilahirkan itu akan merasa tidak diperhatikan.

“Tradisi itu turun menurun masyarakat Jawa,” papar dia.

Ketua Solo Societiet sekaligus pemerhati sejarah, Dani Saptoni, mengatakan belum ada kajian khusus yang membahas tentang bakdo kupat. Tetapi Kupatan di Solo selalu digelar sepekan atau sepasaran dalam penanggalan Jawa.

Berdasarkan tradisi di Solo, Grebeg Syawal dan Kupatan bertepatan dengan para bupati di Kasunanan Surakarta sebo atau menghadap tanda kesetian pada kerajaaan. Dalam setahun ada dua grebeg yakni grebeg besar saat sekaten dan grebeg syawal.

“Di situ diadakan makan-makan dengan simbol kupat. Di Solo ada dua macan kupat, kupat isi dan kupat luar. Kupat itu ada maknanya lagi, Grebeg Syawal juga bermakna simbolisasi dengan alam. Kalau orang dulu, hewan ternak dikalungi kupat luar. Juga jika ada yang pernah keguguran memasang kupat luar itu di pintu,” papar dia.

Baca juga: Bagi-Bagi Kupat Jembut di Tradisi Syawalan Khas Semarang

Bakdo Kupat

Sementara itu, penulis lepas yang berdomisili di Kartasura, Sukoharjo, Impian Nopitasari, mengaku keluarganya ikut melestarikan tradisi kupatan. Menurutnya, membuat ketupat justru tidak bertepatan dengan hari H Lebaran namun sepekan setelah Lebaran.

Ia menjelaskan menurut kepercayaan kupat memiliki filosofi ngaku lepat atau mengaku bersalah. Lalu, ada pula kupat lepet yang memiliki filosofi silep sing rapet atau dilipat yang rapat. Menurutnya, di beberapa daerah seperti Klaten disebut legondo atau leganing dodo.

“Di tempat saya, kupat lepet digantung di pintu. Tradisi ini dipercayai menyambut leluhur. Ada pula kepercayaan, bakdo para bocah yang meninggal sebelum dilahirkan,” papar dia.

Ia mengatakan di keluarganya, kupat tidak harus dibiarkan mengering sampai syawalan depan. Lalu, tidak harus yang punya bayi miskram yang memasang kupat lepet di pintu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya