SOLOPOS.COM - Gapura Gladag menuju Alun-Alun Utara Solo. (Kebudayaan.kemendikbud.go.id)

Solopos.com, SOLO — Kawasan Gladak yang kini menjadi pusat Kota Solo memiliki sejarah panjang sejak zaman pemerintahan Paku Buwono (PB) II di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Saat itu, pusat Kerajaan Mataram Islam itu baru saja pindah dari Kartasura pasca-Geger Pecinan tahun 1745.

Informasi yang dihimpun Solopos.com, nama Gladak tidak lepas dari tradisi perburuan hewan oleh Raja Keraton Solo kala itu. Hewan hasil perburuan itu dikandangkan di Krapyak. Lokasinya berada di belakang Kantor Pos Solo atau kini masuk wilayah Kelurahan Kampung Baru, Pasar Kliwon.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Di tempat itu hewan-hewan hasil buruan raja dan keluarganya ditaruh. Ada berbagai macam hewan hasil buruan raja yang ditaruh di Krapyak mulai dari menjangan, sapi, banteng, serigala, hingga babi hutan.

Pada hari-hari istimewa, ketika Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat punya hajat, hewan hasil buruan di kandang Krapyak disembelih untuk disantap atau diberikan kepada rakyat.

Ada pula kisah sejarah yang menyebutkan hewan-hewan di Krapyak disembelih di lokasi atau kawasan yang kini bernama Gladak, Solo. Dari Krapyak, hewan-hewan itu digladak pakai tali.

Baca Juga: Kampung Dekat Balai Kota Solo Ini Dulunya Kandang Satwa Buruan Raja Lho

Setiba di Gladak, hewan-hewan tersebut disembelih. Sejarawan Solo yang juga Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, menjelaskan hewan-hewan hasil buruan raja yang akan disembelih untuk pesta diseret paksa pakai tali atau digladak dari Krapyak menuju Keraton Solo.

Kembul Bujana

“Penamaan daerah Gladak itu ya merujuk aktivitas masyarakat saat itu yang menyeret paksa hewan hasil perburuan dari Krapyak ke Keraton. Diseret paksa pakai tali itu oleh warga disebut dengan digladak,” terangnya saat diwawancarai Solopos.com mengenai sejarah kawasan Gladak Solo, beberapa waktu lalu.

Founder Solo Societeit tersebut menjelaskan kegiatan menyembelih hewan hasil perburuan saat itu atas perintah raja yang menginginkan pesta kuliner atau kembul bujana. Sehingga hewan-hewan seperti rusa dan kijang diseret ke Keraton untuk pesta.

Baca Juga: Kebo Bule Kiai Slamet, Hadiah Paku Buwono II Saat Lari ke Ponorogo

Jenis hewan yang kala itu biasa disembelih untuk menu pesta kuliner raja dan rakyatnya berupa rusa dan kijang. “Kalau celeng saya pikir enggak termasuk ya, karena bagaimana pun saat itu sudah era Kerajaan Mataram Islam,” imbuhnya.

Cerita sedikit berbeda berkaitan dengan sejarah Gladak Solo diungkapkan pemerhati sejarah yang kerap mengunggah konten-konten bermuatan sejarah Solo di Instagram, KRMT L Nuky Mahendranata Nagoro. Nuky menelusuri jauh sampai ke tradisi era sebelum kepindahan Keraton Kartasura ke Desa Sala.

Diungkapkan bahwa konon ada tradisi bernama Rampogan Macan atau Rampogan Sima yakni mengadu harimau dengan kerbau atau banteng. “Masyarakat terhibur dgn adanya binatang yg diadu kemudian salah satu nya kalah dan atau tewas….,” tulis pria yang akrab disapa Kanjeng Nuky tersebut di akun Instagramnya, @kanjengnuky, pada 23 Juni 2022 lalu.

Baca Juga:  Wah, Ternyata Begini Asal Usul Nama Kawasan Gladak Solo

Aduan Macan

Dalam unggahan di Instagram tersebut, Nuky menyertakan video saat ia mengunjungi dan melihat langsung lokasi bekas kandang hewan buruan di Krapyak yang berkaitan dengan sejarah Gladak, Solo. Ada pula gambar lawas kandang-kandang macan yang diletakkan di tanah lapang.

Nuky juga mencantumkan foto kawasan Gladak dengan keterangan “bintang ditarik paksa atau digladag melalui daerah Gladag.” Menurut Nuky, aktivitas perburuan hewan ini dituangkan oleh sejarawan Belanda Peter Boomgaard dalam jurnal Indische Letteren berjudul “Tijgerstekerijen en tijger – buffelgevechten op Java 1620 – 1906”.

Dikisahkan kabar mengenai aduan macan ini datang dari orang-orang VOC yang dipenjara Pangeran Mataram di Pabean dan Taji pada 1620. Mereka menulis bagaimana mereka bebas kendati sebagai tawanan dan menyaksikan Raja Mataram menangkap hidup-hidup sekitar 200 harimau dalam waktu tiga bulan saja.

Baca Juga: Solo, Sala, Surakarta, Bung Karno Pilih Sala

Nuky juga menyebutkan buku Oud en Nieuw Oost Indien karya penginjil Francois Valentijn yang terbit 1724 dan 1726 menulis bahwa pada 1700-an Raja meminta para pangeran dan pejabat kerajaan ikut membiayai hiburan besar-besaran adu harimau ini untuk menghibur masyarakat.

“Dilihat dari tahunnya, raja yg disebut waktu itu berarti Sunan Amangkurat II yg bertahta di kraton Kartasura..Rampog macan ini kembali diadakan ketika kraton berpindah ke Surakarta…,” tulis Nuky.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya