SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Kamis (4/7/2019). Esai ini karya Helti Nur Aisyiah, dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah aisyah76@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Seorang pedagang kuliner (minuman) di Kota Solo rata-rata menghabiskan 100 batang sedotan plastik sehari (Solopos, 3 Juli 2019). Terkait dengan hal itu penikmat kuliner pasti tidak terkejut lagi dengan gerakan ajakan minum tanpa sedotan (plastik), #nostrawmovement,  di beberapa tempat makan.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Gerakan ini sebenarnya sudah lama diinisiasi, tetapi baru terasa dampaknya dan gencar- dikampanyekan beberapa bulan terakhir ini. Tiada asap tanpa api. Sama halnya dengan munculnya gerakan ini. Makna tersirat dari gerakan #nostrawmovement adalah ajakan dari pencetus dan pendukungnya agar kita lebih peduli terhadap lingkungan dengan tak lagi mencemari lingkungan.

Salah satu wujud kepedulian tersebut dilakukan dengan meminimalisasi penggunaan sedotan plastik. Sedotan plastik yang sudah digunakan (bekas) bukanlah barang yang banyak diminati untuk didaur ulang, sehingga menjadikan sedotan plastik sampah yang sangat tidak ramah lingkungan.

Fakta menunjukkan sedotan plastik merupakan sampah terbanyak yang dibuang oleh penikmat minuman, terutama minuman dingin. Kalau sedotan plastik bekas disusun, panjangnya akan mencapai ribuan kilometer. Kondisi ini logis mengingat orang Indonesia gemar minum air dingin, tentu dengan sedotan plastik. Jajan pada malam hari saja banyak yang memesan minuman dingin, apalagi pada waktu siang yang sedang terik-teriknya. 

Gerakan setop penggunaan sedotan plastik ini sebenarnya baik, tetapi alangkah baiknya diiringi dengan solusi yang tepat. Beberapa tempat kuliner yang menerapkan gerakan #nostrawmovement tidak melakukan sepenuhnya. Ketika tempat kuliner itu menyajikan minuman dingin memang tidak disediakan sedotan dan di tempat yang biasanya disediakan sedotan sudah tidak terisi sedotan.

Kendati demikian, di tempat tertentu terdapat kalimat imbauan bagi yang tetap ingin menggunakan sedotan dapat menghubungi kasir. Ironisnya, hampir semua yang membeli minuman dingin meminta sedotan plastik, terutama yang memiliki gigi sensitif. Kalau ingin mendukung gerakan meniminalkan penggunan sedotan plastik, jangan setengah-setengah.

Sebaiknya diberikan solusi selain memberikan sedotan yang tidak lain juga merupakan sedotan plastik. Ini terkesan melarang, tetapi juga memperbolehkan. Selain itu, manajemen tempat kuliner tersebut kelihatan belum siap dan seakan-akan takut kehilangan pelanggan. Hal ini wajar karena jika para pelanggan tidak nyaman dengan gerakan tersebut, bisa diprediksi beberapa pelanggan  akan berpaling dan pindah ke tempat kuliner yang lain.

Tidak semua pelanggan berkategori loyal. Jika loyalitas tinggi, kemungkinan kecil mereka akan pindah, bahkan mereka akan maklum dengan kondisi ini atau rela membawa sedotan sendiri dari rumah. Berbeda dengan pelanggan yang berloyalitas rendah, sekadar mampir atau coba-coba, akan dengan mudah pindah ke tempat kuliner yang lebih nyaman. Bukankah selain rasa kuliner yang enak, kenyamanan adalah yang dicari?

Gerakan Antitas Plastik

Fenomena #nostrawmovement ini mengingatkan kita saat minimarket dan supermarket menerapkan gerakan antitas plastik yang pada akhirnya mempersulit pembeli berbelanja. Saat itu kondisinya sama dengan fenomena #nostrawmovement saat ini, yaitu melarang, tetapi masih boleh menggunakan. Bedanya, kalau tas plastik harus menambah biaya, sedangkan sedotan di gerakan #nostrawmovement disediakan secara gratis.

Pada saat itu, solusi selain menambah biaya untuk mendapatkan tas plastik adalah minimarket atau supermarket tertentu menyediakan tas berbahan daur ulang, tetapi harga tas alternatif tersebut dinilai terlalu mahal. Harga tas alternative itu tidak terjangkau oleh pembeli kalangan bawah atau kalangan atas yang menerapkan prinsip ekonomi hemat. Pengurangan penggunaan tas plastik jelas menimbulkan pro dan kontra.

Ini terlihat dari respons costumer yang disampaikan secara langsung maupun melalui media sosial hingga menjadi viral. Komplain demi komplain yang disampaikan tersebut akhirnya berhasil menghentikan gerakan antitas plastik. Dulu di nota muncul akun tas plastik dengan nominal harga tertentu. Kini, masih muncul akun tas plastik, tetapi bukan lagi nominal harga, melainkan dalam satuan jumlah plastik yang digunakan sebagai kontrol penggunaan perlengkapan (tas plastik).

Sama halnya dengan tas plastik. Muncullah pertanyaan apakah gerakan #nostrawmovement ini akan bertahan lama, sementara masyarakat terbiasa menggunakan sedotan plastik? Entah berakhir atau tetap berlanjut, fenomena ini membuka peluang bagi para produsen peralatan makanan untuk membuat atau memperbanyak sedotan yang dapat digunakan dalam jangka waktu lama.

Salah satunya adalah dengan mengubah bahan sedotan dari plastik menjadi stainless steel seperti sendok dan garpu. Penerapan sedotan stainless steel tentu akan menuai pro dan kontra. Kegiatan atau komentar pro dikemukakan dengan dalih menekan sampah plastik, sedangkan yang kontra menggunakan alasan jijik dengan sedotan yang dipakai oleh orang banyak.

Jika kita pikirkan lebih dalam, bukankah sendok dan garpu juga demikian? Bukan sendok dan garpu selalu bersinggungan dengan banyak mulut? Kondisi ini menjadi tugas pengelola tempat makan dalam rangka meredam keraguan pelanggan dengan meyakinkan tentang kebersihan sedotan pakai ulang tersebut.

Untuk meredakan kontra dan lebih meyakinkan ihwal kebersihan dapat dilakukan dengan memperlakukan secara berbeda sedotan stainless steel. Kalau mencuci sendok dan garpu cukup dengan busa bersabun, perlu alat khusus pembersih untuk sedotan dengan lubang yang kecil. Dengan demikian, kondisi ini menambah peluang dan tantangan bagi produsen yang bergerak di bidang pengadaan alat makan. Selain memproduksi sedotan stainless steel, produsen juga diharapkan mampu menyediakan pembersih sedotan.

Peralatan

Selama ini sedotan (plastik) diklasifikasikan ke dalam kategori perlengkapan. Hal ini karena sifatnya yang sekali pakai, bahan habis pakai. Jika perusahaan yang menerapkan gerakan #nostrawmovement benar-benar mengganti bahan sedotan dari plastik ke stainless steel, sedotan tersebut akan berubah dari pengklasifikasian perlengkapan menjadi peralatan. Kalau berubah menjadi peralatan maka sedotan tersebut dapat digunakan secara berulang-ulang.

Perubahan kategori tersebut tentu akan berimbas pada penekanan biaya yang dikeluarkan perusahaan. Secara tersirat ini bukan mengatakan bahwa gerakan antisedotan plastik menguntungkan perusahaan dalam hal meminimalisasi pembelian perlengkapan, tetapi lebih ke pengingat bahwa kita selain sebagai makhluk sosial juga sebagai makhluk ekonomi.

Sebagai makhluk ekonomi, kita harus juga memerhatikan kelangsungan hidup individu maupun kelompok dalam suatu unit bisnis. Jika peluang perubahan sedotan dari kategori perlengkapan menjadi peralatan benar-benar diterapkan, akan terbentuk simbiosis mutualisme antara manajemen tempat kuliner dan customer.

Manajemen tempat kuliner dapat mendukung gerakan #nostrawmovement dan customer tetap mendapatkan kenyamanan dalam menikmati minuman, terutama minuman dingin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya