SOLOPOS.COM - Agus Subakir (merah) tengah bermain peran bersama Komunitas Janggleng di Slogohimo, Wonogiri, pertengahan Agustus 2022. (Istimewa/Agus Subakir)

Solopos.com, WONOGIRI — Agus Subakir, 40, mendirikan Komunitas Janggleng di Desa Bulusari, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri pada 2009. Sebagai kelompok kecil nan jauh dari kota, bukan perkara mudah mempertahankan komunitas seni peran yang sama sekali tidak berorientasi pada profit itu.

Kendati begitu, Agus bersama komunitas yang ia dirikan masih konsisten menjaga bara semangat berkesenian dengan mementaskan lakon bernafaskan budaya Jawa dari desa ke desa di Wonogiri. Sebagai kelompok seni pinggiran, Agus tak ingin seni yang ia ciptakan justru jauh dari kehidupan masyarakat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Baginya, seni harus memiliki etos sosial. Tidak hanya mementingkan kepuasan pribadi tapi juga memikirkan kepentingan masyarakat. 

“Makanya saat pentas, kami selalu menggunakan bahasa Jawa. Bukan apa-apa, itu biar narasi dan pesan yang dibawa saat pentas mudah diterima masyarakat. Di sisi lain, naskah yang kami pentaskan selalu berlatar cerita rakyat sebuah desa atau suatu tempat di Wonogiri sehingga seni menjadi tidak jauh dari masyarakat. Ada singgungan langsung antara seni dengan penonton. Jadi lebih hidup,” kata Agus saat berbincang dengan Solopos.com, di rumahnya di Desa Bulusari, Kamis (28/9/2022). 

Agus bersama Komunitas Jangglengan tak ingin nilai dan falsafah budaya Jawa yang adiluhung hilang dari kehidupan masyarakat Wonogiri. Teater merupakan sarana baginya untuk tetap menancapkan local genius Jawa pada sendi-sendi kehidupan di Wonogiri. 

Baca Juga: Damainya Suasana Pantai Klotok Wonogiri, Yuk Camping di Sini!

Tak jauh berbeda dengan Agus, di wilayah Wonogiri selatan, tepatnya Desa Sedayu, Kecamatan Pracimantoro, seorang pemuda memiliki semangat melestarikan kesenian tua, Wayang Beber. Dia adalah Faris Wibisono, 29, yang menjadi satu-satunya pemuda di Wonogiri, bahkan di Jawa Tengah yang masih melestarikan dan memproduksi wayang beber.

Wayang beber adalah wayang yang disajikan dalam bentangan lembaran kertas, dluwang, atau kain. Jika wayang kulit terbuat dari kulit binatang dan tokoh wayang pada wayang dapat digerakkan laiknya boneka, tokoh wayang beber hanya digambarkan di lembaran kertas, dluwang, atau kain.

Saking cintanya pada wayang beber itu, Faris menciptakan kreasi Wayang Beber Tani. Faris memproduksi sendiri wayang tersebut mulai dari membuat dluwang hingga menggambar wayang. 

“Wayang Beber Tani adalah pengembangan dari Wayang Beber Tradisi yang biasanya hanya membawakan cerita Panji. Wayang Beber Tani ini sebagai sarana saya mengenalkan wayang beber pada generasi muda. Cerita pada Wayang Beber Tani lebih kontekstual. Artinya, bisa disesuaikan dengan ruang lingkup lingkungan tanpa menghilangkan pakem,” ujar Faris.

Dengan begitu, wayang tidak berfungsi sebagai artefak. Melainkan sarana pendidikan kontekstual. Masyarakat, khususnya generasi muda jauh lebih mudah menerima karena cerita yang dibawa Wayang Beber Tani lebih relate dengan kondisi saat ini. 

Baca Juga: Petani Kopi di Wonogiri Manfaatkan Lahan Perhutani

Perempuan muda asal Wonogiri, Gracella Nolanda Darma Ludiana, 21, juga tak bisa dianggap sepele atas kiprahnya di dunia seni tari. Lahir dari keluarga seniman di Wonogiri, Cella, sapaan akrabnya, konsisten mengikuti jejak ayahnya yang juga seorang penari kondang di Wonogiri. Beberapa kejuaraan tari nasional sudah pernah ia sabet ketika masih duduk di sekolah menengah. 

“Sejak kecil memang saya sudah dekat dengan seni. Saya memutuskan untuk tetap dan teteg di dunia seni, khususnya seni tradisi. Kalau boleh jujur, berkat seni tari ini banyak manfaat yang saya dapatkan. Tahun lalu saja, saya kebetulan bisa pergi ke Dubai untuk menari,” kata Cella yang saat ini sedang menempuh kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo Program Studi Seni Tari.

Sedikit berbeda dari ketiganya yang bergelut di seni pertunjukan, Dian Nugroho, 24, lebih memilih berkecimpung di seni batik. Dian berusaha melestarikan Batik Wonogiren. Sejak 2021, dia fokus menjadi perajin sekaligus pengusaha Batik Wonogiren.

Dian memproduksi batik dengan motif-motif khas Wonogiri seperti jambu mete. Tak hanya itu, dia juga memproduksi motif bangunan khas di Wonogiri, seperti Museum Karst.

“Wonogiri itu kan sudah punya Batik Wonogiren yang sangat khas. Sayang kalau tidak dilestarikan. Meski saya pemain baru di Batik Wonogiren tapi saya yakin bisa bertahan dan melestarikan batik ini,” ungkap pemuda asal Slogohimo itu.

Baca Juga: Gelar Unjuk Rasa Damai, Ratusan Anggota PSHW Geruduk SMKN 2 Wonogiri

Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Wonogiri, Eko Sunarsono, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri memberikan ruang seluas dan sebebas-bebasnya kepada para seniman muda untuk berkreasi dan berkreativitas. Pun setiap ada kegiatan kesenian, Pemkab menggandeng para seniman-seniman itu agar turut berpartisipasi.

Bentuk dukungan pemkab tidak harus berupa kucuran anggaran kepada para seniman. Hal itu justru akan mematikan para seniman dalam berkreasi karena mereka akan bergantung pada pemerintah. Kendati begitu, pembinaan dan apresiasi terhadap pemuda itu terus dilakukan.

“Kami memberikan ruang bagi mereka untuk berkreasi dan menampilkan hasil karya mereka. Sudah sering menggandeng mereka ke panggung-panggung kebudayaan, misalnya belum lama ini kami menggandeng Kelompok Janggleng untuk pentas di Magelang, dan lain sebagainya,” kata Eko.

Kepala Bidang (Kabid) Kepemudaan dan Olahraga Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata, Sangga, menyampaikan Pemkab Wonogiri mendorong para pemuda tersebut untuk mandiri. Dengan kata lain, para pemuda harus bisa berdiri di kaki sendiri, tidak bergantung pada pemerintah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya