Anda bisa mencari berdasar kategori
atau judul berita
Masukan kata kunci

Sejarah Kawasan Jembatan Sasak Sukoharjo, Bekas Dermaga Tersibuk Era Mataram

Sejarah Kawasan Jembatan Sasak Sukoharjo, Bekas Dermaga Tersibuk Era Mataram
author
Ika Yuniati Sabtu, 29 Oktober 2022 - 07:00 WIB
share
SOLOPOS.COM - Kondisi jembatan sasak Gadingan-Beton, foto diambil dari sisi Beton, Sewu, Jebres, Solo pada Minggu (23/10/2022). (Solopos.com/Magdalena Naviriana Putri).

Solopos.com Stories

Solopos.com, SUKOHARJO — Jembatan sasak penghubung Desa Gadingan, Mojolaban, Sukoharjo menuju ke Desa Beton, Sewu, Jebres, Solo memiliki sejarah panjang.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Dulunya kawasan itu menjadi menjadi dermaga tersibuk. Sementara kini hanya menjadi jalur alternatif penghubung Sukoharjo-Solo.

“Dulu zaman mbah-mbah saya katanya di sini digunakan untuk jalur perdagangan zaman keraton. Tapi saya tidak tahu pasti pasnya tahun berapa karena hanya dari cerita mulut ke mulut zaman saya masih kecil,” terang warga Mojolaban, Yuli, beberapa waktu lalu saat ditemui di sekitar jembatan sasak Gadingan-Beton.

Seolah mengaminkan, beberapa warga setempat yang bertemu Solopos.com turut mengungkapkan hal yang sama.

Mereka menilai jalur transportasi maritim telah ada sejak lama namun belum ada yang bisa memberikan keterangan pasti perihal alat transportasi apa dan siapa yang memanfaatkannya.

Baca juga: Dilema Jembatan Sasak Sukoharjo-Solo: Tidak Direkomendasikan tapi Dibutuhkan

Jurnal tersebut menuliskan wilayah jembatan sasak di Desa Gadingan pernah menjadi pelabuhan tersibuk yang diberi nama Bandar Beton khususnya pada masa Kasunanan Kartasura.

“Pada era Mataram, khususnya era Kasunanan Kartasura, Bandar Beton yang berada di bibir sungai Bengawan merupakan bandar yang cukup ramai. Kapal-kapal nelayan maupun kapal-kapal niaga merapat menjemput bola, hilir mudik bongkar muat barang. Mereka berasal dari Tuban dan Gresik,” tulis jurnal tersebut.

Lambat laun, Bandar Beton kemudian juga menjadi pusat persinggahan kapal-kapal dari Madura, Gresik, Kalimantan, China, dan Belanda. Pada 1740-an, kawasan bandar tersebut menjadi tempat membaurnya manusia dari berbagai ras, dengan diversitas bahasanya.

Hal itu lantaran Solo pada masa itu dibentuk oleh masyarakat kuli yang dalam istilah Jawa disebut Soroh Bau, hingga pimpinannya disebut Ki Bau Soroh.

Baca juga: Jembatan Sasak Sukoharjo Rusak Diterjang Hujan, Perbaikan Tunggu Air Surut

Para Soroh Bau atau para kuli tersebut banyak yang tinggal di tepi Bengawan Solo. Bersama pengikutnya dia melakukan proses bongkar muat barang. Mereka bekerja untuk majikannya yang berada di Kadipaten Pajang.

Jauh sebelumnya tepatnya sejak masa kekuasaan Kahuripan, daerah sepanjang aliran Bengawan Solo merupakan wilayah perdagangan yang menghubungkan wilayah pedalaman hingga wilayah perairan utara pulau Jawa.

Lebih tepatnya menghubungkan wilayah hulu hingga bandar-bandar yang berada di sepanjang sungai Bengawan hingga Gresik, Jawa Timur.

Tradisi angkutan melalui sungai tersebut juga berlangsung pada era-era selanjutnya yakni pada masa Kerajaan Majapahit, Demak, dan Pajang hingga Mataram, khususnya pada masa berakhirnya Mataram Kartasura atau awal pembangunan Kraton Mataram Kasunanan.

Saat itu, pengangkutan bahan kayu diambil dari Hutan Wonogiri, banyak menggunakan jalur Sungai Bengawan sebagai jalur utama pengiriman hingga merapat di Bandar Semanggi, sebelah timur Kota Solo sekarang.

Baca juga: Pembangunan Jembatan Sasak Ketiga di Plumbon Sukoharjo Berlanjut

Bandar Beton, Bandar Nusupan, dan Bandar Wulayu (Semanggi), ketiganya berada dipinggir aliran Bengawan Solo.

Dari bandar-bandar sepanjang aliran Bengawan Solo itulah, komoditas perdagangan kemudian dibawa ke pelabuhan Kembang Putih (Tuban) dan Gresik, yang kemudian diperdagangkan hingga keluar pulau.

Dalam paparan itu menunjukkan transportasi maritim di Sungai Bengawan Solo cukup menjanjikan. Namun transportasi maritim itu kini tak digunakan optimal. Hal itu diungkapkan penulis dalam jurnalnya.

“Ironisnya, di era industri seperti sekarang, Kota Solo atau Surakarta sebagai daerah perlintasan Bengawan Solo, justru belum memanfaatkan secara optimal potensi maritim yang dimilikinya. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang sejarah pemanfaatan Bengawan Solo, boleh jadi adalah salah satu faktor mengapa geliat industri di kawasan tersebut kini tak begitu bergairah,” kritiknya.

Selain itu transportasi maritim kini tak lagi ditemukan, dalam penelusuran Solopos.com pada Minggu (23/10/2022) debit air yang tinggi tidak membuat kapal yang berada di lokasi jembatan sasak Gadingan-Beton berlayar.

Baca juga: DPUPR Solo: Konstruksi Jembatan Sasak Beton-Gadingan Sangat Jauh dari Layak



Kapal tersebut menjadi penampungan bambu sisa-sisa jembatan yang hanyut. Kapal bertuliskan Dishub Sukoharjo itu ditepikan di bibir Bengawan Solo sisi Beton, Sewu, Jebres, Solo.

Sementara sisa kerangka jembatan bambu lainnya yang masih terakit hanya bertengger di bibir sungai. Beberapa waktu lalu semenjak jembatan sasak dibuka, warga memilih melalui jembatan sasak hingga ribuan pengendara yang melalui jalur itu dalam satu hari.

Hal itu menunjukkan betapa pentingnya akses jalan itu bagi pengguna.

Namun kemudahan akses itu tidak berjalanan beriringan dengan keselamatan pengguna jembatan. Sebab beberapa kali jembatan itu tak mampu menahan derasnya debit air Sungai Bengawan Solo.

Baca juga: Total Ada 3 Jembatan Sasak Sukoharjo – Solo, Ada yang Baru Proses Bangun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya

Koran Solopos


Berita Populer

Dapatkan akses tak terbatas
Part of Solopos.com
ISSN BRIN