SOLOPOS.COM - Salah satu potret buruh Pabrik Gula (PG) Mojo Sragen yang dilengkapi pakaian tahan api pada 1932. Foto lawas itu dimuat majalah Mededeelingen van Het Proefstation Voor de Java Suikerindustri terbitan 1932. (Istimewa/Dokumen Johny Adhi Aryawan)

Solopos.com, SRAGEN — Temuan harta karun berupa arsip dan buku kuno yang tersimpan di perpustakaan Pabrik Gula atau PG Mojo menyibak misteri terkait sejarah kelam industri gula di Pulau Jawa.

Industri gula di Jawa mencapai masa keemasan pada periode 1894-1932. Produksi gula di Jawa bersaing ketat dengan Kuba dalam memenuhi permintaan pasar dunia. Pada buku Archief voor de Java Suikerindutrie (1897:589) yang tersimpan di PG Mojo, disebutkan sampai akhir 1896, Kuba merupakan produsen gula terbesar di dunia, disusul kemudian Jawa.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Namun, situasi tersebut berbalik satu tahun kemudian. Industri gula di Jawa secara luar biasa melampaui Kuba pada akhir 1897 dengan hasil produksi sebesar 605 juta kilogram atau 605.000 ton. Hasil gula melimpah ini dipasok dari 148 pabrik gula yang beroperasi di seluruh Jawa pada tahun itu.

Baca Juga: Pasar Gawok Sukoharjo Ditutup Hingga 20 Juli 2021

Kesuksesan itu kemudian kemudian memicu lahirnya sejumlah pabrik gula baru pada awal 1990-an. Jumlah pabrik gula di Jawa bertambah dari 148 pada 1896 menjadi 186 pabrik gula pada 1929. Tiap pabrik rata-rata bisa mempekerjakan 500 buruh pribumi (Archief voor de Suikerindustrie in Ned-Indie, 1929).

“Saat itu hampir setiap pabrik gula di Jawa telah dibangun kompleks layanan kesehatan. Namun di dalam kompleks kesehatan tersebut dipisahkan klinik untuk bangsa Eropa dan pribumi. Bangsal karyawan Eropa terpisah dengan bangsal pribumi. Kompleks perumahan dokter Eropa terpisah dengan dokter pribumi,” ucap pegiat Sragen Tempo Doeloe, Johny Adhi Aryawan, kala berbincang dengan Solopos.com belum lama ini.

Pembangunan layanan kesehatan di semua pabrik gula itu bukan tanpa alasan. Johny menyebut kemajuan industri gula pada masa itu juga diwarnai beberapa insiden yang tidak diharapkan. Arsip Archief voor de Suikerindustrie in Ned-Indie (1929) melaporkan terjadinya kecelakaan kerja maupun problem teknis lainnya.

Dalam arsip itu disebutkan mesin pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur sering rusak karena tersambar petir pada musim hujan. Fakta lain yang tak kalah mencengangkan adalah banyaknya kecelakaan kerja yang dialami para buruh pabrik gula itu.

“Secara keseluruhan terdapat 256 buruh meninggal dunia dan 108 lainnya terluka karena kecelakaan kerja. Semuanya adalah pekerja etnis Jawa. Kecelakaan kerja terjadi paling banyak di area poros mesin giling yang berputar.

Kecelakaan terjadi karena para pekerja memaksakan diri mengambil jalan pintas dengan melompati poros putar mesin. Mereka tidak mau berjalan sesuai jalur aman. Kecelakaan kerja fatal berikutnya adalah pekerja yang terjatuh ke dalam bak penampungan air panas,” terang Johny.

Baca Juga: Ancam Nakes Pakai Parang, Warga Tanon Sragen Masuk Bui

Sebuah tim kontrol keselamatan buruh akhirnya dibentuk untuk meminimalisir kecelakaan kerja. Mereka kemudian merekomendasikan perlunya pembangunan instalasi layanan kesehatan di kompleks pabrik gula. Para pekerja juga wajib dilengkapi sarana pelindung seperti pakaian tahan api, topi keselamatan dan lain-lain.

“Salah satu layanan kesehatan di pabrik gula yang masih eksis sampai sekarang berlokasi di Lumajang, Jawa Timur. Instalasi layanan kesehatan di PG PG Djatiroto itu saat ini berubah menjadi Rumah Sakit Djatiroto Lumajang yang berada di bawah pengelolaan PT Perkebunan Nusantara XI,” terang Johny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya