SOLOPOS.COM - Suasana tradisi Gebyuran Bustaman di Kampung Bustaman, Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Minggu (27/3/2022). (Solopos.com-Imam Yuda S.)

Solopos.com, SEMARANG — Beragam tradisi digelar warga untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan atau bulan puasa, tak terkecuali di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini satu tradisi unik untuk menyambut datangnya bulan puasa, yakni Gebyuran Bustaman. Berikut sejarah Gebyuran Bustaman yang digelar warga di Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.

Gebyuran Bustaman merupakan tradisi unik yang digelar warga Kampung Bustaman, Semarang, untuk menyambut bulan puasa. Tahun ini, tradisi ini digelar pada Jumat-Minggu (17-19/3/2023).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Gebyuran Bustaman ini hampir mirip dengan tradisi padusan, atau ritual menyucikan diri dengan air sebelum menjalankan ibadah puasa. Bedanya, jika padusan biasanya cukup dilakukan dengan tradisi mandi, Gebyuran Bustaman digelar dengan ritual perang air.

Ekspedisi Mudik 2024

Dilansir dari laman warisanbudaya.kemendikbud.go.id, sejarah Gebyuran Bustaman di Semarang ini tak bisa dilepaskan dari sosok Kiai Ngebei Kertoboso Bustam atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Bustaman.

Kiai Bustaman dulunya merupakan seorang sekretaris VOC di Semarang yang datang pada abad ke-18 dari Hadramaut, Yaman. Konon, Kiai Bustaman merupakan leluhur dari keluarga Bustaman yang menurunkan para bupati dn priyayi yang berkuasa di pantai utara Jawa.

Salah satu keturunan Kiai Bustaman yang terkenal adalah pelukis Raden Saleh. Kiai Bustaman juga merupakan sosok yang dipercaya sebagai pendiri Kampung Bustaman di Semarang. Oleh karenanya, sejarah ritual Gebyuran Bustaman di Semarang itu tak bisa dilepaskan dari sosok Kiai Bustaman.

Modifikasi

Konon, Gebyuran Bustaman berasal dari kebiasaan Kiai Bustaman dalam memandikan cucunya menjelang Ramadan atau bulan puasa. Awalnya, Gebyuran Bustaman juga hanya digelar dengan menyiramkan air yang diambil dari sumur petilasan Kiai Bustaman kepada tokoh yang ditunjuk warga.

Meski demikian, seiring berkembangnya zaman, Gebyuran Bustaman mengalami modifikasi. Gebyuran Bustaman tidak hanya sebatas menyiramkan air, tapi diisi dengan ritual perang air. Pertama-tama, warga mengambil air dari sumur dan memasukkannya ke dalam bungkusan plastik.

Kemudian, bungkusan plastik berisi air itu dilemparkan ke warga lainnya tanpa pandang bulu, baik usia maupun statusnya. Dengan kata lain, warga bebas melemparkan air kepada warga lainnya tanpa memandang kelompok, usia, maupun statusnya.

Setelah perang air usai, warga kemudian berkumpul untuk menyantap makanan yang telah disiapkan secara bersama-sama. Seiring berkembangnya zaman, tradisi Gebyuran Bustaman ini pun digelar lebih meriah oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Tidak hanya diisi dengan ritual perang air, Gebyuran Bustama juga diwarnai dengan berbagai acara lain untuk mengangkat pariwisata Kota Semarang seperti pertunjukan seni dan festival kuliner.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya